Tumpleg Bleg Sesaki Melbourne Saat Jalan Salib (2)

0
1,688 views

SEJAUH mata memandang, saya memperkirakan ibadat jalan salib ekumenis Jumat Agung di Melbourne yang pernah saya ikuti tahun 2007 silam itu diikuti tak kurang dari 3.000 umat kristiani. Membludak hingga ke tepian jalan. Menarik dilihat, tentu saja. Itu karena mampu membetot perhatian para passers-by yang mungkin bagi mereka tak lebih sebagai tontonan, mirip sebuah karnaval atau festival rohani.

Bagi saya, jalan salib ekumenis itu tetaplah sebuah ibadat keagamaan alias doa jalan salib. Apalagi, ritusnya pun juga tak jauh melenceng dari rumusan ibadat jalan salib yang biasa dilakukan oleh umat Katolik di Indonesia. Hanya saja, perhentian pertama diawali dengan Perjamuan Malam Terakhir, sementara prosesi The Way of the Cross: Ecumenical Devotions on the Good Friday itu berakhir pada peristiwa Kebangkitan Yesus.

Namun, “ritus” ibadat jalan salib Jumat Agung di Melbourne saat itu berhenti hanya sampai pada Perhentian 13 yakni peristiwa “Yesus Dimakamkan”. Satu tahapan berikutnya sengaja “disimpan” sampai Minggu Paska: peristiwa “Kebangkitan Yesus”.

Acara doa tahapan ini dilakukan Minggu pagi pukul 06.30 waktu Melbourne. Dipilih pagi, bisa jadi untuk membangkitkan suasana kebangkitan Tuhan yang menurut injil terjadi ketika hari masih pagi.

Ibadat multikultural
Prosesi doa The Way of the Cross: Ecumedinal Devotions on the Good Friday dimulai tepat pukul 10.15 waktu Melbourne, pada suatu hari Jumat di bulan April tahun 2007 lalu. Dalam balutan hawa sejuk-dingin –karena Melbourne telah memasuki musim gugur dengan suhu 17 C— renungan kisah passio itu berawal di Gereja St. Francis, sebuah bangunan gereja katolik tertua di Victoria yang konon telah berumur 165 tahun.

Tak disangka, antusiasme masyarakat kristiani di Melbourne menyambut program MCCIA ini ternyata meriah. Dalam balutan baju hangat, berbagai kelompok umat –mulai anak-anak, muda-mudi, dan tak ketinggalan pula orangtua dan lansia—hadir dalam kedinginan mengikuti prosesi suci itu.

Saya ikut haru menyaksikan bagaimana orangtua sampai mengajak bayinya dalam kereta dorong mengikuti acara itu. Tak kurang, para lansia dengan tongkat dan kursi rodanya ikut tertatih-tatih mencoba “berintegrasi” dengan suasana Perjamuan Malam Terakhir.

Yang menarik lagi, peserta jalan salib ini adalah saudara-saudara seiman dalam Kristus yang meski menjalani ritus ibadat berbeda, tapi toh percaya pada Tuhan yang sama dan menghayati iman kristiani yang sama pula.

Royani Lim, alumnus Program Pascasarjana Ekonomi di University of Melbourne (2007).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here