Senin, 2 Desember
Yes. 2:1-5 atau Yes. 4:2-6.
Mzm. 122:1-2,3-4a,(4b-5,6-7), 8-9;
Mat. 8:5-11.
SERING kali, kita merasa diri tidak layak di hadapan Tuhan.
Perasaan ini muncul saat kita merenungkan dosa-dosa, kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam hidup kita.
Namun, di sinilah letak paradoks kasih karunia Tuhan: justru saat kita merasa tidak layak, kita berada dalam posisi yang tepat untuk menerima kelayakan dari-Nya.
Bukankah, dalam perjalanan hidup sering kita alami pada saat kita mengakui kelemahan kita, justru di sanalah kuasa Tuhan bekerja dengan sempurna.
“Saya tidak pernah membayangkan bahwa hidupku akan berubah seperti ini,” kata seorang bapak.
“Ketika aku kehilangan segalanya, dan semua orang yang kucintai meninggalkanku, rahmat Tuhan dianugerahkan kepadaku.
Tuhan menyadarkanku bahwa hanya dengan membuka hati pada sesama hidup akan menemukan makna. Saya harus menggeser fokus hidup dari melihat kebutuhan sendiri sebagai tujuan ke arah sesama sebagai gantinya.
Orang-orang yang kucintai meninggalkanku karena mereka tidak tahan saya manipulasi,” ujarnya
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.”
Perwira ini menyadari ketidaklayakannya. Sebagai seorang non-Yahudi, ia merasa tidak pantas menerima Yesus, Sang Mesias, di rumahnya.
Kerendahan hati ini menjadi dasar imannya. Ia tidak datang dengan keangkuhan, melainkan dengan hati yang tunduk.
Sikap perwira ini mengajarkan kita bahwa untuk mendekat kepada Tuhan, kita tidak perlu membawa prestasi atau pembenaran diri, melainkan hati yang siap mengakui kebutuhan akan-Nya.
Adven menjadi waktu bagi kita untuk merendahkan hati di hadapan Allah, meninggalkan perhatian yang hanya demi kepentingan diri sendiri dan belajar berbelarasa dengan sesama yang membutuhkan.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku masih menjadikan kebutuhan diri sendiri sebagai pusat hidupku?
Aku selalu merasa tidak layak.Tetapi menerima komuni suci memberi kekuatan batin.