PAGI itu, sekitar pukul 3.00 PAGI , aku baru pulang dari kantor. Udara dingin menyergap tubuhku. Jalanan di Jakarta menuju Depok (Jawa Barat)dimana aku berdomisili sangat lengang, tentu saja karena semua orang tidur. Aku melaju sepeda motor dalam kecepatan sedang, kira-kira 60 km per jam. Di tengah jalan, kira-kira setengah jam perjalanan ke rumah aku melewati seorang perempuan yang sedang berjalan. Kemungkinan sedang menuju rumahnya, pikirku.
Belum jauh aku meninggalkan perempuan itu, kira-kira lima ratus meter aku membalikkan motorku menghampiri perempuan itu.
“Mau kemana, mbak?” tanyaku.
“Ke Krukut, Mas,” jawabnya.
Tanpa pikir panjang aku langsung memberi tawaran tumpangan. Dalam hatiku, aku merasa kasihan dengan perempuan ini karena tidak ada lagi kendaraan umum yang lewat karena masih pagi sekali. Lagi pula jarak ke rumahnya cukup jauh, kira-kira satu kilometer.
Dan si perempuan itu pun mau aku bonceng. Ternyata, si mbak yang aku lupa namanya ini seorang pelayan restoran Jepang di bilangan Melawai, Jakarta Selatan. Dia pulang agak awal karena badannya sedang tidak fit. Aku pun sedikit cerita kalau kantorku dulu dekat sekali dengan wilayah si mbak itu bekerja. Tapi, belum banyak cerita, perempuan muda, belasan tahun ini minta berhenti karena sudah dekat rumah. Dan kami pun berpisah.
Didamprat istri
Perjalananku sendiri sudah tidak jauh lagi ke rumah. Tinggal sepuluh menit sampai. Namun sampai di rumah ketika aku bercerita pengalamanku pada istriku, aku malah dimarahi.
“Kamu itu gimana, bagaimana kalau dia orang jahat?” katanya
“Ya, aku sih sempat khawatir, tapi aku kasihan,” kataku beralasan.
Dan istriku masih tidak terima sambil mengingatkan aku untuk tidak mengulangi lagi. Namun, dalam hatiku aku tidak setuju dengan istriku. Dengan tetap beralasan bahwa aku masih bisa menjaga diri, aku tetap bersikukuh bahwa tindakanku benar.
Lepas dari perdebatan dengan istriku aku mencoba merenung dalam hati, mencoba bertanya apa yang terjadi dengan diriku?
Dengan penuh syukur aku menyimpulkan bahwa aku masih bisa menuruti suara hatiku. Aku meninggalkan kekhawatiranku dan menomorsatukan belas kasih. Aku tidak peduli apakah si mbak itu akan berniat jahat padaku. Apalagi berpikir dia bukan manusia. Rasa kasihanlah yang membuat aku memutuskan untuk menolong si mbak.
Aku percaya, segala hal bisa terjadi karena kita pikirkan. Kalau kita berpikir ada yang bakal berbuat jahat pada kita, terjadilah. Sebaliknya, bila kita berpikir semuanya berjalan baik-baik saja, begitulah yang terjadi. Pikiran adalah mantra dan mantra adalah harapan atau doa. Jadi tetap berpikir positif selalu menyelamatkan kita.
Kembali ke belas kasih. Meski sudah sejak ribuan tahun lalu diajarkan pada kita (tentang belas kasih ini) sampai sekarang masih menjadi barang yang tidak mudah didapat, dibiarkan berkembang dan terpelihara di hati masing-masing dari kita. Kita mungkin pernah menonton acara reality show bertajuk “Tolong” yang diproduksi oleh Triwarsana milik si Raja Kuis, Helmi Yahya. Coba dihitung, berapa banyak orang yang masih mau menggunakan hatinya sehingga bersedia menolong dengan ikhlas tanpa pamrih?. Tak banyak, jawabnya.
Dalam perjalanan hidup ini, mungkin ada banyak pengalaman yang dihadapkan pada kita, dan tentu saja pilihan antara menggunakan hati atau menghitung segalanya dengan untung dan rugi. Kebanyakan, pedoman untung rugi menjadi dasar bagi langkah laku kita.
Belas kasih yang hidup dalam diri kita, pada diriku saat itulah kusadari sebagai bentuk kehadiran Tuhan dalam diriku. Aku bersyukur telah menurutinya. Ya, aku telah menemukan Tuhan. Aku menemukan Dia dalam diriku. Puji Tuhan, sorakku dalam hati menyimpulkan refleksiku.
Kalau filosof Herakleitos menyatakan ‘mustahillah menyelami rahasia alam tanpa mempelajari rahasia manusia’ aku bilang ‘mustahil kita bisa menyelami Tuhan tanpa memahami diri sendiri’
Dari pengalamanku ini Tuhan terasa imanen, dekat sekali. Meski juga transenden, jauh lebih besar dan luas dari yang bisa kita pikirkan atau kita jangkau. Dan yang paling menarik, Tuhan tak perlu jauh-jauh kita cari. Dia ada dalam diri kita, bertahta di hati kita.
Kita mungkin tidak sadari, tapi coba amati dan lihat istri/suami Anda. Tanyakan kenapa dia setiap hari mau bangun pagi menyiapkan makanan buat kita, kenapa setiap hari dia mau menjemput kita saat pulang dari kantor atau mengantar ke kantor, kenapa dia mau menunggui kita saat kita sedang sakit.
Tuhan ada dimana-mana
Coba perhatikan dan amati, kenapa Anda sendiri mau berkorban untuk teman, saudara atau bahkan orang yang tidak kita kenal. Coba perhatikan segala perilaku baik pada masing-masing orang yang kita jumpai. Cermati segala kebaikan yang bisa kita lihat lewat orang-orang yang bisa kita ketahui lewat televisi, koran, internet, cerita di radio dan media lain. Apa sih yang membuat membuat mereka bisa begitu? Bisa jadi ada motivasi yang tidak murni, tapi coba lihatlah pada mereka yang melakukannya dengan ikhlas, di situlah Tuhan ada.
Paling penting yang bisa kusadari dari pengalamanku itu adalah bahwa segala sikap baik, tingkah laku yang menunjukkan martabat kita sebagai manusia; damai, murah hati, hormat pada orang lain, jujur, adil, dan lain-lain. Ini semua tidak terjadi karena usahaku. Semuanya hanya karena rahmat Tuhan. Tuhanlah yang menganugerahkannya padaku.
Jadi, pernyataan teolog dan filosof agung, Thomas Aquinas yang menyebutkan bahwa kebaikan itu built in dalam diri manusia memang benar. Segala sifat baik dan bahkan kuasa Tuhan tertanam dalam diri kita.
Kita ini adalah ‘pantulan ‘ dari Tuhan, kata Thomas, sejauh kita adalah kolam-kolam, genangan-genangan jernih di mana realitas dari Tuhan bisa dicerminkan. Maksudnya, kita terstruktur untuk berpadu dengan yang ilahi, dicap dengan cap ‘ada’ Tuhan. Dengan kata lain, dalam kodrat kita yang paling dalam, kita memantulkan keindahan ilahi, roh ilahi.
Pertanyaannya, bersediakah kita mempertahankan anugerah itu dan menunjukkan kepada dunia?
Abdi Susanto