“Mungkin Komunitas Relawan Grigak ini adalah sebuah alat yang sudah didesain atau sebuah asosiasi bidan yang telah dididik atau sebuah gubuk yang sudah diarsiteki oleh Rama Mangun secara milenial untuk membantu adik-adik di Grigak untuk melahirkan kebenaran” (Nelis)
“Semua anggota Komunitas Relawan Grigak adalah role model bagi adik-adik di Pedukuhan Karang. Betapa berdosanya, ketika tindak tutur kita (jelek) berdampak pada masa depan adik-adik Pedukuhan Karang.”(Arni)
Tanggal 22-24 November 2019 adalah dua hari yang akan memberikan ruang dan waktu refleksi bagi Komunitas Relawan Grigak di Bandungan, Semarang. Tepat pukul 17.00, sebagian besar anggota Komunitas Relawan Grigak sudah berkumpulan di depan Auditorium Universitas Sanata Dharma.
Sembari menunggu beberapa anggota komunitas yang masih menyelesaikan perkuliahan hingga pukul 18.00, terlihat Romo. P. Wiryono, SJ sebagai pendamping komunitas pun telah datang dan bercakap dengan beberapa anggota komunitas. Pukul 18.16, baik anggota komunitas, maupun Romo Paulus Wiryono, SJ sudah berada di dalam bus dan doa untuk memulai perjalanan segera dilantunkan.
Perjalanan dimulai dengan penuh sukacita dalam nada syukur. Keceriaan memecahkan suasana bus ketika canda-tawa, giringan gitar, dan nyanyian lagu-lagu populer berdengdang. Kadang-kadang jepretan foto berhasil terekam kamera untuk mengabadikan moment perjalanan bernuasa ziarah itu.
Semarak Kota Jogja, ramai lancarnya lalulintas di Jalan Magelang, Muntilan dan Magelang menghiasi perjalanan yang penuh dengan kisah-kisah kecil yang dituturkan dalam kemasan kelakar oleh beberapa anggota komunitas.
Ketika tiba di Rumah Makan ANI, makan malam bersama tak dapat terelakkan. Makan Malam yang penuh khimat itu disyukuri oleh setiap anggota komunitas, pendamping komunitas, bahkan sopir bus dan asisten yang ditandai dengan sujud syukur dalam doa menurut kepercayaan masing-masing.
Perjalanan berlanjut ke Bandungan. Keceriaan dalam bus pun masih berlanjut hingga ke Villa Sinewente. Gelak tawa, untaian-untaian lirik lagu yang mengalun senantiasa mengisi seisi bus itu.
Vila Sinewente. Sebuah rumah komunitas bagi para pengikut spirit Santo Ignatius. Sebuah rumah yang memberikan ruang dan waktu bagi anggota Relawan Grigak untuk merayakan refleksi. Selayaknya sebuah bangunan rumah, tempat ini memiliki dapur, kamar mandi, kamar tidur, ruang tamu, teras, dan taman.
Malam yang menyejukkan itu ditutup dengan kesibukan masing-masing untuk memilih beristirahat, bernyanyi dengan iringan gitar, atau sekedar bercerita ria. Kisah-kisah dari berbagai versi mulai dituturkan.
Seperti sebuah bola guling, aneka kisah mulai digulingkan ke sana ke mari dengan aneka respon. Dan sekali lagi, setiap kisah dalam lingkup generasi komunal ini senantiasi dikemas dengan kelakar. Malam itu berlalu dengan tetap menyisakan beberapa anggota Relawan Grigak menyambut rekahan sang fajar.
Sebagaimana kesepakatan bersama, setiap anggota komunitas akan bertugas masak berdasarkan jadwal. Tugas itu akan diemban oleh setiap kelompok masak mulai dari belanja bahan-bahan masak, menyiapkan alat-alat masak, meracik bumbu, memasak, dan menyajikan pada waktu sarapan, makan siang, dan makan malam.
Sabtu, 23 November 2019
Pagi itu, ketika kelompok masak sudah menyajikan sarapan, dan peserta yang lain telah bangun, Romo Paulus Wiryono, SJ mengajak semua anggota untuk memulai hari baru yang cerah itu dengan doa napas.
Doa ini berlangsung selama tiga puluh menit. Pada intinya doa ini bertujuan untuk menyadarkan setiap orang tentang anugrah napas yang setiap saat dihirup dan dihembuskan.
Setiap beberapa menit, setiap orang diminta untuk menyadari napasnya, memberikan diri untuk dipeluk alam melalui angin yang menyelimuti tubuh, dan menenggelamkan diri untuk membiarkan diri dipeluk oleh orang yang sedang dirindukan (karena merasa disayangi), dan yang terakhir adalah memberikan diri seutuhnya dalam pelukan Tuhan Yang Maha Esa.
Romo P. Wiryono, SJ sebagai pendamping Refleksi Komunitas Relawan Grigak membagi sesi refleksi ini dengan istilah Tridiuum. Setiap sesi memiliki waktu untuk pengendapan (materi), sharing, dan pleno.
Sebagaimana sejarah Komunitas Relawan Grigak, spirit yang diperjuangkan adalah semangat Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Rama Mangun) dalam menebus dosanya kepada masyarakat kecil. Semangat Rama Mangun adalah sumber roh bagi setiap anggota Komunitas Relawan Grigak untuk mengabdi negeri dan mengabdi sesama.
Sesi pertama dalam kerangka triduum ini mengangkat tema “Mengenal Cita-cita dan Semangat Kebangsaan Rama Mangun.”
Pada sesi ini, setiap peserta berusaha mengendapkan materi tentang kisah Rama Mangun sejak masa kecil Rama Mangun melalui materi, cerita, dan pemutaran video tentang Rama Mangun dan Pendidikan Kaum Miskin serta Di Balik Pesan Sang Teladan.
Masa kecil Rama Mangun memang terbentuk di tengah zaman menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang kemudian serta merta membarakan panggilan Rama Mangun untuk bergabung dengan Tentara Pelajar (Batalyon X Divisi III) pada usia 16 tahun, sebelum akhirnya memilih menjadi seorang Rohaniwan setelah mendengar pidato Mayor Isman (Pemuda Muslim, pemimpin Trip Jawa Timur).
Mayor Isman mengatakan bahwa yang pahlawan adalah rakyat jelata, petani-petanilah yang menghidupi kami.
“Saya ingin membayar utang kepada, sebab merekalah yang sesungguhnya telah berjasa besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia ini.”
Demikianlah isi surat Bil (panggilan Rama Mangun masa kecil)
Sesi pertama ini diapresiasi semua peserta dengan begitu banyak sharing berbingkai refleksi. Refleksi yang disepakati bersama di sini adalah ketika kita memundurkan diri beberapa langkah sebelum tenggelam dalam samudra pengendapan. Ibarat kapur putih dalam air lambat laun akan mengendap ke dasar sebelum membentuk piramida terbalik dalam samudra.
Misalnya ketika ada kelompok yang memaparkan pleno tentang gambaran yang paling menonjol tentang cita-cita dan semangat Rama Mangun.
“Apa yang telah dilakukan oleh Rama Mangun (mengabdi kepada masyarakat kecil) senantiasa menjadi misteri bagi kaum muda penerus cita-cita dan semangat Rama Mangun. Akan tetapi dharma bakti dan semangat Rama Mangun itu justru menjadi peluang bagi penerusnya untuk mencapai kemanusiaan sejati.”
“Perjuangan Rama Mangun adalah pengaplikasian sila kelima pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
“Rama Mangun rela melepaskan profesi yang elegan (Komandan Tentara Pelajar) demi mengabdi kepada negeri dan sesama.”
“Rama Mangun berkorban untuk berjuang dan berjuang untuk berkorban. Rama Mangun mengorbankan cita-citanya untuk menjadi insinyur, memiliki rumah megah, mobil, menikmati bulan madu, memiliki istri-anak, dan berlibur ke pantai. Semuanya dikorbankan demi ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dengan bergabung bersama Tentara Pelajar Batalyon X ievisi III. Setelah itu, Rama Mangun berjuang menebus dosa kepada rakyak kecil dengan memilih menjadi pastor. Rama Mangun merperjuangkan hak-hak kau duafan yang menjadi korban keserakahan para penguasa.”
“Cita-cita Rama Mangun dan semangatnya senantiasa menginspirasi dan menggerakkan kaum muda untuk berjuang melawan bangsa sendiri. Artinya kita telah merdeka, namun di setiap sudut negeri ini selalu ada kaum-kaum tertindas. Tugas kaum muda adalah menyuarakan realitas berbanding terbalik di negeri yang diakuisisi merdeka sejak 74 tahun lalu.”
Di akhir pleno sesi pertama ini, Romo Paulus Woryono, SJ menyimpulkan keseluruhan gambaran cita-cita dan semangat Rama Mangun itu dalam bingkai Refleksi Komunitas Relawan Grigak sebagai berikut.
“Potensi negeri kita adalah Pancasila. Pancasila ini menjadi spiritualitas bangsa. Di tengah radikalisme dan fanatisme negeri ini, muncullah potensi-potensi bangsa melalui perspektif agama bernama Islam Nusantara dan 100% Katolik. Fenomena ini adalah sesuatu yang perlu disyukuri karena orientasinya yang akan mendamaikan.
“Grigak adalah bagian dari lahan penumbuhan Islam Nusantara, Katolik 100%, dan Indonesia 100%.”
Begitulah gurihnya dinamika refleksi sesi pertama. Sebelum dilanjutkan dengan sesi kedua, Romo P. Wiryono,SJ membagi ulang kelompok sharing berdasarkan kelompok masak.
Tema pada sesi kedua ini adalah “Pengelolaan Kebangsaan di Mata Rama Mangun.”
Tema ini dibawakan Romo Paulus Wiryono,SJ melalui pemutaran video tentang Jejak Rama Mangun di Kali Code dan Politik Belah Bambu Kedung Ombo.
Simakan itu menggambarkan betapa dekatnya Rama Mangun dengan masyarakat kecil. Di tengah lingkungan kumuh dan ketika adanya penindasan kepada kaum miskin, Rama Mangun hadir sebagai pembela kaum terpinggirkan.
Rama Mangun hadir sebagai oposan karena terdorong oleh “jeritan suara hati nurani.”
Selain pemutaran video, esai-esai Rama Mangun juga menggambarkan bahwa betapa Rama Mangun menentang sistem pemerintahan Orde Baru yang otoriter.
Sebagai contoh:
“Banyak bentuk pemerkosaan terhadap perikemanusiaan yang sering kita landasi dengan sila kelima Pancasila. Pernah saya lihat tahanan dipukul dan disepak rusak perutnya oleh seorang petugas. Sebab apa? Naasnya, pada saat tahanan sedang mengucapkan bersama teks mukadimah UUD 45, saudara kita yang malang itu, yang sudah berhari-hari terlantar sakit perut, tak sengaja terkentut. Itu dinilai sebagai penghinaan terhadap Pancasila dan UUD 45. Dan petugas Hankam itu merasa wajib untuk menjebolkan perut yang dianggap subversive itu demi Pancasila.” (Esei-2….hlm. 131). (Berlanjut)