Minggu 24 Desember 2023.
- 2 Samuel 7:1-5,8b-12,16.
- Mzm. 89:2-3,4-5,27,29.
- Rm. 16:25-27.
- Lukas 1:67-79.
ADA banyak alasan orang merasa senang. Mendapat hadiah, kejutan, keinginan, atau karena berhasil mencapai yang dicita-citakan. Pastinya, semua berhubungan dengan perasaan puas karena mendapatkan atau mencapai sesuatu.
Sukacita bukanlah kebahagiaan yang bersifat sementara, melainkan sebuah kepuasan yang mendalam akan rencana Tuhan, yang kita tahu adalah untuk kebaikan kita dan tujuan-Nya.
Sukacita bukan berarti bahwa kita akan selalu bangun dengan senyuman setiap harinya; sukacita bukan berarti bahwa kita akan selalu riang gembira di tengah badai kehidupan.
Sukacita adalah sebuah keputusan untuk melihat tujuan Allah ketika segala sesuatunya runtuh. Sukacita adalah pilihan setiap hari, sekalipun ada hal-hal yang membuat air mata menetes.
“Meski saya percaya sepenuhnya pada Tuhan, dan Gereja-Nya, namun dalam keheningan kadang muncul bisikan lembut dari dalam hatiku, mengapa Tuhan memberi saya anak yang tidak normal,” kata seorang bapak.
“Anak saya autis umurnya sudah 16 tahun, namun secara psikologi sikap dan perilakunya seperi anak 4 tahun. Di tengah malam kadang saya lihat wajah anak saya yang tertidur pulas dengan hati yang sedih,” lanjutnya.
“Mengapa harus anakku yang mengalami masalah perkembangan jiwanya,” lanjutnya lagi. Di atas tempat tidur anakku tergantung salib, setiap kali saya merasa sedih dan frustasi, saya alihkan pandangan mata saya dari wajah anakku ke wajah Kristus yang tersalib,” sambungnya.
“Kami lemah dan tak berdaya dihadapan kenyataan hidup ini, yang tak mampu kami ubah,” ujarnya.
“Tuhan menunjukkan kepada kita bahwa menjadi seorang yang lemah adalah jauh lebih baik daripada berpura-pura kuat,” tegasnya.
“Hanya orang yang menyadari keterbatasan dirinya lemah akan memperoleh kekuatan dan sukacita dari Tuhan,” urainya.
Dalam bacaan Injil hari ini kita dengar demikian, “Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan membawa kelepasan baginya,
Ia menumbuhkan sebuah tanduk keselamatan bagi kita di dalam keturunan Daud, hamba-Nya itu,”
Zakharia dibentuk Allah menjadi teladan bagi kita yang mungkin meragukan Allah dan mulai tidak taat. Sesuatu yang sulit diterima oleh pikiran Zakharia, karena usianya yang telah lanjut, membuat dia ragu terhadap janji Allah.
Keraguan terhadap janji Allah menyebabkan dia bisu sampai anaknya lahir. Sebagai seorang imam yang mempunyai tugas sebagai perantara antara umat dengan Allah, tidak bisa berbicara merupakan hal yang sangat berat.
Peristiwa Zakharia mengingatkan kita untuk tidak meragukan karya Allah dalam.kehidupan ini dan kita dipanggil untuk selalu mengangkat pujian kepada Tuhan karena besar kasih dan kebaikanNya untuk kita.
Kidung pujian Zakharia yang kita dengar hari ini adalah menutup rangkaian kisah persiapan kita dalam rangka menyambut pesta kelahiran Yesus Kristus.
Rasa syukur dan kekaguman akan karya Allah mendorong Zakharia menyatakan kidung yang sekaligus nubuat bagi Yohanes, puteranya.
Bagaimana dengan diriku?
Apakah aku selalu berpegang teguh pada Tuhan dan percaya sungguh pada-Nya?