SUATU kali, seorang sahabat mengirim sebuah puisi yang ditulis W.S. Rendra (Almarhum) kepada saya.
Puisi ini, katanya ditulis ketika beliau sedang terbaring sakit di ranjangnya sebelum meninggal. Saya mengutipnya di sini untuk bekal perjalanan kita ke dunia hati.
Seringkali aku berkata, ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
Ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
Kusebut itu sebagai ujian,
Kusebut itu sebagai petaka,
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta,
Ingin lebih banyak mobil,
Lebih banyak popularitas,
Dan kutolak sakit,
Kutolak kemiskinan,
Seolah semua “derita” adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya
Harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
Dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”
Dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan,
Hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
“Ketika langit dan bumi bersatu,
Bencana dan keberuntungan sama saja”…..
Semua manusia akan mati, tetapi hanya orang-orang tertentu yang tetap kita kenang. Apa yang kita kenang dari mereka? Kita mengenang apa yang telah mereka lakukan untuk peradaban dan kemanusiaan, untuk kehidupan yang lebih baik di dunia ini.
Kita tidak sekadar mengenang apa yang mereka katakan, tetapi mengenang tindakan yang terekam dalam kata-kata mereka. Kita memang mempercayai orang dengan kata-katanya, tetapi kita menghargai mereka dengan perilakunya.
Maka jika Anda ingin meninggalkan jejak kenangan dalam hidup ini, hiduplah seperti hujan yang turun ke bumi, setelah selesai, dia akan meninggalkan bau harum dari tanah yang dibasahinya. Tinggalkan perbuatan yang baik, perilaku yang bermartabat, dan tindakan yang membawa kemuliaan.
Jangan menunggu, waktu tidak akan pernah “benar-benar tepat”.
Mulailah dari tempat Anda berdiri sekarang,
dan bekerjalah dengan menggunakan alat apapun yang Anda miliki,
dan alat-alat yang lebih baik akan ditemukan
saat Anda melakukan pekerjaan Anda
(Napoleon Hill)
(selesai)