Minggu, 29 Agustus 2021
- Ul.4:1-2.6-8.
- Mzm.15:2-3a.3cd-4ab.5.
- Yak.1:17-18.21b-22.27.
- Mrk. 7:1-8.14-15.21-23
FORMALISME mementingkan ritual keagamaan daripada intimitas dengan Tuhan.
Identitas keagamaan lebih diutamakan daripada memahami dan menghidupi isi ajaran agamanya.
Yesus menegaskan bahwa ibadah yang benar adalah membentuk hati yang selalu bersatu dengan Tuhan.
Dalam beribadat, orang harus membentuk hatinya. Supaya berisi arus cinta kasih yang mengalir dalam kebaikan, kepekaan, solidaritas, empati dan simpati. Sehingga perbuatannya sungguh diwarnai oleh hati yang penuh keilahian.
Ibadat yang sejati dalam gereja hendaknya merupakan luapan hati yang penuh warna cinta.
Setiap tindakan dalam hidup bersama -baik di dalam Gereja maupun di tengah masyarakat- mestinya merupakan cerminan dari hati kita yang telah disentuh kasih ilahi.
Jika Allah yang bersemayam di dalam hati kita, maka Dia akan memancarkan kasih-Nya. Lewat sikap dan perbuatan kita setiap hari.
Seorang bapak yang sudah senior dan sangat aktif hidup menggereja merasa sedih. Karena situasi gereja menjadi ramai. Juga sering kali anak-anak diikutkan sebagai lektor.
“Saya tidak setuju kalau anak-anak tugas lektor dalam perayaan misa,” katanya dengan nada protes.
“Perayaan misa bukan untuk latihan anak tampil membaca di muka umum. Ini peribadatan yang agung dan suci,” tegasnya.
“Mereka kurang sopan dan belum mengerti altar sebagai tempat sakral. Kehadiran mereka dalam peribadatan cenderung menggangu saya dalam berdoa,” ujarnya lagi.
“Zaman saya dulu, liturgi lebih anggun, khimat, dan sakral daripada saat ini,” katanya.
“Saya kira, semua kekhimatan dan keanggunan misa masih sama, hanya para pelayan yang berbeda dengan gaya dan kepribadian yang masih perlu belajar. Mereka bukan lagi anak-anak, tetapi sudah remaja. Mestinya kita senang mereka mau belajar menggereja,” selaku.
“Mereka masih sering salah dan kurang liturgis sikapnya,” sahutnya.
“Mungkin benar ada yang masih belum sempurna dan masih perlu dibenahi. Tetapi sayang jika mereka tidak diberi kesempatan untuk melayani,” jawabku.
“Mestinya kita bersyukur karena umat semakin terlibat dan masyarakat luas semakin merasakan sumbangsih anggota Gereja secara nyata,” ujarku lagi.
“Gereja itu ada bukan untuk dirinya sendiri. Melainkan seperti lilin, yang berani terbakar habis untuk menerangi siapa pun yang ada dalam kegelapan,” kataku lagi.
“Namun kami juga boleh merindukan kemesraan dan kenyamanan dalam peribadatan hingga doa-doa kami semakin mengalami kedalaman relasi dan kepercayaan kepada Tuhan,” tegas bapak itu.
“Peribadatan yang baik akan memberikan energi dan cara pandang baru yang sesuai dengan kehendak Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari, bukan sekedar menikmati kenyamanan sendiri,” kataku lagi.
“Sedangkan peribadatan yang palsu, hanya berhenti dalam menjalankan ritus tanpa menginspirasi kita untuk lebih memuliakan Tuhan dalam kenyataan hidup kita,” ujarku.
“Ibadat menjadi palsu jika kita hanya mementingkan perasaan, tenang, puas, senang tanpa memberi dampak bagi kehidupan bersama,” kataku.
Hidup keagamaan jangan sampai jatuh dalam formalisme yang kaku dan tidak bernyawa.
Kehidupan beriman itu menyenangkan dan mengembirakan bukan karena ritual yang kita jalani.
Namun karena perjumpaan dengan Tuhan dalam pengalaman jatuh bangun yang kita alami termasuk dalam peribadatan yang kita rayakan.
Setiap orang perlu mengadakan perjalanan rohani dari sekedar formalitas menuju hidup spiritualitas.
Dari penampilan luar menuju ke dalam pembentukan hati yang melayani.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah relasiku dengan Tuhan sudah semakin kuat dan dalam?