“KUMPULAN orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4: 32)
Itulah gambaran hidup jemaat kristen awali. Minimal, ada tiga elemen utama di sana.
Pertama, sebagai umat beriman mereka membentuk satu komunitas. Kedua, mereka hidup dalam satu kesatuan hati dan pikiran.
Inilah yang membuat mereka sungguh kuat bersatu. Ketiga, tidak seorang pun menganggap bahwa harta kekayaannya hanya untuk dirinya sendiri. Mereka membaginya sesuai kebutuhan masing-masing.
Kalau harta menjadi milik bersama dan dibagi untuk kebutuhan masing-masing, apa bedanya dengan sosialisme-komunisme?
Bukankah ideologi tersebut juga membagi kekayaan secara sama rata?
Komunisme itu ingin menghapus kelas-kelas dalam masyarakat. Tidak ada buruh, tidak ada majikan.
Sosialisme menguasai alat-alat produksi dan membagi hasilnya secara sama rata. Ingin menghapus pertentangan kelas untuk tujuan kesejahteraan ekonomi.
Sedangkan komunitas kristen awal disatukan oleh iman yang melahirkan kasih dan kepedulian. Model hidup itu membuat mereka dapat memberikan kesaksian iman dengan kuasa yang besar dan tanda yang menyembuhkan (bdk. Kis 4: 33).
Hingga kini Gereja menghayati model hidup komunitas seperti itu. Kita dapat menemukannya antara lain dalam hidup religius.
Di sana penghasilan yang mereka peroleh itu menjadi milik bersama dan digunakan sesuai kebutuhan masing-masing anggotanya.
Gereja juga memperjuangkan keadilan lewat karya-karya sosial ekonomi. Banyak keuskupan dan paroki memiliki komisi sosial-ekonomi yang membantu orang-orang miskin.
Karya ini berdasar iman dan kasih; bukan karena alasan ideologi ekonomi.
Sebagai orang beriman, apakah aku juga memperhatikan kebutuhan sesama yang berkekurangan?
Sejauh mana aku telah menghayati iman dalam kasih yang nyata?
Selasa, 26 April 2022