Renungan Harian
Rabu, 12 Januari 2022
Bacaan I: 1Sam 3: 1-10. 19-20
Injil: Mrk. 1: 29-39
“SAYA menjadi Katolik dan dibaptis ketika masih bayi. Sejak kecil dalam keluarga kami, suasana katolik amat kental.
Setiap malam kami mengadakan doa bersama, dan kami anak-anak selalu mendapat berkat dari oran tua setiap kali kami mau pergi sekolah dan mau tidur.
Kami anak-anak harus ikut kegiatan di gereja, baik itu menjadi misdinar, lektor maupun mudika. Kami anak-anak akan mendapatkan marah dan hukuman, apabila kami tidak pergi ke gereja atau melewatkan kegiatan gereja yang seharusnya kami ikuti.
Semua itu kami jalani hingga kami besar
Sejak saya bekerja, saya hampir tidak pernah mengikuti kegiatan gereja; kecuali ikut misa pada hari Minggu.
Selain itu, saya sibuk dengan pekerjaan atau waktu lain saya gunakan untuk istirahat. Kebiasaan yang sudah saya jalani sejak kecil seperti tidak ada bekasnya lagi.
Setelah menikah dan punya anak, kebiasaan tidak mengikuti kegiatan gereja tetap berlanjut.
Beberapa kali orangtua mengingatkan saya agar ikut dalam kegiatan gereja; minimal mau ikut pertemuan lingkungan.
Namun dengan alasan pekerjaan, saya menolak saran orangtua.
Ketika anak saya mau menerima Komuni Pertama, saya datang ke Ketua Lingkungan untuk minta surat pengantar. Saat saya minta surat pengantar, Ketua Lingkungan meminta saya untuk datang di pertemuan lingkungan yang diadakan malam itu.
Karena rasa tidak enak sehabis minta surat, malam itu saya ikut pertemuan lingkungan. Saat saya datang bertepatan dengan pemilihan pengurus lingkungan.
Saya langsung ditawari untuk menjadi pengurus, saya menolak dengan halus dengan mengatakan bahwa saya mau terlibat dalam periode berikutnya.
Sepekan kemudian, ketua lingkungan yang baru menemui saya dan meminta saya agar bersedia dicalonkan menjadi Prodiakon paroki.
Saya tetap menolak dengan halus dengan alasan belum siap.
Suatu ketika, Ketua Lingkungan meminta saya menemani Prodiakon mengirim komuni untuk warga kami; saat itu Ketua Lingkungan sedang berada di luar kota.
Dengan setengah terpaksa saya menerima tugas itu. Saat saya bertemu dengan Prodiakon yang mau mengantar komuni, saya agak terkejut karena bapak Prodiakon itu sudah sepuh dan berjalan pun seperti sudah tidak kekar.
Dalam perjalanan, kami terlibat obrolan dan bapak itu mengatakan bahwa sesungguhnya beliau sudah tidak sekuat dulu lagi. Namun sampai sekarang belum ada yang bersedia dan punya waktu untuk mengirim komuni ke warga yang sakit.
Namun begitu beliau merasa senang dan bangga bahwa dirinya dipakai Tuhan menjadi sarana Tuhan bertemu dengan umat-Nya.
Itulah yang membuat beliau bersemangat dan tetap berusaha kuat mengantar komuni.
Tiba-tiba beliau bertanya: “Mas tidak ingin to? Menjadi sarana Tuhan menjumpai umat-Nya?”
Entah karena bingung atau karena kaget saya menjawab: “Pak, kalau saya dipilih dan dianggap pantas saya siap.”
Malam hari, bapak itu dan pastor paroki datang dan meminta saya untuk menjadi Prodiakon.
Saya sungguh-sungguh terkejut dengan permintaan itu. Rasanya jawaban saya tadi pagi karena keterkejutan dan kebingungan saya.
Saya minta waktu untuk bicara dengan istri. Saat saya bertanya pada isteri, dia menjawab: “Mas, jangan-jangan Tuhan bersabda melalui bapak itu. Mas berani menolak?”
Semalaman saya tidak bisa tidur memikirkan tawaran itu. Benarkah itu Tuhan yang bersabda? Beranikah aku menolak?
Aku tertidur lelap dan esok pagi saya mengatakan pada isteri bahwa saya akan menjawab bahwa saya mau,” seorang bapak Prodiakon bersyering.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Samuel, saat Tuhan memanggil tidak ada pilihan lain selain membiarkan Dia bersabda.
“Bersabdalah, ya Tuhan, hambaMu mendengarkan.”