HATI petani berbunga-bunga tatkala melihat tanamannya hidup dan berkembang. Para orangtua tersenyum bangga menyaksikan anak-anaknya sehat dan makin besar. Pemerintah, khususnya para ekonomnya, sering fokus pada angka pertumbuhan ekonomi.
Zaman kapitalistis ini rupanya telah lama mengabaikan yang rohani. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan utuh manusia, jasmani-rohani.
Sebagian agama pun terseret dalam skema berpikir itu. Mereka jatuh dalam komersialisasi dan mengukur kualitas diri berdasar kuantias alias jumlah pengikutnya. Maka, ada mayoritas dan minoritas. Agama tidak lagi menjadi institusi yang menumbuhkan hidup rohani.
Bagaimana mengukur hidup rohani? Salah satunya dengan menakar doa.
Doa verbal yang masih penuh kata-kata berada pada tingkat terbawah. Di atasnya ada doa meditatif di mana orang lebih mendengar, merenung dan meresap-endapkan. Tidak “ngocèh”.
Tingkat teratas adalah doa kontemplatif. Di sini orang tidak lagi bicara dan merenung, tetapi hadir di hadapan Allah, bebas dari segala permintaan dan kegelisahan. Nirkata.
Pasangan kakek-nenek tidak lagi mengandalkan keindahan jasmani dan saling memuji dengan lagu, bunga atau puisi. Mereka hanya hadir satu sama lain dalam sunyi yang membahagiakan.
Cinta mereka nyaris sempurna justru dalam diam. Demikian pula pertumbuhan rohani sejati. Ditemukan dalam “suwung”; kosong yang padat.
Hari ini, Sang Guru Kehidupan mencapai puncak kehidupan rohani lewat peristiwa transfigurasi, kemuliaan yang menyatukan-Nya dengan Allah, Bapa-Nya.
Maka, terdengarlah suara dari dalam awan:”Inilah Putera-Ku yang terkasih. Dengarkanlah Dia!” Di sana tiada permintaan dan kegelisahan. Semua lebur dalam Allah.
Universitas Katolik Widya Karya Malang
17 Maret 2019