Tuhan Mencintaiku Tanpa Syarat, Kisah Panggilan Hidupku sebagai Suster Biarawati SND (1A)

1
661 views
Sr. Monika Ekowati zaman kecil. (Dok Sr, Monika Ekowati SND)

Betapa indahnya hidup ini

Betapa saya mencitai hidup ini

Namun hanya Dia yang paling indah dengan surga-Nya

Saya akan mengabdi dan memuji Dia dalam hidupku ini

Tuhan telah memanggil aku dengan namaku dan kurasa itu suatu identitas bagiku untuk memikul suatu tanggungjawab. Dan itulah identitas panggilanku. Untuk menceritakan sejarah hidupku ini. Memang butuh waktu lama. Namun pengalaman ini menantang dan  mengasyikkan, setelah setiap kejadian saya refleksikan kembali. 

Ilustrasi: Tiga tokoh pendiri Kongregasi Soeurs de Notre Dame (SND) by Budi Handoyo/Tiuch TV

Awal mula ingin menjadi suster biarawati SND

Panggilan hidup seseorang adalah misteri. Apalagi panggilan hidup religius. Saya merasa tertarik ingin menjad  suster; bahkan ketika masih duduk di bangku kelas 2 SD.

Terjadi demikian, sewaktu saya dipilih menjadi malaikat untuk ikut prosesi arak-arakan Sakramen Mahakudus dari sekolahku SD Katolik menuju gereja. Memang sudah menjadi tradisi parokiku yang saat itu masih dipimpin oleh para imam misionaris CM dari  Itali. Setiap Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus selalu diadakan prosesi arak-arakan. Dilakukan dengan melewati jalan-jalan utama kota.

Ilustrasi: Para Provinsial Kongregasi Soeurs de Notre Dame (SND) dari masa kemasa.(Budi-Handoyo/Titch TV)

Saat itu di Blora -kota dari mana saya berasal- belum ada biara susteran. Para suster datang dari Rembang. Para suster inilah yang  mendandani anak-anak kecil berperan sebagai malaikat penabur bunga yang berarak di barisan depan.

Dari  itulah benih panggilan muncul, karena saya merasakan kebaikan hati, keramahtamahan para suster. Emosi positif saya waktu itu adalah: “Aku ingin menjadi seperti mereka. Sebagai anak kecil dari keluarga Katolik lokal di Blora, saya juga aktif ikuti program Bina Iman dan kegiatan menggereja lainnya.”

Geng Pendawi di Blora

Dalam perjalanan waktu, panggilan yang tertanam di hatiku itu selalu datang. Tapi juga timbul dan tenggelam. Setelah lulus SD Katolik  Kridadharma, saya melanjutkan ke SMP Katolik Adi  Sucipto. Sebagai remaja, saya juga senang bergaul dan punya banyak teman. Bahkan  saya punya “geng” pertemanan yang kuberi nama Pendawi. Ini karena terdiri lima remaja  puteri.

Saya bersama teman-teman puteri itu, suka menjelajahi desa-desa sekitar  Blora. Apalagi saat musim Sedekah Desa – upacara  syukuran masyarakat desa untuk bersyukur kepada Dewi Sri yang adalah Dewi Kesuburan. Setelah mereka selesai panen padi dan palawija, maka kami menuju lokasi perayaan itu. Kami lakukan dengan naik sepeda onthel.

Novel baru “Semburat Putih Pelangi Kasih” karya perdana Sr. Monika Ekowati SND, suster biarawati asal Blora, Jateng. (Ist)

Geng Pendawi dan  teman–teman lain juga senang hiking, pergi ke gua-gua. Pokoknya, kami ini para cewek petualang dan itu kami  lakukan sampai kami masuk SPG (Sekolah Pendidikan Guru).

Saya termasuk anak suka main dengan tetangga sebaya. Bila hujan tiba, saya dan adik cepat-cepat lari keluar rumah untuk berhujan-hujan dan bermain di sungai kecil. Atau mandi di bawah guyuran air hujan di talang – pancuran seng dari atap rumah. Inilah keasyikan tersendiri. Saya juga senang memanjat pohon. Benar-benar tidak ada rasa takut sedikit pun, meski di bawah pohon itu ada sumur. Siap “mencaplok” saya, manakala jatuh dari ketinggian.

Masa bermain dengan teman-teman sekolah maupun tetangga sungguh sangat mengasyikkan. Hingga kini – manaka saya lagi bertemu dengan teman-teman sebaya zaman kecil dan remaja- maka kami semua selalu senang dan asyik bernostalgia. Untuk mensyukuri betapa bahagianya masa kecil kami dulu.

Kami juga sering bermain petak umpet di malam hari; apalagi jika bulan purnama tiba. (Berlanjut)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here