Renungan Harian
17 Februari 2021
Hari Rabu Abu
Bacaan I: Yl. 2: 12-18
Bacaan II: 2Kor. 5: 20-6: 2
Injil: Mat. 6: 1-6. 16-18
BEBERAPA tahun yang lalu, di sebuah media diberitakan ratusan buruh dari berbagai aliansi di Yogyakarta melakukan “topo pepe” di Alun-alun utara Yogyakarta. Para buruh melakukan unjuk rasa, karena tidak setuju dengan rencana pemerintah Daerah Istimewa menaikkan Upah Minimum Kabupaten yang hanya berkisar 8,25 persen yang dirasa terlalu kecil.
Para buruh melakukan “topo pepe” berharap kebijakan Sultan Yogya atas kecilnya kenaikan Upah Minimum Kabupaten.
Para buruh berpendapat ada yang mungkin tidak bisa dilakukan Sultan Yogya sebagai Gubernur DIY, karena terbatas secara administratif tetapi sebagai Raja dapat melakukan seturut kebijakan seorang Raja.
“Topo pepe” adalah suatu tradisi lama di Jawa, ketika rakyat melakukan unjuk rasa. Kata unjuk rasa lebih tepat menunjuk “topo pepe” dari pada demonstrasi, karena unjuk rasa berarti menunjukkan, mengungkapkan rasa, kegelisahan.
“Topo pepe” adalah kegiatan unjuk rasa mohon keadilan raja dengan cara duduk diam, berjemur menghadap tahta kerajaan.
“Topo berarti bermeditasi dengan bermati raga sedangkan “pepe” berarti berjemur maka “topo pepe” berarti bermeditasi dengan bermatiraga berjemur memohon kebijaksanaan raja atas ketidak adilan yang dialami oleh warga.
Dalam tradisi, rakyat yang mengadakan “topo pepe” akan melakukannya sampai raja menyapa mereka.
Dalam tradisi raja akan menyapa mereka dan menanyakan apa yang diharapkan oleh rakyat dengan mengadakan “topo pepe” itu.
Mulai hari ini, umat katolik memulai hari-hari puasa dan pantang.
Masa puasa dan pantang adalah masa dimana umat katolik seperti melakukan “topo pepe” bermeditasi dan bermati raga (meski tidak berjemur) mohon belas kasih Sang Raja Agung, Allah yang penuh kerahiman.
Bermeditasi melihat diri sendiri (introspeksi), menyadari keadaan diri sendiri yang selama ini cenderung mencari diri sendiri dan menjauh dari Allah.
Sekarang “topo pepe” kembali kepada Allah mohon belas kasih-Nya, agar berkenan mengampuni segala kesalahan dan dosa; serta berharap agar berkat belas kasih dan kerahiman-Nya, Allah Sang Raja Agung berkenan menerimanya kembali.
Selama 40 hari melakukan “topo” mengolah diri agar layak diterima kembali sebagai bagian dari anak-anak-Nya.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Kitab Yoel: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya. Siapa tahu, mungkin Ia mau berbalik dan menyesal.”
Bagaimana dengan aku?
Akankah aku mau memasuki hari-hari penuh rahmat ini dengan “topo”?