Tuhan Menemani Perjalanan

0
344 views
Ilustrasi: Perjalanan turne pelayanan sabda ke stasi. (Sr. Kristine OSA)

Rabu, 23 April 2025

Kis. 3:1-10.
Mzm. 105:1-2,3-4,6-7,8-9.
Luk. 24:13-35

KITA sering menyusun rencana hidup dengan begitu rinci.

Di benak kita, ada alur cerita ideal: kapan harus berhasil, dengan siapa kita akan berjalan, apa yang akan kita capai.

Kita menulis skenario seolah kita tahu yang terbaik bagi diri sendiri. Dan saat hidup mulai menyimpang dari naskah itu, ketika pintu-pintu tertutup, ketika jalan buntu, ketika yang kita harapkan tak terjadi, kita merasa kecewa.

Tidak jarang kita merasa letih, galau, bahkan putus asa ketika harapan yang kita bangun tinggi-tinggi justru runtuh oleh kenyataan yang tak berpihak.

Kita merasa dikhianati oleh waktu, oleh keadaan, oleh impian kita sendiri. Di titik itu, banyak dari kita memilih menyerah, atau berlari, bukan untuk mencari jawaban, tetapi untuk melupakan sejenak lewat hiburan-hiburan yang tak sehat.

Kita lupa bahwa hidup, seburuk apapun kelihatannya, masih bisa diperbaiki. Masih bisa dimaknai, jika saja kita mau membuka diri dan berjalan bersama harapan yang baru.

Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya.

Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi.”

Kisah dua murid yang kembali ke Emaus menjadi cermin yang jujur akan perasaan kita. Mereka pernah menaruh harapan besar pada Yesus, Sang Guru yang mereka yakini akan membawa pembebasan. Namun harapan itu seakan mati di kayu salib.

Mereka pulang, membawa kecewa, berjalan menuju masa lalu, menuju rutinitas lama yang kosong. Tapi justru dalam perjalanan yang kelabu itu, Yesus hadir. Ia berjalan bersama mereka, mendengarkan, menuntun, hingga akhirnya membuka mata mereka dalam perjamuan.

Kita sering kali tidak sadar bahwa Tuhan hadir dalam perjalanan kita yang paling rapuh. Ia tidak selalu datang dalam kemegahan, tapi sering menyapa lewat keheningan, lewat perenungan, bahkan dalam percakapan biasa.

Ketika kita benar-benar membuka hati, perjumpaan itu akan mengubah kita. Ia tak selalu mengubah keadaan, tapi Ia sanggup mengubah cara kita memaknainya.

Maka ketika hidup tak sesuai harapan, jangan buru-buru menyerah. Jangan hanya menoleh ke belakang atau tenggelam dalam kekecewaan.

Dari pengalaman dua murid yang ke Emaus kita bisa belajar bahwa kita harus berani bercerita, menangis, tetapi terus berjalan. Karena bisa jadi, seperti dua murid itu, kita sedang ditemani oleh Tuhan yang pelan-pelan sedang membuka mata kita, agar kita bisa melihat bahwa harapan tidak mati, ia hanya sedang dibentuk dalam cara yang baru.

Bagaimana dengan diriku?

Apakah aku meninggalkan kenyataan atau berani menghadapi kenyataan hidupku?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here