ANAK kandung saya dan calon menantu bernama Kevin dan Nadya. Mereka berdua telah sepakat ingin melanjutkan hubungan cinta ke jenjang pernikahan.
Terjadi demikian, setelah empat tahun mereka berdua berpacaran.
Pamitan kepada tradisi Bali
Persoalannya “teknis” kemudian muncul.
Kevin beragama Katolik, sedangkan Nadya pemeluk Hindu Bali.
Setelah kedua belah pihak keluarga berembug, maka disepakati sepasang sejoli ini akan diperkenankan melangsungkan perkawinan secara Katolik. Namun demikian, seturut tradisi dan adat Bali, Nadya harus menjalani upacara Mepamit (berpamitan dengan baik-baik) secara Hindu terlebih dahulu, sebelum nantinya ia nikah secara Katolik dan menjadi katekumen sesuai prinsip tradisi Bali. Yakni, bahwa calon pengantin perempuan harus mengikuti pihak pria.
Dua bagian upacara
Ada dua bagian upacara Mepamit yang harus dijalani Nadya dengan didampingi calon suami.
Pertama, secara sekala (kehidupan nyata), disaksikan Bendesa Adat (tetua) dan Klian Banjar, mempelai wanita secara administrasi mengundurkan diri dari keanggotaan adat dan kependudukan desa dinas. Sehingga nantinya akan masuk ke lingkungan adat pihak pria, dalam kasus ini Gereja Katolik dianggap sebagai lingkungan adat.
Pihak Gereja diwakili dewan paroki menerima Nadya sebagai anggota adat yang baru.
Ritual secara niskala (spiritual) dipimpin oleh seorang Pedanda (pendeta Hindu) lengkap dengan berbagai uba rampai sesajinya.
Secara prinsip, di hadapan Hyang Widi Wasa, Nadya berpamitan kepada para dewa dan leluhur yang selama ini menjadi sesembahannya. Juga mohon restu untuk kepindahan ke adat dan agama barunya.
Ini mungkin sedikit mirip kisah wanita bernama Ruth dalam Perjanjian Lama sebagaimana terungkap dalam syair lagu:
Wherever you go I shall go
Wherever you live so shal I live
Your people will be my people
Anda your God will be my God too.
Setelah proses ritual selesai, Widya secara Hindu Bali sudah diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan dengan Kevin sekaligus memeluk agama Katolik.