PERS adalah salah satu pilar demokrasi. Disebut demikian, karena berkat dan melalui pers atau media massa inilah, partisipasi masyarakat ikut mengelola jalannya negara bisa terjadi.
Peran penting dan fundamental pers –apakah itu koran, majalah, atau TV mainstream– adalah menjadi ‘mitra’ pemerintah. Namun, ada kalanya juga pers harus menjadi ‘mata elang’ alias pihak pengontrol atas cara pemerintah mengelola negara dan masyarakat.
Di sinilah pers harus memainkan fungsinya yang amat fundamental yakni sebagai watchdog atas jalannya proses bernegara dan cara pemerintah menjalankan tata kelola ‘hidup bernegara’ dan bermasyarakat.
Manakala pers dan para pekerjanya (baca: wartawan) hanya bisa ‘membebek’ alias seiya-sekata dan membenarkan semua tindakan dan kebijakan pemerintah, maka media massa itu telah kehilangan jatidirinya.
Sebaliknya, ketika selalu mengkritisi negara dan pemerintah dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar, maka media massa telah meracuni masyarakat dengan berita tidak berkualitas sekelas hoax.
Pada titik persinggungan inilah, prinsip cover both sides menjadi penting dan mutlak dijalankan oleh setiap awak media massa. Kejar dead-line, afirmasi dan konfirmasi menjadi kamus penting dalam cara kerja setiap wartawan dari media massa ‘serius’ alias mainstream –sekedar untuk membedakan cara kerja ‘koran kuning’ atau media massa full gossiping dan yang sifatnya entertainment semata.
Karena itu, berita jurnalistik adalah produk nyata hasil kerja intelektual wartawan. Dan itu lahir dari sebuah ‘etos’ kerja profesional, sikap diri penuh tanggungjawab, ditulis berdasarkan fakta (dan bukan ‘rekaan’ apalagi ‘imaginasi’), dan tak mengabaikan afirmasi, konfirmasi, dan cover both sides.
“Petak umpet”
Kodrat pola hubungan fungsional antara pers dengan pemerintah itu selalu berada di titik persimpangan yang tidak mudah bagi kedua belah pihak untuk bisa ‘mengaturnya’ agar seimbang dan penuh persahabatan.
Ada kalanya, pers menjadi ‘penyambung lidah rakyat’ bagi negara dan pihak yang diberi kewenangan mengelolanya (baca: pemerintah). Itu karena pers telah memberitakan kebijakan atau informasi penting yang dirilis negara atau pemerintah atas hal-hal yang seyogyanya harus diketahui publik.
Namun, tak jarang pula pers bisa menjadi ‘pencakar muka’ para pengelola negara dan pejabat pemerintah lantaran rilis tulisan pemberitaan yang ‘menelanjangi’ penyelenggara negara.
Pers selalu punya ‘taring tajam’ yang bisa merobek rasa percaya diri para pejabat hingga menciut nyalinya. Itu terjadi, ketika media massa mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat, menguliti kebobrokan manajemen aparatur negara, membuka borok para pejabat yang tidak becus atau kepergok telah melakukan pelanggaran etika pelayanan publik (baca: korupsi, penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan, dst).
Pola hubungan bak film Mickey-and-Mouse yang selalu ‘main petak umpet’ inilah yang mengemuka di film cerdas bertitel The Post (2017). Dibesut oleh sutradara beken Steven Spielberg, The Post menghadirkan dua sosok bintang berkelas peraih Oscar: Merryl Streep sang pemeran Katharine Graham dan Tom Hanks sebagai Ben Bradlee.
Keduanya adalah pucuk pimpinan koran beken paling berpengaruh di Amerika hingga saat ini. Katharine menjadi nahkoda The Washington Post (berdiri sejak tahun 1877) sebagai Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Perusahaan. Sementara, Ben menjadi komandan The Post – nama julukan koran ini dalam percakapan harian- sebagai Pemimpin Redaksinya.
Di seberang sana masih ada koran beken lainnya yakni The New York Times atau sering disebut The Times yang eksis sejak tahun 1851.
Sebagai sesama koran yang memproduksi berita, sudah pastilah The Post dan The Times selalu saling bersaing dalam banyak hal. Satu-dua hal yang selalu menjadi objek persaingan koran atau majalah adalah kapan, dari siapa, dan di mana bisa mendapatkan berita eksklusif dari sumber utama. Kalau bisa, maka berita eksklusif itu harus mereka dapatkan sendiri tanpa ‘harus mengajak’ media lain bisa ikut mendeteksinya.
Prinsipnya begini. Siapa yang paling duluan bisa menemukan ‘sumber berita’ dengan konten nilai berita yang tinggi (newsworthiness), maka pers itulah yang akan bisa merebut pangsa pasar –audiens pembaca koran.
Sebagai koran bergengsi dan selalu menjadi acuan informasi bagi orang-orang penting di Gedung Putih maupun di New York Stock Exchange, baik The Post dan The Times selalu berebut tiket menjadi koran nomor satu di AS. Para awak media kedua koran ini senantiasa berburu kesempatan bisa mendapatkan informasi penting dari sumber berita utama dan pertama. Terutama ketika mereka harus berlari paling cepat menyambar isu penting yang menyangkut ‘hajat orang banyak’ sebagaimana sering kali terjadi dalam dinamika politik AS di Gedung Putih.
Skandal Watergate dan “Deep Throat”
Sejarah politik Amerika telah mencatat kisah sedih nan memalukan ini. Yakni, Presiden Richard Nixon akhirnya dipaksa mundur dari jabatannya, meninggalkan Gedung Putih di tahun 1974 dengan rasa malu. Baru kali itu terjadi, seorang kepala negara dan pemerintahan AS harus menanggung ‘hukuman politik’ terkena impeachment (tuntutan harus mundur) Kongres AS.
Nixon mundur tidak hormat dan dinyatakan bersalah, karena telah ‘main mata’ dan pura-pura tidak tahu akan sepak terjang tim sukses Partai Republik untuk memenangkannya di pilpres kedua kalinya.
Atas keberhasilan The Post merilis laporan berita investigatif membongkar skandal politik ‘main curang’ tersebut, dua wartawan ‘anak bawang’ koran itu berhasil mendapatkan Pulitzer, ikon penghargaan bergengsi di dunia jurnalistik yang menjadi impian setiap wartawan di Amerika. Dari seorang sumber berita konfidensial bernama sandi “Deep Throat” itulah, Bob Woodward dan Carl Benstein –kedua reporter pemula di Desk Metropolitan The Post– berhasil mengorek informasi sahih tentang Skandal Watergate yang berujung pada pemecatan Presiden Nixon.
Bertitik pada kisah menarik tentang Deep Throat dalam setting proses produksi berita jurnalistik di koran The Post inilah, sebuah film berkelas pernah lahir di Hollywood. All the President’s Men hasil besutan sutradara Allan J. Pakula berhasil meraup banyak penghargaan di berbagai ajang festival film.
Narasumber berita
Dari dua film apik All The President’s Men (1977) dan The Post (2017) inilah, kita tahu beberapa pokok penting dan fundamental yang selalu menjadi pakem utama bagi pers (media massa).
Satu hal sudah saya bahas di atas. Yakni, tentang fungsi fundamental peran (politik) media massa sebagai salah satu pilar demokrasi. Lainnya adalah sekitar pentingnya narasumber berita bagi awak media massa (pekerja media: pewarta foto, jurnalis, dan kameramen TV berita) yang membutuhkan sumber untuk memperoleh data, keterangan, dan informasi.
Dari narasumber berita itulah, para jurnalis dan editornya kemudian mengolah data primer yang sifatnya aktual dan faktual, lalu meramunya disertai tambahan aneka ‘bumbu penyedap’ seperti info grafis, foto, data tambahan dari pustaka, dan dokumentasi. Pers sebagai lembaga berita lalu memproduksi bahan berita itu sebagai laporan berita jurnalistik dan kemudian menyajikannya kepada publik melalui lembaran koran, majalah, laman virtual untuk aneka media online, atau layar monitor televisi.
Indahnya film The Post karya Spielberg ini tidak hanya terekam di layar lebar dengan suguhan adegan bagaimana The Post dan The Times itu saling bersaing untuk menemukan sumber berita. Juga saling ‘menelikung’, ketika masing-masing punya kepentingan merebut hati pembaca lantaran nilai jual informasi (newsworthiness) yang punya daya kejut dan pengaruh besar di masyarakat.
Di film The Post, Katharine dan Ben bersama-sama ingin mengorek informasi lengkap dari sang sumber berita tentang ‘kebohongan’ Menhan AS Robert McNamara (Bruce Greenwood) atas kesuksesan para GIs –sebutan untuk para tentara AS- di medan perang Vietnam yang ternyata hanya kicauan hoax demi pemenangan pilpres.
Membela kepentingan publik
Posisi batin Katharine seperti terantuk pada batu. Menhan AS McNamara, calon ‘korban’ ekspose laporan jurnalistiknya itu, adalah sohibnya sejak muda. Di sinilah indahnya film The Post ini, ketika akhirnya di depan sidang pengadilan, baik The Washington Post dan The New York Times sama-sama teguh memegang prinsip fundamental –semacam “statuta dasar” eksistensi pers.
Sebagai pilar demokrasi dan watchdog pemerintah ketika telah ‘keluar jalur’ dari norma dan etika politik yang semestinya dianutnya sebagai penyelenggara negara, maka pilihan ‘politik’ Katharine dan Ben adalah tepat. Sebagai pemimpin The Washington Post, keduanya secara jernih hati berani memutuskan korannya harus membela the governed (baca: publik, masyarakat, rakyat), dan bukannya the government.
Unsur indah lain di film ini banyak. Taruhlah itu gambaran cara kerja wartawan di redaksi, cara para editor ketika berdebat dan berdiskusi di newsroom saat menggelar rapat redaksi, proses produksi berita di tahapan editing dan printing, serta akhirnya proses delivery dari mesin cetak di bagian produksi ke bagian sirkulasi.
Tentu harus ada catatan tambahan, bahwa film The Post ini bicara tentang ‘keseharian’ kerja koran harian, bukan terbitan berkala (majalah) atau apalagi tabloid.
Wartawan tempo doeloe dan sekarang
Bagi para wartawan di era tahun 1990-an, maka adegan-adegan proses cetak dengan andalan blok-blok buruf dari metal itu sungguh merupakan sebuah memori yang menghibur dan menyenangkan. Pemandangan seperti itu bisa jadi tidak dialami lagi oleh para wartawan dan operator cetak masa kini yang sudah mengandalkan sistem cetak dengan teknologi modern.
Dulu, para wartawan selalu ‘bersenjata’ pulpen, kertas ukuran notes, tape recorder perekam, dan tustel untuk memfoto peristiwa di depan mata. Untuk bisa ‘membuat’ berita, maka rekaman data dan informasi di lapangan itu baru bisa diolah di kantor redaksi bersama editornya.
Sekarang, hanya dengan berbekal satu alat canggih saja yakni smartphone, para wartawan zaman now sudah mampu ‘melakukan segalanya’. Katakanlah, mereka ini bisa merekam data dan informasi dalam bentuk teks, paparan visual (foto dan film), dan kemudian mengolahnya di lokasi peristiwa peliputan dan mengirimkannya ke kantor redaksi untuk diedit seperlunya dan kemudian goes viral.
Dulu, di tengah rasa haus dan lapar serta baju basah oleh keringat dan bau apek karena debu, para wartawan koran harian cetak harus cepat-cepat kembali dari lapangan menuju kantor untuk keperluan menjalani proses ‘produksi berita’ bersama editornya.
Kini, para wartawan zaman now sudah lebih dimudahkan cara kerjanya. Bisa jadi, para awak media sekarang ini dengan ongkang-ongkang kaki sudah bisa melakukan proses produksi berita, sembari makan bakso, minum kopi di kafe berpendingin udara dengan hanya main pencet HP canggih.
Film The Post bukan cerita tentang masa kini, tapi masa lampau. The Post adalah gambaran nyata tentang dunia kewartawanan sejati di koran harian cetak (bukan online) yang dipaparkan secara ‘jujur apa adanya’.
Hidup penuh risiko dan pengorbanan
Menjalani hidup sebagai wartawan adalah keseharian penuh pengorbanan (waktu, perasaan, harga diri, dst), ritme kerja tidak kenal batasan waktu, gaya hidup yang terlampau sering meninggalkan keluarga dan momen penting personal (gagal ketemu pacar atau orangtuanya misalnya) hanya demi bisa mencari berita dan ‘mengejar’ narasumber.
Film The Post adalah potret nyata tentang cara dan etos kerja wartawan koran harian cetak mainstream.
Inilah sebuah modus vivendi (laku hidup), ketika orang-orang ‘spesial’ itu mendedikasikan waktunya untuk terus memproduksi berita jurnalistik demi sejumlah nilai.
Dan salah satu nilai yang ingin dikumandangkan film The Post adalah prinsip fundamental fungsi pers pada zaman itu, yakni membela the governed, bukan the government.