INILAH tugas filsafat.
Filsafat telah mengemban tugasnya sejak kelahirannya di zaman Yunani kuno. Tugasnya adalah mengajak berpikir. Berpikir adalah mempersoalkan. Sejak awal filsafat hidup dengan bertanya.
Dahulu, ia mempersoalkan mitos.
Dalam buku ketujuh The Republic, Plato bercerita tentang para tawanan dalam gua yang sejak kecil hanya melihat bayang-bayang pada dinding-dinding. Mereka percaya bahwa bayang-bayang adalah realitas.
Mitos dikritik sebagai realitas semu seperti itu. Di zaman modern, filsafat mempersoalkan ideologi dan bahkan agama sebagai bentuk lain mitos. Saat itu, fiksi masih relatif mudah dibedakan dari realitas.
Dalam Revolusi Digital, ketika luapan informasi mengacaukan persepsi, distingsi antara fiksi dan realitas mulai kabur dan agaknya tidak menarik lagi untuk dipersoalkan.
Para pengguna gawai tidak lagi peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan seperti dalam cerita Plato itu. Bukan dinding gua, melainkan layar; bukan bayang-bayang, melainkan simutacra sedang menjebak mereka.
Namun mereka tampaknya menikmati bayang-bayang itu.
- Apakah filsafat masih dapat menunaikan tugas klasiknya?
- Masih perlukah tugas itu, jika berpikir dianggap sama saja dengan menikmati suasana gua masing-masing?
(Lih. Platon, Der Staat, Felix Meiner Verlag: Hamburg, 1993, fragmen 514-516, h. 269-271)
Filsafat dan komunikasi digital
Jawaban saya adalah: Filsafat harus tetap menjalankan tugas klasiknya, yaitu mengajak berpikir untuk menemukan kebenaran, memaknai keindahan, dan menilai kebaikan.
Tugas ini diperlukan justru di zaman kita, ketika komunikasi digital menjadi mode of being kita yang baru. Khususnya di Indonesia, sebuah negara dengan pengguna internet yang mencapai sekitar 125 juta orang, tugas ini mendesak untuk dilakukan.
Sebelum mengurai tugas itu, saya akan mengulas dua hal.
- Pertama, apa itu dunia digital.
- Kedua, apa kebaruan komunikasi digital.
Jika bicara tentang ‘dunia’, yang kita maksudkan adalah segala sesuatuyang ada.
Namun sebagai persoalan komunikasi, ‘dunia’ adalah segala sesuatu yang relevan bagi kita untuk kita bicarakan.
Istilah dunia digital mengacu pada pengertian terakhir ini. Aliran silih berganti pesan-pesan, gambar-gambar, video-video – atau singkatnya komunikasi-komunikasi – membentuk satu kesatuan yang kita sebut dunia digital.
Dunia seperti ini berciri linguistik.
Kompleksitas baru
Jika kita menyalakan ponsel dan mulai terlibat dalam komunikasi, kita menjadi aktor dalam dunia digital itu. Dunia itu membedakan diri dari sesuatu di luarnya yang juga relevan bagi kita dalam komunikasi, yakni: dunia korporeal atau dunia fisik.
Gabungan antara dunia digital dan dunia korporeal dapat kita sebut ‘Kompleksitas Baru’.
Dalam kondisi ideal, dunia digital dan dunia korporeal menjaga batas-batasnya dan saling menafsirkan satu sama lain.
Kita tahu bahwa isi dunia digital bukan seluruh kenyataan, melainkan ‘realitas se¡auh dibicarakan’. Akal sehat mempertahankan distingsi itu.
Namun distingsi antara realitas dan ‘realitas sejauh dibicarakan’ itu menjadi sulit dijaga, ketika luapan informasi mengkooptasi kesadaran dan mengacaukan persepsi pengguna gawai. (Bdk. Martin Heidegger, Sein und Zeit, Max Niemeyer Verlag: Tübingen, 2001, paragraf 14, h. 63)
Di dalam situasi ini, dunia digital mengganti dunia korporeal. Alih-alih kepada realitas, orang menjadi lebih percaya kepada ‘realitas sejauh dibicarakan’, yakni simutacra.
Namun tiap hal punya akhir. Bukankah jika ponsel mati atau pulsa habis, ‘realitas sejauh dibicarakan’ itu berhenti?
Jeda hening itu memberi tempat kepada ‘realitas di tuar pembicaraan’ untuk menampakkan diri. Homunikasi tidak dapat menghabisinya.
Transparansi digital malah telah menyembunyikannya di balik kata-kata.
Filsafat menghadapi kompleksitas baru itu sebagai tantangan.
Dahulu, ketika dunia hanya korporeal, renungan-renungan tertuju pada dunia korporeal itu. Descartes menemukan kesadaran modern dengan mengacu kepada dirinya, subyek yang bertubuh. Kesadaran dibayangkan sebagai substansi, res cogitans.
Namun sekarang, dalam kompleksitas baru, filsafat tidak lagi membayangkan si “aku” sebagai substansi karena si “aku” dalam komunikasi digital itu terdiri atas gumpalan relasi-relasi yang memantulkan kembali pesan-pesan yang dibacanya.
Hal-hal, termasuk si “aku”, dalam komunikasi digital bukanlah mirror of nature (Rorty), melainkan – sebut saja – mirror of communication.
Diri bukanlah substansi, melainkan gumpalan relasi-relasi atau “masyarakat dalam masyarakat” (Simmel).
Seperti bawang, tidak ada nucleus di dalamnya, hanya lapisan-lapisan kontingensi yang berujung pada bukan apa-apa.
- Berapa banyak “aku” kumiliki, jika si “aku” adalah mirror of communication? (Lih. Georg Simmel, Sosiotogie. Untersuchungen über die Formen der Vergesettschaßung. Gesamtausgabe Band II, Suhrkamp Taschenbuch Wissenschaft: Frankfurt a.M., 1992, h.53)
- Adakah yang lebih misterius daripada “diri” dalam komunikasi digital?
- Masih adakah subyek moral? (Bdk. Hevon O’Donnell, Postmodernisme, Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 2009, h. 82)
Di samping gambaran manusia, secara praktis cara-cara pencarian kebenaran, keindahan, dan kebaikan juga berubah.
Mereka tidak dicari dengan refleksi-diri di dalam benak, pada daya cerap, atau dalam lubuk hati sendiri, melainkan dicari dengan klik ke dalam belantara informasi arahan Google atau YouTube.
Akal tidak lagi herois seperti di Zaman Pencerahan. Api yang dinyalakan Prometheus mulai redup.
Akal harus bernegosiasi dengan sentimen dan imajinasi yang berseliweran di ruang maya. Setelah dua Perang Dunia di abad lalu, filsafat makin menyadari kontingensi akal budi dan mulai bicara tentang “faktisitas” (Heidegger), “keberuntungan” (Nussbaum), dan “anugerah” (Derrida).
Akal membantu untuk mengenal dunia, tetapi ia tak punya akses langsung ke dunia, karena akal pun adalah interpretasi yang merangkul kekosongan. (Bdk. ibid., h. 119)
Hondisi ini makin benar dalam komunikasi digital. Isi gawai kita tidak mengakhiri, malah menyingkap makin banyak misteri kehidupan dengan tafsir tanpa ujung.
Tiga ciri kebaruan
Kompleksitas baru itu tidak terpisahkan dari kebaruan komunikasi digital.
Ada tiga ciri kebaruannya. (Lih. F. Budi Hardiman, Aku Klik, Maka Aku Ada. Manusia dalam Revolusi Digital, PT. Kanisius: Yogyakarta, 2021, h. 221-223)
Penampilan online seseorang tidak perlu mengandaikan adanya tubuh. Komunikasi menjadi bodytess. Anda berada di sana sekaligus di sini, tetapi tubuh Anda entah di mana.
Itulah fenomena dekorporeatisasi yang menjadi ciri pertama komunikasi digital. Dalam telepresensi orang tidak merasakan langsung tindakannya, maka sensibilitasnya jauh berkurang.
Salah-rasa dan mati-rasa menjadi lazim. Tubuh menjangkarkan kita dalam dunia, maka tanpanya kita kehilangan rasa “berada-dalam-situasi”. Tidakkah komitmen menjadi sulit di sini?
Ciri kedua adalah tercerabutnya tindakan dari teritorium tertentu. Klik atau ketik yang kita lakukan pada layar menghapus perbedaan lokal dan global karena setiap tindakan memiliki potensi global.
Kita mengawasi sekaligus diawasi. Tiap orang potensial menjadi paparazzi bagi yang lain.
Fenomena ini kita sebut deteritoratisasi.
Apa lalu arti tempat, jika pesan kita bisa ada di mana-mana tapi tidak di mana pun?
Akhirnya, tindakan, seperti klik atau ketik, bisa mendahului keputusan kesadaran akibat ketidakberpikiran para pengguna, padahal efek tindakan itu bisa sangat membahayakan.
Satu klik bisa saja menimbulkan kerusuhan, seperti terjadi di India dan Amerika belum lama ini.
Kita menyebut kegiatan yang lolos dari cek kesadaran karena rutin ini banalisasi. (Berlanjut)