Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital: Kriteria Epistemologis, Estetis, dan Etis (3)

0
727 views
Ilustrasi - Mengolah kesepian. (Ist)

KETIGA ciri kebaruan itu ikut mengaburkan kriteria epistemologis, estetis, dan etis zaman kita. Celakanya banyak orang menyalahpahami kekaburan itu sebagai dehonstruhsi, lalu bersikap defaitistis terhadap kompleksitas.

Dekonstruksi bukan destruksi, melainkan suspensi makna untuk memberi ruang bagi hal-hal baru, maka perlu dilanjutkan dengan rehonstruhsi. Jika tidak, kita melakukan pembiaran. 

(Derrida berkeberatan dengan kesalahpahaman itu dan mengklarifikasi maksudnya; dalam Jacques Derrida, Gesetseshraß. Der mystische Grund der Autorität, Suhrkamp: Frankfurt a.M., 1996, h. 20-21, juga h.42.)

Anda membongkar rumah tua, tetapi bukan untuk membiarkan reruntuhan itu melainkan untuk membangun yang baru. Sebagaimana kita selalu butuh rumah untuk bermukim, kita juga selalu membutuhkan kriteria kebenaran, keindahan, dan kebaikan untuk berpikir dan berbuat.

Apakah filsafat cukup puas hanya dengan mempersoalkan kriteria-kriteria itu dan mendukung relativisme epistemis dan moral?

Jawaban saya sederhana: Filsafat tidak bertugas untuk membiarkan relativisme, apalagi untuk menghasilkannya, melainkan untuk menguranginya. Ia harus membantu menetapkan kriteria baru untuk mengurangi absurditas.

Jika tidak, filsafat tak kurang daripada sofisme.

Tugas filsafat

Ada sekurangnya tiga tugas filsafat di era komunikasi digital.

Tugas pertama adalah menyingkap ambivalensi komunikasi digital. Filsafat perlu memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru pemakaian teknologi digital untuk meningkatkan kemanusiaan kita, seperti kreativitas, kebebasan, dan moralitas.

Namun ia juga harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sejauh mana teknologi digital dapat mendegradasi kemanusiaan kita sampai ke taraf mesin.

Dengan teknologi ini kita bisa menjadi kosmopolitan, dan terbuka kemungkinan  terbentuknya kewargaan global.

Namun ancamannya juga nyata, yakni: thoughttessness.

Dewasa ini perluasan kapasitas kemanusiaan kita berjalan seiring dengan kekuasaan besar robotisasi yang mendegradasi berpikir menjadi sekadar proses ‘teknis’ seperti browsing dan googling. Ketidakberpikiran bisa sangat berbahaya.

Bukankah radikalisme religius diuntungkan oleh mereka yang bereaksi robotik?

(Lih. F. Budi Hardiman, Aku Klik, Maha Aku Ada, Penerbit Kanisius: 2021, h. 78)

Agaknya kita tidak hanya dilatih menjadi kosmopolitan, tetapi juga sekaligus menjadi cyborg. Filsafat harus bersiasat untuk mengatasi dilemma itu.

Tugas kedua adalah kritik ideologi dan refleksi rasional. Sebagai pengetahuan kritis, filsafat bertugas mewaspadai hubungan-hubungan kekuasaan teknokratis dan dogmatisme sains dan teknologi.

Sejauh mana digitalisasi telah menjelma menjadi pengawasan panoptis? Marginalisasi baru mana yang ditimbulkannya di antara kelas-kelas sosial?

Pertanyaan-pertanyaan ini sangat wajar dilontarkan, justru ketika banyak orang mengandaikan begitu saja teknologi digital sebagai kebenaran.

Sebagai pengetahuan reflektif, filsafat bertugas untuk menyingkap perubahan pemahaman antropologis, epistemologis, dan estetis yang diakibatkan oleh interaksi antara manusia dan dunia digital.

  • Apakah kita masih manusia, ketika otak kita disambungkan secara langsung atau tak langsung ke komputer?
  • Apakah kebenaran, keindahan, dan kebaikan, jika orisinalitas dan artifisialitas sulit dibedakan?
  • Apakah hubungan digitalisasi dengan evolusi peradaban, kesadaran, penderitaan, dan Tuhan?

Untuk menjawab hal-hal itu, filsafat tidak bisa bekerja sendirian. Ia perlu bekerjasama dengan disiplin-disiplin lain, termasuk mitra seniornya, teologi, dan partner yuniornya, sains.

Hal itu dilakukan juga dengan keinsyafan akan batas-batas bahasa sebagai representasi realitas. Selalu ada ceruk antara bahasa dan realitas yang tidak dapat ditutup secara tuntas oleh interpretasi, entah itu filosofis, teologis, atau pun ilmiah.

Akhirnya, tugas ketiga adalah memberi tilikan etika komunikasi digital.

Etika penting untuk membuat para pengguna media sosial mengalami komunikasi sebagai suatu dunia yang meneguhkan kebersamaan mereka sebagai digital citizens.

Saling menghina, mengancam, atau berbohong di media-media sosial menghasilkan wortdtessness, rasa kehilangan dunia.

Meski selalu chatting, orang tetap merasa sendirian dan terisolasi dari yang lain.

Etika harus menghasilkan kembali dunia milik bersama, mulai dari sopan santun, kode etik, asas-asas tmoral, sampai pada tuntutan hak-hak komunikasi warga digital.

Ia juga perlu memberi kritik atas praktik monopoli perusahaan-perusahaan penambang data.

Digitalisasi harus diiringi promosi keadilan. Karena tugas ini mendesak untuk perbaikan perilaku digital, etika komunikasi digital harus diberikan sejak dini di sekolah dan universitas.

Anugerah komunikasi

Sebagai penutup, saya telah menyiapkan sebuah catatan kecil. Bukan hanya filsafat yang terbeban dengan ketiga tugas yang baru saja selesai saya ulas.

Kita semua terbeban untuk memperbaiki komunikasi digital sehingga komunikasi digital makin dapat menjadi sarana mencapai saling  pengertian.

Manusia tidak pernah bisa memastikan komunikasinya dengan pencapaian rasionalnya, karena selalu saja ada inkomunikabilitas dalam komunikasi. Saling mengerti perlu disyukuri sebagai suatu pemberian, anugerah komunikasi.

Seperti direnungkan Derrida, ada paradoks dalam memberi: Hidup ini terberi secara bebas, tetapi pemberian ini sekaligus mengandung tugas. (Bdk. Jacques Derrida, Given Time. I. Counterfait Money, University of Chicago Press: Chicago, 1992).

Dalam bahasa Jerman, hal itu terungkap dalam dua kata: Gabe dan Aufgabe. Kata Gabe (pemberian) menyiratkan kata Aufgabe (tugas).

Peristiwa saling mengerti meminta kita untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Komunikasi digital bukan hanya fakta, melainkan juga mengandung imbauan untuk menyebarkan kebenaran, menyingkap keindahan, dan berbagi kebaikan.

Kita mengupayakan komunikasi, tetapi ia juga adalah suatu   peristiwa dengan hasil tidak terprediksi atau – seperti disebut Hannah Arendt – suatu “reaksi berantai”. (Lih. Hannah Arendt, Vita activa oder Vom tätigen Leben, Piper: München, 1996, h. 237)

Kita, mahkluk-mahkluk rentan, tidak memegang kendali atas seluruh peristiwa komunikasi.

Kita hanya perlu mengasihi orang lain dengan tiap kata yang kita ketik di layar, dan hal itu dibuat nyata dengan ‘inkarnasi’ ke dalam kehadiran korporeal.

Acta non verba. Mungkin dengan itu orang menjadi lebih bijaksana di era komunikasi digital. (Selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here