BANDARA Rahadi Oesman di Kota Ketapang di Kalbar bukanlah lapangan udara ukuran besar, tapi berimbanglah dengan jumlah penumpang yang dilayani. Maka begitu mendarat, kami sempat berfoto-foto sambil mengurus bagasi.
Perjalanan dari bandara ke Keuskupan Ketapang hanyamakan waktu lima belas menit. Kami dijemput oleh Frater Erfan dari Keuskupan Agung Semarang yang sedang bertugas menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Seminari Menengah St. Laurentius Ketapang.
Tanggal 26 Desember 2018 lalu itu masih merupakan hari kedua acara open house yang tengah digelar Bapa Uskup Ketapang, Mgr Pius Riana Prapdi, guna menyambut para tetamu. Lengkaplah acara penyambutan kami bertiga karena di Wisma Keuskupa tersedia aneka jenis makanan plus atmosfir keramahtamahan keluarga besar anggota Wisma Keuskupan Ketapang di Provinsi Kalbar.
Augustinian Spirituality Center (ASC)
Sore itu juga, kami diantar menuju Susteran OSA, tempat kami menginap selama di Ketapang. Open house di susteran OSA juga sedang berlangsung.
Banyak tamu yang hadir antara lain dari kalangan perangkat pemerintahan desa, karyawan perusahaan swasta dan PNS, dan tamu-tamu dari luar yang asalnya penduduk setempat. Kebiasaan menggelar open house di Susteran OSA maupun di Wisma Keuskupan Ketapang itu selalu berlangsung setiap tahun; mulai di hari pertama Natal hingga hari ketiga.
Makanan khas: tempoyak
Sejak pertama kali tiba di Ketapang, kami langsung dikenalkan dengan makanan khas bernama tempoyak. Ini merupakan hasil olahan dari buah durian.
Panen raya durian tahun 2018 menyebabkan buah durian tumpah ruah. Tidak ada durian hasil peraman. Semuanya durian itu jatuh dari pohon sudah masak sehingga rasanya pasti enak.
Di Ketapang, harga satu durian rata-rata Rp 5.000 per buah, sedangkan di desa hanya senilai Rp 1.000/buah. Bandingkan dengan di Jawa yang harga per buahnya bisa mencapai puluhan ribu rupiah.
Tempoyak adalah daging buah durian yang difermentasi dengan garam sehingga bisa bertahan berbulan-bulan. Selain digoreng, masyarakat lokal lebih sering menggunakannya untuk campuran masakan. Hampir semua masakan bernuansa tempoyak. Boleh dikatakan belum sampai Ketapang, jika belum makan tempoyak.
Kaya sumber alam
Kekayaan bumi kalimantan Barat sungguh besar. Di bidang pertambangan dihasilkan boxit, emas, pasir besi. Di bidang perkebunan banyak dijumpai tanaman karet dan sawit.
Sementara itu, banyak penduduk bertani sarang burung walet. Rumah burung bertebaran dimana-mana. Tentu saja, kekayaan alam yang berlimpah ruah tersebut bisa berdampak positif maupun negatif bagi masyarakatnya.
Enam jam di alur sungai ke Menyumbung
Sungai dengan panjang kurang lebih 200 kilometer –tidak termasuk anak-anak sungainya- itu hadir membelah Kota Ketapang sebelum sampai muaranya di Laut China Selatan. Pada waktu air pasang kedalaman bisa mencapai 2,5 meter dan merupakan sarana utama transportasi air dari Ketapang ke permukiman-permukiman yang ada di sepanjang sungai sampai ke bagian hulu atau pedalaman.
Pada tanggal 28 desember 2018 lalu, rombongan turne Bapak uskup ke pedalaman Menyumbung dimulai dengan menggunakan speed boat milik angkutan umum.
Rombongan mampir di Paroki Sandai untuk makan siang setelah empat jam perjalanan dengan speed boat. Dari Sandai, perjalananan dilanjutkan dengan speed boat milik Paroki Menyumbung dalam dua jam perjalanan menghulu.
Totalnya, Ketapang-Menyumbung yang berjarak kurang lebih 150 km perjalanan air ditempuh dalam waktu 6 jam.
Sore hari, rombongan kami berhasil tiba di Paroki Menyumbung dan kami disambut oleh Romo Widhi CP, Pastor Paroki Menyumbung. (Bersambung)