Senin 20 November 2023.
- 1Mak. 1:10-15,41-43,54-57,62-64;
- Mzm. 119: 53, 61, 134, 150, 155,158;
- Luk. 18:35-43
SETIAP orang pasti pernah merasakan lika-liku kehidupan.
Meski dengan sekuat tenaga berusaha menyeimbangkan jalan kehidupan ini, selalu saja ada kalanya kita merasa sangat bahagia dan tidak memiliki masalah apa pun dalam hidup ini. Namun ada pula saatnya kita merasa di bagian paling bawah saat masalah hidup datang menimpa bertubi-tubi.
Dalam situasi seperti itu, hanya iman dan kepercayaan kepada Tuhan yang bisa menjadi suluh di tengah kegelapan dan ketidakmampuan kita melihat cahaya kebenaran yang bisa menuntun kita melewati lorong sunyi kehidupan ini.
“Jika saja saya bisa memutar waktu yang sudah berlalu, saya mau berhenti lama di satu moment saat saya bisa menghantar anakku wisuda,” kata seorang bapak.
“Saya melihat anakku begitu bahagia. Saat melihat senyum merekah dibibirnya air mataku tak bisa kutahan lagi,” ujar bapak itu.
“Tak pernah berani aku bayangkan tentang situasi istimewa seperti itu, anakku sehat, sukses dan bisa menyelesaikan studinya,” sambungnya.
“Setelah ditinggal ibunya, ekonomi keluarga kami sangat sulit dan berat. Bahkan anakku harus bekerja untuk menopang kebutuhan keluarga dan biaya belajarnya,” kisahnya.
“Ketika semuanya seakan bisa berjalan dengan baik serta masalah bisa diatasi, tiba-tiba anakku sakit terkena kanker dan harus operasi,” lanjutnya.
“Dalam keadaan sepeti itu, saya hanya bisa berseru pada Tuhan, tidak ada jalan lain selain berpasrah. Semuanya gelap dan semuanya menakutkan,” tegasnya.
“Bapak tidak usah kuatir, jika Tuhan masih bekehendak saya hidup dan meneruskan perjuangan bersama bapak dan adik-adik, penyakit ini pasti bisa sembuh,” kata anakku saat itu.
“Kekuatiran dan ketakutan tidak akan mengubah apa pun, doa berpasrah dan minta pertolongan Tuhan akan mengubah batas menjadi kemungkinan baru,” sambungnya.
“Sejak saat itu, saya belajar dari anakku untuk percaya sepenuhnya pada Tuhan,” kata bapak itu. “Anakku bisa sembuh dan kemudian bekerja dan belajar lagi hingga selesai studinya,” ujarnya.
“Tuhan mendengar jeritan doa kami,” tegasnya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, ”Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?”
Jawab orang itu: “Tuhan, supaya aku dapat melihat.”
Lalu kata Yesus kepadanya: “Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Seruan kasihanilah aku adalah juga seruan kita di hadapan Allah. Seruan yang berasal dari kesadaran bahwa kita adalah manusia yang lemah, terbatas dan tidak sempurna. Karena itu, kita membutuhkan belas kasih serta kemurahan Allah.
Seruan kasihanilah aku membawa kita pada kesadaran akan keberdosaan kita di hadapan Allah.
Seruan tersebut menjadi pijakan untuk kita melangkah menuju kehidupan yang baru, yaitu hidup dalam pertobatan.
Di dalam tradisi Gereja, seruan kasihanilah aku digunakan secara turun-temurun dalam setiap ritus pengakuan dosa.
Melalui seruan ini, kita bersama-sama ingin melihat Allah yang selama ini kita lukai karena dosa-dosa kita. Sekaligus berharap untuk dapat melihat kasih Allah yang akan memulihkan kita. Kasih Allah yang bisa membuka kebutaan hati setiap manusia.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah cukup rendah hati mohon kesembuhan seruan belas kasih Tuhan atas kebutaan hatiku hingga tidak melihat kehendak Allah di dalam hidup ini?