Maaf, aku tidak tahu namamu. Juga aku tidak ingat wajahmu. Tapi… kami mengenang: kau adalah perempuan yang memekik, “Tuhan, darah! Yesus, darah!” pada dini hari kelabu itu, di samping Kapel Le Cocq kami yang megah. Pekikmu: satu-satunya kehidupan yang masih berdetak ketika seluruh alam telah lelap.
Dan, wajahmu lebam. Kelopak matamu bengkak. Dan darah mulai meniti dari sudut bibirmu. Kau tidak lagi bisa melawan dengan tubuhmu ketika lelaki pendek kekar itu menindih-paksa tubuhmu di tanah yang berkerikil. Namun, aku tahu: hatimu berontak. Kau tidak menyerah.
Kami tidak tahu namamu. Tapi, penderitaanmu itu hadir menjadi tanggung jawab kami untuk berbuat sesuatu. Kami tercekat pada suatu batas: apakah selayaknya kami mencampuri urusan ‘rumah tangga’ orang lain? Kami tidak tahu hubunganmu dengan lelaki yang menghajarmu.
Kami dalam dilemma: menolongmu berarti kami mencampuri urusan orang lain yang konsekuensinya tidak hendak kami tanggung, tapi tidak menolongmu berarti membiarkanmu menderita lebih parah. Untuk sejenak, di depan kapel itu, di batas pagar kompleks, kami berhenti melangkah. Pun kami tidak angkat suara sementara wajahmu ditampar. Namun, hati kami gelisah dan berjuang untuk memberanikan diri.
Untuk sejenak, kami melihat adegan yang tidak ingin kami saksikan sampai pada satu moment, satu di antara kami, John, memiliki keberanian untuk bersuara, layaknya seorang nabi–dan sungguh, untukku, malam itu John adalah nabi yang bersuara untuk kaum lemah. Dengan suara yang gemetar, John menegur, “tidak baik malam-malam begini menghajar perempuan.” Seketika, kami berlari tercerai berai, dikejar oleh si lelaki yang marah.
Menjelang pagi, kami membawamu bersembunyi. Hati kami berdebar-debar, kalau-kalau lelaki itu mendapati kami. Syukurlah, itu tidak terjadi. Lalu, satu orang dari kami, mengantar ke keluargamu.
*untuk: John, Yerino, Philipus, dan Foun serta semua yang lain
Mengenang kepahlawanan teman-temanku…
