BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Sabtu, 17 Juli 2021.
Tema: Kesehatan emosi.
- Bacaan Kel. 12: 37-42.
- Mat. 12: 14-21.
MARAH dapat membuat rancangan dan maksud baik ternoda. Banyak orang berkata lima menit marah membuat imunitas tubuh menurun. Beberapa penyakit muncul dadakan.
Darah tinggi salah satu cirikhas temperamen emosi yang tidak bisa diatur. Ekspresi marah tidak terbatas pada kata-kata. Dengan volume suara naik tajam.
Tapi juga sikap diam membisu. Ngambek.
Mungkin ada juga orang terlihat santun. Wajah tidak bisa menipu.
Marah bukanlah dosa. Kadang orang perlu marah. Secara psikis mengurangi beban hati.
Ungkapan marah sebaiknya memiliki alasan tepat. Latar belakang budaya dan keluarga juga dapat mempengaruhi.
Ada yang spontan dan selesai. Ada yang terus mendendam dan berkelanjutan.
Ada yang berpendapat marah itu sehat dan normal. Bisa merupakan ungkapan ketegasan dan kegentingan perkara. Masalahnya bukan soal marahnya, tetapi bagaimana kita menanggapinya.
Di tengah derita
Setelah bangsa Israel mengalami 10 tulah yang berpuncak pada kematian anak sulung maupun hewan, maka berkatalah Firaun:
“Bangunlah, keluarlah dari tengah-tengah bangsaku, baik kamu maupun orang Israel; pergilah, beribadahlah kepada Tuhan, seperti katamu itu. Bawalah juga kambing dombamu dan lembu sapimu, seperti katamu itu, tetapi pergilah. Dan mohonkalah juga berkat bagiku. Orang Mesir juga mendesak dengan keras kepada bangsa itu, menyuruh bangsa itu pergi dengan segera dari negeri itu, sebab kata mereka: “nanti kami mati semuanya.” ay 31-33.
Yang menarik adalah Firaun pun memohon berkat bagi dirinya dan untuk bangsanya.
Masa pembentukan
Di awal proses pendidikan menjadi imam, saya harus memasuki tahap tahun rohani. Kami diajari cara hidup baru, cara berdoa, dan berefleksi.
Kebiasaan keseharian yang akan dihayati selama hidup. Selama sebulan, saya berada dalam bimbingan dua angelus – istilah menyebut pendamping.
Salah satu pembimbing saya begitu mengesankan. Bahasanya santun dan tidak pernah marah. Saya tidak pernah melihat dia marah sampai hari ini.
Dengan lembut dan sabar berkata-kata; dengan sopan menghindari setiap konflik. “Ra ono gunane. Ngopo nesu-nesu. Engko selak tuwo puteh rambute. Seng waras ngalah. Jo diladeni.” ungkapnya dengan senyum.
Saya kagum, dia dapat mengelola emosi. Tanda kematangan pribadi.
Saya percaya, ini pun hasil didikan orangtua; menempatkan seluruh perkara dalam jalur cinta dan kelembutan. Ia membimbing dan mengantar saya masuk ke dalam proses adat kebiasaan, cara hidup baru.
Ia sendiri menghidupinya pula. Masa indah dan menyenangkan!
Apakah saya bisa seperti dia?
Tentu tidak.
Setiap pribadi dicipta dengan unik dan mempunyai karakter masing-masing. Tetapi cara hidupnya memberi inspirasi, bagaimana hidup baru dalam Kristus dihayati
Yang saya kagumi ialah keterbukaan. Kesiapsediaan membantu kesulitan-kesulitan yang saya alami.
Bersikap
Dalam satu syering, ia mendapat penitensi (hukuman olah-rohani, ketika menerima Sakramen Rekonsiliasi) untuk marah. “Yo aku raiso no. Mosok kon nesu. Yo aku moh no,” katanya sambil ketawa kecil.
Tetapi ia harus melakukan tanpa mengumbar emosi.
“Mbok ojo ngono to,” dengan suara level emosi rendah.
Bagi saya, ia model pribadi yang telah menerima diri apa adanya; mampu menempatkan persoalaan dan dikelola dengan cinta. Ia tidak memberi celah sedikitpun akan dampak negatif kemarahan baik bagi dirinya dan orang lain.
Menyingkir. Apakah ini suatu rahmat yang istimewa?
Ada yang berkata, “Ketika memandang kesalahan serta keterbatasan orang lain dengan kelembutan hati dan kasih, tidak merasa lebih unggul, kita dapat membantu yang lain. Tidak menghabiskan energi dengan keluhan-keluhan yang tiada gunanya.
“Setelah Yesus menyembuhkan orang pada hari sabat, keluarlah orang-orang Farisi itu dan bersekongkol untuk membunuh Dia. Tetapi Yesus mengetahui maksud mereka itu lalu menyingkir dari sana.” ay 13-14.
Tuhan Yesus, ajari aku hidup seturut cara hidup-Mu. Amin.