Yer 20: 10-13; Yoh. 10: 31-42
TIADA Kata. Tak dapat dan tak mau berbicara lagi. Sesak dan nyeri. Itulah putusan seorang terhadap pasangannya.
Hati pedih dan batin luka. Kebohongan mengikis kepercayaan dan keengganan untuk meneruskan kebersamaan.Hanya Air mata yang berbicara.
Inilah kiranya satu sisi dari bacaan hari ini: Yer 20: 10-13; Yoh. 10: 31-42.
Tidak mudah memang. Tidak ada keluarga yang sempurna. Betul. Lalu, apa yang masih tersisa demi kebersamaan hidup?
“Romo hati saya perih, sakit, mau mati rasanya. Saya tidak tahan, tidak mau lagi bersama dia. Semakin lama semakin terluka. Saya ingin menyudahi. Saya ingin bebas. Saya ingin menikmati hidup tanpa beban, tanpa luka”, katanya sembari tersedu.
“Sudah dipikirkan matangkah? Bagaimana dengan anak-anak? Siapkah menjadi single mother?”
“Saya tidak takut. Sesulit apa pun nanti.
‘Masih bisa sabarkah? Masih adakah ruang di hati untuk berbicara, mencari apa yang sebenarnya terjadi? Mungkinkah ada celah untuk bicara bersama?”
“Tidak Romo. Tidak mau. Saya bosan. Saya sudah tidak percaya lagi. Apa pun yang dikatakannya, bohong dan masih tetap melakukan kebohongan. Saya sudah cukup sabar. Saya tidak mau lagi disakiti; untuk apa hidup kalau saling menyakiti. Saya sudah berdoa dan memutuskan menyudahi semua”.
“Anakmu berapa? Adakah fotonya?”.
Tangisnya mereda, hanya isakan dan sengukan kecil.
“Wouw cantik-cantik dan ganteng anakmu. Persis wajahmu lo. Hebat ya. 4 anakmu sehat, wajahnya baik. Pasti dirawat baik. Ada sedikit bangga di wajahnya.”
“Gimana sekolahnya?”
“Pinter romo termasuk 10 besar. Tapi kalau bapaknya pulang, mereka masuk kamar; kecuali dipanggil”.
“Bagaimana kalian bisa menikah?
“Kami saling suka, kendati orang tuaku tidak setuju. Dia termasuk keluarga besar. Saat pacaran saya tahu sebagian gajinya diberikan untuk keluarganya. Ibu menjanda dan adiknya yang masih sekolah”.
“Apakah kamu keberatan saat itu?”
“Tidak Romo”.
“Kenapa?”
“Mereka kan nantinya menjadi bagian keluarga kami. Setelah kawin kami dapat tetap membantu. kami sama-sama bekerja. Kami sudah berkomitmen Romo”.
“Lalu masalahnya apa?”
Terdiam sesaat. Sambil menarik nafas, berceritera.
“Setahun ini, ia terasa asing bagiku. Pulang selalu malam. Kadang tidak pulang dengan alasan dinas luar. Hanya sedikit dari gajinya diberikan. Saya tanya kemana gajimu? Ya segitu sisanya. Sebagian bayar utang. Lalu diam, pergi ke luar rumah. Sikapnya cuek dan tidak mau tahu keadaan rumah. Pagi pergi pulang malam, makan dan tidur. Semakin saya tanya semakin dia sengaja membuat saya emosi.”
“Ada WIL kah?”
“Mungkin. Tapi saya tidak tahu pasti. Belum ada bukti.”
“Anak-anak setujukah?”
“Mereka diam. Terserah mami.”
“Lalu?”
“Nggak tahu Romo hati ini sakit, sakit, pedih romo. Yang ada hanya benci. Saya tidak mau melihat dia. Saya memaksa diri bertahan demi anak-anak Romo.”
“Ibu baik. Engkau mencintai keluargamu. Teguhlah, bertahanlah Kak. Bukankah pendapatanmu bisa memberi makan keluargamu bahkan suamimu. Beri kesempatan Tuhan menyentuhnya, bertindak; kendati tak tahu sampai kapan.
Tetaplah berdoa. Bukankah doa cara dekat dan tepat untuk menjumpai dan dijumpai oleh Tuhan sendiri, Shang Maha Tahu. Ia perancang indah kehidupan. Dia tidak pernah gagal menyusun hidup kita di telapak tangan-Nya. Kita hanya diminta mengikutiNya dalam ketekunan iman.”
Yesaya berkata, “Ya Tuhan semesta alam, yang menguji orang benar, yang melihat batin dan hati… kepada-Mulah kuserahkan perkaraku”, Yer 20: 12.
Yesus meneguhkan, “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu… percayalah, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku didalam Bapa”, Yoh 20; 32a, 38.
Tuhan, janganlah aku berputus asa dalam keluargaku. Amin???