“… Thank you Lord for the new day
For the sun that rises
For the air that is fresh, and
For the breeze that cools our worry…”
Itu penggalan doa yang saya lafalkan dalam Bahasa Indonesia. Saya cuplik dari sebuah film dengan nuansa kagum kepada alam dan Sang Penciptanya.
Saya lupa judulnya, maklum sudah cukup lama. Hanya empat kalimat itu yang membekas di hati saya.
Pesannya, kemudian, saya simpan dan ulang, sampai kini.
Doa menyebut tiga hal yang menjadi berkah bagi umat manusia. Matahari, udara dan angin yang semilir.
Yang kedua dan ketiga menjadi satu, karena angin adalah udara juga. Angin membawa udara berpindah tempat. Terbang dari satu posisi ke lokasi lain. Arah dan kecepatannya tergantung perbedaan tekanan udara. Sekaligus membuat segar, menyejukkan kekhawatiran (cools our worry).
Baru pada masa pandemi ini saya sadar bahwa matahari dan udara adalah dua karunia yang dahsyat.
Tanpa itu manusia musna. Matahari adalah sumber energi, udara sumber kehidupan. Mudah didapat dan cuma-cuma.
Matahari menaikkan imunitas tubuh. Udara meningkatkan saturasi oksigen dalam darah. Keduanya membuat badan sehat dan kuat menangkal penyakit.
Menakjubkan.
Kebesaran alam dan Penciptanya menjadi misteri yang menggentarkan manusia. Bahasa Latin menyebutnya ”mysterium tremendum”.
Tidak hanya kagum, Ia juga “menyenangkan”. Sang Pencipta menawarkan “cinta” bagi yang mengimaniNya. Dia loveable. Disebutnya “mysterium fascinosum”.
Ketika naik helikopter yang terbang rendah dari bandara Matak ke sebuah anjungan minyak dan gas lepas pantai di Laut China Selatan, saya ternganga takjub melihat Kepulauan Anambas di bawah kami.
Begitu mempesona, indah, menawan, dan mengagumkan. Sesuatu yang menggentarkan sekaligus membuat siapa saja untuk mencintainya.
Kedua misteri itulah yang disebut oleh Rudolf Otto, teolog Protestan (1869-1937), sebagai “tremendum et fascinosum”.
Menggentarkan sekaligus menarik dan dicintai.
Sang Pencipta memiliki keduanya.
Dalam skala yang lebih kecil, pemimpin duniawi seyogyanya memiliki keduanya. Apakah pemimpin formal atau informal, duniawi atau spiritual, negara atau organisasi, tingkat negara atau masyarakat terbatas.
Dalam skopnya masing-masing prinsip “tremendum et fascinosum” layak disandangnya.
Begitulah awal kisah mengenai kepemimpinan manusia dimulai.
Teringat saat berusia 3-4 tahun. Terisak-isak saat bapak saya menunjukkan ketidaksukaannya terhadap “kenakalan” saya.
Beliau tidak bicara, atau apalagi membentak, atau mencubit, hanya sedikit memelototkan matanya dan menyebabkan saya ndredeg ketakutan yang tak terperikan.
Di sisi lain, bila beliau terlambat tiba di rumah 10 menit saja, rasa ingin berjumpa segera timbul.
Saya gentar (atau takut) sekaligus juga mencintainya. Saya segan (atau respek) tapi juga menginginkannya selalu didekatnya.
“Tremendum et Fascinosum”, bila kedua sifat itu dimiliki, maka seseorang menjadi effective leader.
Tujuan organisasi lebih mudah diraihnya. Aura dari dalam membantu mewujudkan mimpi bersama.
Perubahan peradaban membuat pemimpin dengan “tremendum et fascinosum” semakin sulit dijumpai. “Fascinosum” masih jamak, tapi sifat pertama sudah langka.
Mungkin tak butuh lagi rasa gentar yang berlebihan. Meski Sang Pencipta terus memancarkan keduanya. Meski alam terus struggling dengan kelestariannya, yang terancam ulah manusia, “tremendum” tak lagi dominan.
Nowness dan hereness menjadi keniscayaan bagi budaya baru bangsa, bahkan dunia. Akal sehat menggantikan loyalitas.
Semua kebiasaan dan kebijaksanaan lama harus dipertanyakan sesuai kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi yang teruji.
Tanpa nalar, manusia sulit move on, karena kakinya terikat di masa lampau yang penuh semak belukar yang berduri.
Rudolf Otto mungkin tak membayangkan akan perubahan peradaban yang begitu cepat bergulir di dua abad terakhir ini.
Apa pun yang tersisa harus terus “dikejar” sampai akal-sehat mentog dan tak sanggup lagi.
Jangan menyerah dengan mengorbankan logika. Jangan lupa terus ndremimil memohon dan mengakui kegentaran manusia yang mencintai Sang Pencipta.
“Gusti, kula nyuwun endah: endahing lampah – tresna panggah
Gusti, kula nyuwun bagus: bagusing cempe – pethak mulus
Gusti kula nyuwun tresna: tresna ing Gusti – asih ing sasama”
(Sraddha Jalan Mulia, I Kuntara Wiryamartana, SDU Press, 2014, hal 21)
@pmsusbandono
31 Juli 2021