KAMI, para suster SMFA (Suster Misi Fransiskan Santo Antonius – Pontianak) sejak lama mempunyai sebuah tradisi baik dalam hal pewartaan iman. Tradisi baik ini adalah kegiatan melakukan turne alias blusukan masuk kampung-kampung di kawasan pedalaman.
Tradisi ini adalah warisan para suster SMFA pendahulu. Kegiatan blusukan macam itu sudah mereka praktikkan sejak tahun-tahun awal kedatangannya di Indonesia tahun 1931. Tepatnya, ketika para suster perintis SMFA di Kalimantan itu baru menginjakkan kaki di ‘benua’ Martinus.
Kata ‘benua’ dalam bahasa Dayak Embaloh berarti kampung.
Para suster SMFA rajin mendatangi orang–orang di kampung, sehingga akhirnya mereka dapat merebut hati dan memenangkan simpati rakyat. Akhirnya, banyak anak mau masuk asrama. (Bdk. Piet Derckx SMM, 2008:24)
Di zaman ini, turne sudah jauh berubah sesuai konteks zamannya. Namun, tradisi turne di Kongregasi SMFA masih akan terus kami praktikkan dari waktu ke waktu.
Itu kami lakukan dalam tugas karya di Keuskupan Sintang; juga ketika para suster SMFA mulai membuka komunitas karya di Keuskupan Sanggau tahun 1996 dan kemudian di Keuskupan Agung Pontianak tahun 2005.
Zaman lampau, turne dilakukan untuk menarik simpati rakyat supaya anak-anak penduduk mau masuk asrama dan bisa sekolah. Tapi, turne di zaman now kini punya tujuan berbeda. Kali waktu lalu, kami melakukan turne untuk mengenalkan apa itu Kongregasi SMFA.
Beberapa calon suster SMFA yang ada saat ini di tahapan pendidikan awal (postulan dan novis) adalah ‘hasil’ nyata dari serangkaian kegiatan turne di paroki–paroki Keuskupan Agung Pontianak.
Pada saat turne itu, para suster diizinkan boleh memberi komuni kudus kepada umat di stasi yang ingin dikunjungi.
Tri Hari Suci di pedalaman
Turne para suster SMFA kali ini kami lakukan sepanjang Tri Hari Suci. Beberapa suster SMFA ‘terjun ke lapangan’, sebentar meninggalkan zona nyaman untuk melihat dunia luar dan utamanya di kampung-kampung pedalaman.
Di wilayah Paroki Putussibau, turne dilakukan oleh:
- Sr. Bernadetha SMFA ke Paroki Penampakan Tuhan Siut Melapi;
- Sr. Theresia Tince SMFA ke Paroki Nanga Kantuk;
- Sr. Odila SMFA di Stasi sekitar Paroki Putussibau.
Di wilayah Keuskupan Sintang yang terdiri 36 paroki, kegiatan turne diampu oleh:
- Sr. Aurelia SMFA dan Sr. Monica SMFA ke Paroki Tebidah;
- Sr. Kamelia SMFA dan Sr. Albertha SMFA ke Paroki Pandan;
- Sr. Lustiana SMFA dan Sr. Zenobia SMFA ke Paroki Senaning.
Di wilayah Keuskupan Agung Pontianak, turne dilakukan oleh:
- Sr. Sesilia SMFA dan Sr. Kresentia SMFA ke Paroki Karangan.
- Sr. Domisia SMFA dan Sr. Angel (Novis II) ke Paroki Menjalin.
- Sr. Martha SMFA, Sr. Yohana SMFA, dan Sr. Gerarda (Novis II) ke Paroki Bengkayang.
- Sr. Muthia SMFA ke Paroki Pemangkat.
Turne lainnya terjadi di lingkup wilayah di mana di situ sudah ada komunitas karya para suster SMFA yakni di:
- SP I/Emparu Paroki Dedai;
- Sr. Kristiana SMFA, Sr. Anna SMFA, dan Sr. Diana SMFA maupun yang sedang live in yakni Sr. Martina SMFA dan Sr. Alfonsa SMFA di Paroki Serimbuk.
Pastor Ray Sales OSJ, Pastor Paroki Karangan, mengundang segenap imam, suster, bruder dan frater untuk ikut terlibat dalam reksa pastoral selama Pekan Suci.
Jarak tempuh dengan mobil dari Pontianak ke Karangan kurang lebih 2-3 jam perjalanan darat.
Harap dibedakan antara dua lokasi berbeda, yakni Paroki Karangan (masuk reksa administrasi gerejani Keuskupan Agung Pontianak) dan Paroki Balai Karangan (masuk wilayah Keuskupan Sanggau dan terletak di garis perbatasan dengan wilayah Sabah, Malaysia).
82 stasi
Paroki Karangan mempunyai 82 stasi. Selama Pekan Suci, layanan reksa pastoral liturgikal dilakukan oleh 32 petugas pastoral. Mereka terdiri Pastor Ray OSJ dan Yacop CJD, Diakon Marsianus CSE, 2 suster SMFA, 4 frater MSA, 2 frater praja (dari Sabah dan Palangkaraya), Br. Bart OSJ, dan 20 Prodiakon paroki.
Inilah pengalaman penulis saat ikut berturne mulai Kamis Putih di Stasi Nekmaih. Kami diantar mobil paroki dan bermalam di stasi. Di situ masih ada listrik, tapi tidak ada sinyal.
Upacara pembasuhan kaki: 12 rasul telah siap di tempat dan tersedia air satu ember bekas cat volume 20 kg, sabun, dan lap. Umat yang hadir tidak sampai memenuhi kapasitas gedung gereja.
Stasi Sijarum
Penulis mengikuti Ibadat Jumat Agung di Stasi Sijarum. Kami menempuhnya dengan naik sepeda motor dari Stasi Nekmaih.
Jalannya mendaki, kondisi tanah berbatu–batu besar dan di kanan-kiri ada lahan curam. Saya dibuat ngeri sekaligus takut. Bukan karena apa, melainkan cemas kalau-kalau ban bisa pecah dan bocor angin.
Kalau hal ini sampai terjadi, sungguh malang. Kemungkinan motor terpeleset dan kemudian jatuh ke jurang sangat dalam. Saya merasa seperti di medan uji nyali. Faktor usia ikut mempengaruhi gejolak batin dan emosi.
Di jalur ini tidak ada listrik, juga sinyal tidak ada.
Ketika akhirnya tiba sampai di stasi, umat tampak belum siap. Mereka masih sibuk menjemur padi dan belum ada tanda–tanda mau sembahyang.
Semua harus disiapkan: untuk Jalan Salib dan penyembahan salib. Selang kemudian, barulah satu per satu umat mulai datang dan akhirnya umat yang hadir cukup banyak 81 orang dari 42 KK. Separuh kurang terdiri anak-anak berjumlah 32.
Selesai sembahyang, kami langsung pulang ke Stasi Nekmaih agar bisa menghindari hujan dan kemalaman. Kalau ini terjadi, sudah pasti penulis bisa ‘tersesat’ di jalan dan tak bisa pulang ke lokasi yang lebih aman.
Malam jelang Paskah terjadi di Stasi Nekmaih. Umat yang hadir kira–kira 75 orang, meski tercatat data 89 KK.
Ketika berlangsung upacara cahaya, semua umat bisa pegang lilin bernyala di tangannya masing-masing dan mereka mendapatkan nyala terang dari Lilin Paskah.
Masing-masing bisa memegang lilin Paskah dan itu hanya bisa terjadi, karena ada donasi lilin dari seorang penderma di Pontianak.
Inilah keinginan semua orang Katolik bahwa di Misa Vigili Paskah 2018, semua orang bisa memegang lilin bernyala di tangannya. Syukurlah ada penderma mau berbagi untuk hal ini.
Ada perasaan lega, walaupun di hati terdalam ini masih saja berlangsung ‘perang batin’ dan bertanya-tanya apakah masih bisa membawanya ke stasi lainnya.
Semua senang dan kami bergembira saling berucap “Selamat Paskah”. Kristus telah menang atas kematian
Di Stasi Bambuk
Hari Raya Paskah terjadi di Stasi Bambuk. Kami ke sana dengan naik sepeda motor dari Stasi Nekmaih. Jalannya mendaki dan tanahnya sangat licin, maka kami harus eksra hati–hati. Waaah… seru juga pengalaman turne ini.
No listrik dan no signal.
Kapel Stasi Bambuk sedang dibangun dengan luas bangunan 12 x 6 m dan ini merupakan 100% hasil swadaya umat. Konon katanya, upah tukang nol.
Di misa Hari Raya Paskah ini, umat yang bisa hadir 72 orang + anak dengan 30 KK. Mereka duduk di bangku ala stasi. Sebagian merelakan diri duduk di atas terpal yang mereka bawa dari rumah untuk alas duduk.
Ada juga yang membawa kursi masing–masing dari rumah.
Sungguh terharu dan tergugah untuk mengetuk hati banyak orang untuk peduli.
Sumbangan telur
Penulis membawa telur 600 butir sumbangan dari penderma untuk dibawaserta dalam turne. Cara membawanya ke stasi dengan cara ini: kami ‘balut’ semua telur itu dalam sekam padi dan so pasti aman dan tidak pecah.
Telur-telur itu lalu dibagi ke Stasi Caong dan Stasi Nektune, Stasi Nekmaih 50 butir dan Stasi Sijarum 50 butir bonus 22 butir karena kami membawanya ke stasi yang sulit.
Stasi Bambuk kebagian telur 50 butir, tempat di mana penulis merayakan Hari Raya Paskah.
Merasa pilu, ketika Stasi Bambuk malah kurang telur, karena salah perhitungan ketika mendengar kata orang jumlah umatnya sedikit.
Pembagian telur dilakukan begini. Anak satu, dapat satu; anak dua, dapat dua; anak tiga, mendapat dua; dan anak empat, dapat tiga; serta anak anak lima pun, terpaksa hanya bisa mendapat tiga.
Sedih, bukan?
Pepatah bijak mengatakan: “Seperti kelempiau punya ekor, karena kasihan dengan orang lain sendiri tidak punya ekor.”
Kelempiau adalah sejenis kera lokal di pedalaman Kalbar.
Sesudah ibadat, penulis menikmati makan siang di rumah ketua umat. Ketika pulang, kami diberi oleh-oleh beras hasil panen. Itu budaya lokal yang sangat khas di sana: memberi beras setelah panen.
Selamat Paskah dan Selamat Hari Raya Kemenangan. (Berlanjut)