Tiga Tahapan Malam Paska di Melbourne (3)

0
1,137 views

Upacara  terang

DI halaman samping gereja dibuatlah api unggun. Semua umat berkumpul di situ sembari memegang lilin yang telah disediakan. Kemudian, pastor memberkati api unggun, menyalakan lilin paskah dan menyalakan beberapa lilin umat yg kemudian mengedarkannya ke umat lainnya sebagai simbol komunitas yang bersatu. Kemudian umat mengikuti prosesi memasuki gereja dengan tertib, duduk dengan tetap memegang lilin yg menyala.

Exultet dinyanyikan dengan begitu bagusnya oleh Enrico Costantini, pemusik yang setiap hari Minggu menyumbangkan suaranya waktu misa.

Seluruh lampu gereja tidak dihidupkan, hanya terang lilin yang menerangi gereja, tetapi terangnya cukup. Dilakukan tujuh bacaan dari kitab suci Perjanjian Lama yang  diselingi doa, himne dan nyanyian (solis menyanyikan satu kalimat, refren oleh umat: ‘For your love is never ending’ (kasih-Mu tiada akhir). Kemudian bacaan dari Perjanjian Baru: surat Rasul Paulus ke Umat di Roma dan Injil Lukas.

Pembaruan janji baptis

Lampu dinyalakan, litani orang kudus dinyanyikan, pemberkatan air baptis. Pembaruan janji baptis untuk semua umat, baru kemudian dilakukan acara pembaptisan. Pada malam Paskah itu, ada tiga orang dewasa dan satu bayi dipermandikan.

Yang menarik di Melbourne, kepada baptisan dewasa baru pastor paroki memberikan tiga sakramen sekaligus: baptis, krisma, dan ekaristi (komuni). Hanya umat yang dibaptis sejak bayi yang harus mendapatkan sakramen krisma langsung dari uskup di Gereja Katedral St. Patrick.

Mereka yang baru dibaptis lalu mendapatkan “kehormatan” membawa persembahan ke altar, bergabung di altar hingga sampai pemberian komuni. Mereka juga mendapat kesempatan pertama memperoleh tubuh dan darah Tuhan.

Barulah setelah misa usai, semua umat diundang berkumpul di sebuah ruangan untuk ramah tamah. Kali ini, minum anggur, jus, sejumlah kue, dan telur coklat khas Paskah.

Ekaristi

Ini sama alurnya dengan yang kita temui di Indonesia.  Khotbah yang bertele-tele dan tidak fokus menjadi “penyakit” mingguan para pastur di banyak paroki di Indonesia. Ujung-ujung, umatnya menjadi bosan dan jenuh mendengar “ocehan” kotbah sang pastur.

Pastur Michael Casey Pr yang menjadi pastur Paroki St. Ambrose tahu betul soal ini. Maka, ia memilih tidak mau omong lebih dari 10 menit di atas mimbar kotbah. Ia menjadi pastur favorit lantaran antara lain kotbahnya selalu menyentuh dan mengena pada kehidupan sehari-hari umat. Apalagi, formulasi bahasanya pun sederhana.

Lahir di Melbourne, Pastor Casey ini telah berkarya 10 tahun di St. Ambrose, setelah sebelumnya dinas di Geelong, Flemington dan Collingwood– semuanya di Victoria. Ia berpenampilan sederhana dengan tutur bahasa yang tenang dan halus.

Royani Lim, bekerja di lembaga nirlaba di Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here