Minggu, 21 Maret 2021
Bacaan I: Yer 31: 31-34.
Bacaan II: Ibr 5: 7-9.
Injil: Yoh 12: 20-33.
“TIDAK ada hati yang paling menderita, kecuali hati seorang ibu yang menyaksikan anaknya menderita sakit hingga menghembuskan napas terakhirnya,” kata seorang ibu mengawali kesaksiannya.
“Semuanya seakan hancur berantakan. Dan saya seakan melayang tidak menginjak tanah, ketika dokter mengatakan anakku sudah meninggal setelah dua hari koma. Karena kecelakaan yang dia alami sepulang dari kegiatan di gereja,” katanya.
“Pada saat itu, saya harus menghadapi situasi berat itu hanya dengan anak perempuanku. Karena bapaknya sudah beberapa waktu meninggalkan rumah dan pergi dengan perempuan lain,” katanya dengan berlinang air mata.
“Saya sudah memberitahu bahwa anaknya koma karena kecelakaan via pesan singkat. Namun hanya dibaca dan tidak dibalas, rasanya sakit sekali,” kata ibu itu.
“Suamiku pulang, ketika jenazah anakku sudah di peti, dia menangis dan menangis di samping peti anak kami hingga sampai pemakaman selesai,” kata ibu itu.
“Saya marah dan benci dengan suamiku. Namun saya sudah berjanji dengan almarhum anakku untuk tidak ribut dan saling menyalahkan lagi dalam hidup bersama. Maka saya hadapi suamiku dengan sikap sebaik mungkin,” kata ibu itu.
“Saya minta maa, Ma,” kata suamiku, sambil berlutut di depanku, tiba-tiba,” kenang ibu itu.
“Dia pegangi kakiku dan berusaha mencium kakiku, tapi saya pegang pundaknya dan saya peluk,” kata ibu itu.
“Kita semua salah Pa, hingga kita kehilangan anak kita,” kata ibu itu sambil menahan tangis yang seakan ingin tumpah.
“Terlalu besar tebusan atas kesalahan dan dosa-dosaku, hingga kita kehilangan anak yang sangat kita sayangi,” kata suamiku sambil menangis penuh penyesalan
Bagai biji gandum yang harus jatuh ke tanah dan mati, untuk menghasilkan buah.
“Demikian anak kita, memberikan nyawanya supaya kita hidup, keluarga kita utuh kembali,” kata ibu itu.
“Sejak itu suamiku berubah 180 derajat, dia berusaha mengutamakan keluarga, hidup sebagai imam dalam keluarga, memperhatikan hidup doa keluarga serta aktif dalam hidup menggereja,” kata ibu itu.
“Saya tidak pernah membahas masa lalunya. Bagiku keberadaan dan sikapnya dalam mencintai keluarga sudah menjelaskan betapa dia ingin berubah dan bertobat, meskipun kalau mau menuruti perasaan ingin menyuruhnya pergi” kata ibu itu.
“Saya berterima kasih kepada almarhum anakku, dan bersyukur pada Tuhan, atas ujian yang kami hadapi dalam bahtera rumah tangga, tidak ada yang sia-sia bahkan air mata yang selalu tercurah karena Tuhan sungguh memperhatikan hati yang remuk redam,” kata ibu itu mengakhiri kesaksiannya.
Apakah kita tetap setia kepada Tuhan ketika penderitaan datang bertubi-tubi menghampiri hidup kita?