Triduum Komunitas Relawan Grigak: Role Model Adik-adik Pedukuhan Karang (2)

0
344 views
Kebersamaan di Gua Maria Kerep, Ambarawa

JELAS ini adalah ironi. Di satu sisi, penghormatan kepada Pancasila dan UUD 45 adalah sesuatu yang sakral. Namun, perikemanusiaan adalah hal utama yang senantiasa dipahami sebagai budaya memperlakukan sesama manusia dalam perspektif berakal dan berbudi.

Asa menanggapi materi tentang perjuangan kemanusiaan Rama Mangun masih tetap terjaga. Sebagaimana terdapat pada sebuah kutipan isi makalah dalam Seminar Ignatian bertajuk Spirituality As Spirituality, Sebuah Cara Untuk Memeluk Dunia Ramai dengan Penuh Harapan (2006), Dr. Ir. Paulus Wiryono Priyotamtama SJ juga mengungkapkan demikian:

“Kekuatan baiklah yang kita gali dari api yang diharapkan masih tetap bernyala dalam diri kita masing-masing. Semoga spiritualitas Ignatian bisa kita dijadikan alat penghembus agar api itu tetap bernyala bahkan tambah berkobar.”

Semangat pengabdian Rama Mangun inilah yang senantiasa menjadi alat penghembus demi bara semangat yang selalu bernyala bahkan semakin berkobar.

Berdasarkan pertanyaan untuk sharing adalah refleksi macam apa yang muncul ketika melihat gambaran Rama Mangun dari sudut pandang orang-orang terdekatnya. Dan bagaimana kaum muda melihat pola pementahan era Joko Widodo?

Berangkat dari pemutaran video tentang polemik ganti rugi tanah rakyat di Waduk Kedung Ombo dan kesaksian seorang murid didikan Rama Mangun yang saat ini menjadi Komisioner HAM di Negeri Indonesia, berikut adalah hasil reflaksi peserta dari kelompok sharing yang diplenokan.

“Efek dari pembangunan yang mengorbankan rakyat kecil. Kadang kebijakan pemerintah memperkosa kemerdekaan sebagai hak setiap umat manusia. Rama Mangun hadir di tengah hiruk-pikuk sistem orde baru. Semoga Komunitas Relawan Grigak adalah lahan yang subur dan siap menyemaikan bibit-bibit baru Rama Mangun.”

“Rama Mangun berjuang di Kali Code dan Kedung Ombo sebagai Oposan. Kaum muda Indonesia sudah sepantasnya memperjuangkan keadilan sebagai oposan dan melakukan aksi protes kebijakan pemerintah yang memperkosa hati nurani rakyat kecil. Hal ini bisa dimulai dengan mengikuti pergumulan Komunitas Relawan Grigak sebagai penerus cita-cita Rama Mangun dalam bara semangat yang semakin berkobar.”

“Perjuangan Rama Mangun di Waduk Kedung Ombo adalah perjuangan dalam lingkup pendidikan kemanusiaan. Rama Mangun dan tim relawan memperjuangkan buku-buku dan bimbingan belajar kepada anak-anak yang menjadi korban pembangunan dan masalah ganti rugi tanah warga di Waduk Kedung Ombo.”

Sharing dalam kelompok.

“Murid Rama Mangun (Natalius Pigai) menerima tanggungjawab (perintah) sebagai Komisaris HAM adalah wujud nyata dari benih yang disemaikan Rama Mangun. Natalius Pigai mengatakan bahwa dia adalah korban pelanggaran HAM. Korban lebih matang dalam membedah masalah pelanggaran HAM daripada pelaku pelanggaran HAM.”

“Rama Mangun bahkan mengkritik para frater (calon gembala umat) yang terlalu dijejali filsafat dan teologi tanpa berjuang untuk membaur di antara para domba.”

Bapak Emmanuel Bele Baru, S.Pd. mengisahkan cerita Rama Mangun di Grigak,Gunung Kidul berdasarkan tuturan dari Mbah Sukirno (mantan Dukuh Pedukuhan Karang) bahwa jumlah tulisan Rama Mangun terbanyak adalah ketika menulis di Grigak. Dan hasil tulisan Rama Mangun sangat berlimpah dan semuanya diperuntukkan bagi warga Pedukuhan Karang, Desa Girikarto. Bantuan itu berupa pompa air dragon, pipa-pipa air, jembatan dan penahan air laut pada sumber di bawah tebing Pantai Grigak. Selain itu, Rama Mangun juga membantu anak-anak Pedukuhan Karang dalam menyediakan perpustakaan dan bimbingan belajar oleh Ibu Wasmi (murid Rama Mangun).

Inilah yang dimaksudkan bahwa apa yang dilakukan Rama Mangun sepantasnya berdimensi multiple effect atauefek ganda

Di akhir pleno sesi kedua, Romo P. Wiryono, SJ menegaskan bahwa kritik kepada pemerintah selalu bertujuan untuk kesehatan pemerintahan.

“Rama Mangun adalah sosok yang memiliki integritas yang sangat baik. Hati nurani dan kepemimpinan. Mengkritik kebijakan sistem pemerintah yang diskriminatif dianggap sebagai bagian dari organisasi terlarang.”

“Strategi Rama Mangun dalam kerangka pendidikan anak adalah mendesain kurikulum pendidikan secara mandiri bagi anak-anak bangsa. Ketika anak-anak gembira, di situ ada roh kebangsaan.”

Malam itu berakhir dengan roh pengabdian kepada negeri dan sesama yang senantiasa berkobar. Kobaran itu diharapkan dapat menggerakkan orang banyak demi pencapai martabat hidup sebagai sesama umat manusia yang berakal dan behati nurani.

Minggu, 24 November 2019

Minggu yang termanggu,

Terus menunggu,

Tanpa mengganggu,

Mereka yang masih terbelenggu.

Begitulah lukisan Minggu pagi itu. Keletihan peserta Refleksi Komunitas Relawan Grigak masih belum terjaga walaupun fajar sedari tadi merekah. Beberapa peserta yang bertugas sebagai kelompok masak sudah sibuk menyajikan sarapan. Sementara peserta yang ain masih sibuk meneguk hangatnya kopi hitam beroroma khas nusantara.

Candi Gedong Songo

Kemarin sore itu, setelah makan siang bersama, semua peserta Refleksi Komunitas Relawan Grigak (kecuali Romo P. Wiryono SJ) berziarah ke Candi Gedong Songo.

Perjalanan dari Vila Sinewente ke gerbang masuk Candi Gedongsongo menggunakan angkutan umum berkapasitas dua belas orang. Sekitar 20 menit, semua peserta telah diantarkan ke depan Candi Gedongsongo.

Bapak Bele (panggilan Emanuel Bele Bau) bersama beberapa peserta mengurus biaya transportasi dan retribusi masuk ke tempat wisata tersebut.

Setiap peserta begitu bersemangat menyusuri jalan menuju candi pertama yang di apiti oleh aneka jualan kuliner, busana, barang kenang-kenangan khas Candi Gedongsongo.

Ada pemandangan yang begitu semarak ketika setiap peserta berjalan membentuk garis lurus. Dengan kostum merah bergambar wajah sosok Rama Mangun sedang tersenyum di bagian punggung setiap peserta. Seolah sedang menyaksikan parade naga merah (barongsai) dalam tradisi Tahun Baru China.

Di sana, di bawah senyum Rama Mangun tertulis “Menuntut ilmu dan mengabdi kepada rakyat bukanlah dua perkara yang sepantasnya dipisah-pisahkan” sederet kata yang menjadi pijakan bagi Komunitas Relawan Grigak dalam mengabdi kepada Negeri Indonesia dan Sesama Umat Manusia.

Sebagaimana tertuang dalam jargon komunitas, yaitu “Mengabdi Negeri, Mengabdi Sesama.”

Tidak lupa ketika tiba di candi pertama, beberapa peserta mulai sibuk melakukan swafoto atau sekedar mengabadikan hiruk-pikuk manusia memeluk alam, transportasi ala kuda, dan pemandangan yang terdampar di sepanjang jangkauan lensa kamera.

Kebersamaan sebagai Komunitas Relawan Grigak tetap membara di tengah hamparan wahana wisata Sembilan Candi itu. Bara semangat komunitas itu ditunjukkan dengan beberapa jepretan foto bersama.

Semoga asa itu senantiasa berkobar dalam nurani setiap peserta. Selain itu, sekali lagi canda dan tawa adalah dua jenis bumbu yang akan selalu memberikah warna khas dalam kemesraan komunitas itu.

Matahari sore itu diselimuti kabut semar-semar. Walaupun sesekali perarakan awan itu tersapu oleh derai angin gunung sore itu, namun matahari tak kunjung menampakkan diri hingga tenggelamnya di ufuk barat.

Asa peserta menaiki anak tangga menuju candi kedua, ketiga, hingga candi kesembilan belum terkoyak. Sekali lagi, tawa masih terus tercipta di balik canda yang seakan menjadi candu di antara candi sembilan itu.

Bak panas yang mulai beranjak meninggalkan bara, namun kobaran lidah api terus membara. Memang terlihat beberapa peserta mulai keletihan menaiki anak tangga menyusuri urutan candi. Akan tetapi semangat dan kesediaan untuk menemani teman adalah kunci utama.

Penerimaan kenang-kenangan dari anggota Relawan Grigak.

Walaupun akhirnya terbentuk kelompok-kelompok kecil dalam petualangan mengitari candi sembilan itu, namun akhir setiap peserta tiba lagi di gerbang masuk candi sembilan itu.

Ada satu kenyataan yang secara konvensional disepakati seluruh anggota komunitas adalah keakraban, ketulusan menemani, mengkreasi perundungan, dan memberi semangat kepada sesama.

Sebagaimana kesepakatan awal, semua peserta akan berjalan kaki dari Candi Gedongsongo ke Vila Sinewente. Beberapa peserta berusaha mengingkari kesepakatan itu.

Ada juga yang berusaha jujur demi menebus belas kasihan. Akan tetapi keadilan demokrasi melalui otoriter terselubung, akhirnya semua peserta harus menempuh perjalanan sekitar lima kilo meter demi mencapai Vila Sinewente.

Sekali lagi canda seperti telah menjadi candu dalam setiap langkah yang diayunkan. Sungguh tawa tak terelakkan.

Wujud integrasi

Sebagai wujud integrasi dari triduum Komunitas Relawan Grigak, sesi ketiga dilaksanakan ketiga matahari berada di arah pukul sembilan.

Sebagaimana kedua sesi sebelumnya, Romo P. Wiryono SJ membawakan materi dengan tema “Memaknai Pengalaman Sebagai Relawan Grigak” tema ini memang lebih memberikan ruang dan waktu bagi semua anggota Relawan Grigak untuk sharing dan mengendapkan alasan bergabung, pengalaman, dan kesan-kesan yang terendap dalam dinamika dengan warga Pedukuhan Karang.

Sebagai hasil refleksi, berikut adalah pleno Relawan Grigak dalam upaya mengendapkan makna pengabdian kepada Negeri Indonesia dan sesama di Grigak.

Aneka refleksi diungkapkan, yakni motivasi bergabung dengan Relawan Grigak, pengalaman kekeluargaan di komunitas dan di Pedukuhan Karang, serta mimpi menjadi role model bagi anak-anak Pedukuhan Karang.

“Pengalaman keakraban dengan warga Pedukuhan Karang yang paling mengesankan. Ketika datang ke Grigak, seolah kembali ke rumah sendiri. Warga Pedukuhan Karang menyambut anggota Relawan Grigak seperti anak mereka.”

“Aneka motivasi untuk bergabung dengan Komunitas Relawan Grigak. Kadang kebisingan kota mengusir ke Grigak. Ada juga perjuangan gigih dari  Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sanata Dharma untuk membentuk Komunitas Relawan Grigak. Selain itu, penolakan di berbagai kepanitiaan atau organisasi mengantarkan beberapa orang untuk begabung di komunitas yang meraungkan bara semangat Rama Mangun yang senantiasa menjadi asa yang berkobar”

“Sekian banyak karya, dharma bakti, dan pemikiran Rama Mangun ada salah satu aspek yang paling radikal diperjuangkan, yaitu; pendidikan dasar bagi anak. Dan mungkin Komunitas Relawan Grigak adalah alat yang sudah diarsiteki, didesain oleh Rama Mangun untuk mengabdi kepada Negeri dan Sesama melalui Bimbingan Belajar untuk adik-adik di Grigak (Pedukuhan Karang).”

Pleno bambaran Rama Mangun dan refleksi anggota Relawan Grigak.

“Pengalaman bimbingan belajar di Pedukuhan Karang adalah bagian dari pengendapan ilmu dan pengetahuan yang dijejali di gedung-gedung kampus. Selain itu, setiap tindak tutur semua anggota Komunitas Relawan Grigak di Pedukuhan Karang bersama adik-adik Pedukuhan Karang adalah role model bagi mereka. Kita memberikan pilihan lain bagi mereka untuk bermimpi. Betapa berdosanya kita ketika tindak tutur kita saat ini (buruk) berimpak terhadap suramnya masa depan adik-adik Pedukuhan Karang.”

Pleno pagi itu begitu syadu. Proses pengendapan itu benar-benar mengantarkan Refleksi Komunitas Relawan Grigak ini pada action plan (rencana aksi), yaitu mengeksplorasi, mengkreasi, dan mengintegrasi pola pendidikan Rama Mangun untuk Bimbingan Belajar Adik-adik di Pedukuhan Karang.

Kebersamaan dalam bus.

Seluruh rangkaian triduum Komunitas Relawan Grigak itu ditutup dengan perayaan Misha yang dipimpin oleh Romo P. Wiryono SJ di Gua Maria Kerep, Ambarawa, Semarang.

Sebelum dan sesudah perayaan misa, terlihat masing-masing anggota Relawan Grigak membakar lilin di depan Patung Bunda Maria. Ada juga yang sudah tenggelam dalam khusyuknya doa.

Kebersamaan itu belum afdol ketika belum ada foto bersama di taman Gua Maria Kerep. Jepretan demi jepretan beralun di tengah kesibukan para peziarah religi. Komunitas ini tidak mau kalah, enggan melewatkan setiap spot untuk sekedar melakukan swafoto atau mengabadikan beberapa pemandangan yang indah.

Foto-foto kebersamaan senantiasa menghiasi setiap kamera ponsel pintar milik beberapa peserta Refleksi Komunitas Relawan Grigak.

Kemesraan itu berlanjut ke makan siang bersama di Rumah Makan ANI Secang, Magelang, kemudian perjalanan berlanjut hingga ke Auditorium Sanata Dharma, Yogyakarta.

Sekali lagi, suasana bus selalu mendamaikan. Tawa sebagai ekspresi dari canda, perundungan sebagai wujud kepedulian antarsesama Relawan, dan setiap nyanyian yang bermada sebagai wujud apresiasi karya musisi dan luapan emosi. (Selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here