Thrasymachus vs Sokrates tentang Keadilan sebagai “Keuntungan Penguasa”

1
69 views
Ilustrasi: Keadilan.

INI sebuah “renungan kecil” tentang apa itu keadilan.

Thrasymachus tiba tiba merangsek masuk ke ruang diskusi Sokrates dan langsung berteriak keras, keadilan itu sama dengan “keuntungan dari penguasa.”

Sokrates terhenyak. Apa gerangan yang dimaksudkan Keadilan sebagai “keuntungan penguasa”?

Thrasymachus yang kedatangannya mengagetkan (layaknya tiba-tiba masuk di ruang diskusi grup wa alumni asyik) membawa pula sebuah argumen yang mengagetkan akal sehat. Sokrates berpikir, keadilan semestinya dimaksudkan sebagai sebuah keberuntungan dari rakyat, bukan penguasa, raja, presiden, pak lurah atau teman teman koalisi siapa pun.

Mengapa Thrasymachus berpikir kebalikannya?

“Benar. Keberuntungan itu milik rakyat. Tetapi, itu hanyalah tampaknya saja. Keberuntungan yang sesungguhnya milik penguasa. Dan, itulah Keadilan,” tegas Thrasymachus.

Sokrates tetap tidak mengerti, terperanjat. Sambil bergumam, Polemarchus, yang duduk di sebelahnya melamun: apa konsep ini sejenis pemilu yang pokoknya harus dimenangkan paslon? Lantas kemenangan itu menguntungkan penguasa ya, tetapi rakyat tiba tiba susah antri bahan makanan?

“Keadilan itu diwujudkan dalam hukum, ya tidak?” tanya Thrasymachus bersemangat.

“Ya,” jawab Sokrates.

“Siapa yang membuat hukum? Penguasa, bukan?”

“Ya penguasa,” kata Sokrates.

“Nah, setiap penguasa yang baik pasti membuat hukum yang tak pernah merugikan diri sendiri, ya tidak?” Thrasymachus kembali membuat pernyataan yang mengejutkan.

Sokrates tidak habis pikir, pendapat jenis ini tampaknya benar juga, tetapi dia sulit mengafirmasinya. Ia tidak setuju, tetapi ingin mendengar lebih jauh mengenai argumen ini.

“Begini, Sokrates, menjadi penguasa itu identik dengan seni menggembala. Jangan sok “lol” gitulah, ah.”

“Maksudmu?” Tanya Sokrates.

“Gembala yang baik adalah gembala yang memimpin domba-dombanya ke padang gurun yang hijau, ke air sungai yang jernih, dan melindunginya dari sergapan serigala atau singa. Ya, tidak?”

“Betul,” sela Sokrates.

“Tetapi, setelah domba-domba makan kenyang dan menjadi gemuk, siapa yang beruntung akhirnya? Sang gembala, bukan?” jelas Thrasymachus. “Mereka puas. Tidak memberontak. Penguasa dapat enak duduk di singgasananya, ya tidak?”

Sokrates tidak mungkin menyangkal kebenaran pernyataan Thrasymachus ini. Tetapi dia tidak setuju dengan jalan pikiran ini. Mendadak Thrasymachus berteriak keras, seperti singa mengaum mendeklarasikan konsep baru: keadilan.

Demikianlah Keadilan. Keadilan itu sebuah keuntungan besar milik penguasa. Apa yang sesuai hukum, itulah keadilan.

Sokrates serasa tidak berkutik. Tetapi, dia berusaha tenang dan mencoba mengurai argumen Thrasymachus dengan teliti. Sokrates balik berkata:

“Begini, Thrasymachus. Jika kita bicara mengenai seni, tentu kita sepakat mengenai esensi dari apa yang disebut seni. Apakah seni? Seni adalah kepandaian, keterampilan, kecerdasan yang memesonakan dari manusia, ya tidak? Kamu sudah tahu, masih tanya-tanya saya lagi. Jangan sok nggak tahulah.”

“Nah, kodrat atau natura dari setiap seni ialah kepandaian dan keterampilan itu tidak pernah dimaksudkan untuk keuntungan diri sendiri. Saya harap kamu mengerti apa yang saya maksudkan. Maksudku: sebutlah seorang dokter, ia terampil, cerdas dan pandai menyembuhkan. Pastilah kepandaian menyembuhkan itu dimaksudkan untuk orang lain, orang lain yang sakit, ya tidak? Dan, apabila keterampilan dan kecerdasan itu digunakan untuk diri sendiri, pastilah itu bukan sebuah seni.”

“Teruskan omong kosongmu Sokrates,” kata Thrasymachus dengan sinis.

“Senimu menggembala jelas punya kebenarannya. Tetapi, bila itu diterapkan pada seni memimpin, apalagi seni memimpin rakyat, bangsa, negara, tentu persoalannya berbeda. Pemimpin yang membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya tidak mungkin disebut pemimpin yang baik, pemimpin yang adil, ya tidak? Itu jelas pemimpin yang tidak dimaksudkan sebagai pemimpin yang benar, bukan negarawan, malah bukan seorang pemimpin sesungguhnya. Jika pemimpin itu membuat hukum bagi keuntungannya, hukum itu dari sendirinya pasti bukan hukum yang baik pula. Lepas dari soal baik atau buruk, sebuah hukum yang benar pasti tidak dimaksudkan untuk menguntungkan penguasa, keluarganya, keponakannya, teman temannya, atau kelompok mana pun.”

“Stop dulu! Tapi, ini kan kenyataan politik. Omonganmu itu omongan surga yang nggak jelas, dong Sokrates. Politik yang baik adalah politik yang menguntungkan para penguasa, keluarga sendiri tentu saja, teman teman sebisnis, para politikus koalisi Itu saja,” sergah Thrasymachus dengan kemarahan sambil meloncat dari tempat duduknya dan keluar meninggalkan ruang diskusi.

Seketika ruang jadi senyap. Seakan akan singa telah melesat pergi membawa mangsanya.

Sokrates dan teman-teman dibuat terbengong bengong oleh sikap Thrasymachus. Meski dia telah pergi, argumen Thrasymachus tetap mendominasi perbincangan mengenai apa itu keadilan. Dengan Polemarchus, ia membincang kembali argumen bahwa “keadilan itu sama dengan keuntungan dari penguasa.”

Keadilan Thrasymachean adalah khas konsep tirani. Negara tiran tidak berangkat dari apa itu keadilan warganegara, melainkan dari kepentingan penguasa. Tidak berangkat dari kebenaran, kebaikan dan kejujuran, hormat pada manusia, tetapi dari pokoknya kemenangan kekuasaan.

Yang tidak sependapat atau sekonsep atau di lingkarannya, diusir, dipenjarakan, diintimidasi, dan dikriminalisasi dalam cara apa pun. Aib sendiri atau teman, tidak soal.

Tiran memang demikian. Pusat negara adalah penguasa, keluarganya, dan teman-temannya, bukan rakyatnya. Beberapa negara tiran, sebutlah contoh yang kerap disebutkan oleh mass media kerap diatribusikan sebagai negara yang kesehariannya identik dengan dinamika penguasanya dan kroni kroninya.

Dunia nyaris tidak tahu apa-apa mengenai keadaan rakyatnya.

Di negara tiran, penguasa adalah segalanya. Penguasa lantas menjadi seolah pemilik negara. Atau negara identik dengan penguasanya. “Negara adalah aku”, kata Raja Louis Perancis yang digdaya, untuk mengungkapkan absolutisme kekuasaan penguasa di negara.

Menurut Sokrates, keadilan adalah kebalikan dari segala prinsip tiran sebuah negara. Keadilan itu haruslah bertolak dari manusia. Keadilan itu milik kodrat akal budi manusia. Saat setiap manusia menggapai keutamaan keadilan, saat itulah keadilan dalam negara terjadi.

Ketika pemimpin melaksanakan tugasnya dengan baik; ketika tentara menjalankan kewajibannya dengan benar; ketika para pengusaha mengupayakan ekonomi berjalan lancar; ketika para petani mendapatkan dukungan usahanya untuk mengolah tanah… saat itulah keadilan sebuah negara tercipta.

  • Menurut Sokrates, keadilan adalah kebalikan dari segala prinsip tirani penguasa.
  • Menurut Sokrates, keindahan keadilan terletak pada keseluruhan dari setiap komponen negara yang menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik.

Keadilan itu terjadi, bila setiap orang mengejarnya, menggapainya, dan melaksanakannya.

Sebuah refleksi dari buku Dialog Republik (Plato)
Armada Riyanto CM

1 COMMENT

  1. renungan kecil yang mencerahkan … membuka mata hati saya mengenai arti keadilan sebuah negara itu tercipta sebab tanpa peran serta semua komponen bangsa mustahil keadilan itu tercapai…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here