WAKTU telah beranjak petang. Matahari sudah lingsir condong ke arah barat. Sementara, mobil tipe 4×4 WD yang kami tumpangi bertiga (Romo Bangun Nugroho, Pipit, dan penulis) masih terseok-seok berusaha mencari celah ruang di badan jalan yang lebih kokoh untuk bisa dilalui.
Romo Bangun yang menjadi sopir di belakang kemudia senantiasa cermat bermanuver dengan menghindari banyak kobangan bubur lumpur pekat. Kadang berhasil, kadang tidak karena memang tidak ada pilihan lain.
Mobil pun sering benar-benar nyemplung ke ‘kolam lumpur’ dengan ketinggian air sampai ¾ roda. Itu terjadi di sebuah jalan selepas Kendawangan menuju areal ‘jalan perusahaan’ yang melintasi areal perkebunan sawit PT Cargill.
Selepas melewati jalan berliku-liku dan waktu itu sudah mulai gelap ditambah hujan deras, kami pun sampai ke ruas jalan yang oleh orang-orang setempat disebutnya “Jalan Bauksit”.
Agak terdengar lucu di telinga awalnya, ketika nama jalan itu disebutkan. Kok nama jalan mengadopsi nama material tambang dari perut bumi.
Menjadi jelas bagi kami berdua –tamu dadakan dalam perjalanan dari Kota Ketapang menuju Air Upas—bahwa nama itu diambil karena ‘jalan perusahaan’ itu dibuat oleh perusahaan bauksit yang beroperasi di kawasan itu.
Lebar dan keras
Berbeda dengan jalanan lain yang banyak kobangan bubur lumpur saat musim hujan, yang disebut ‘jalan perusahaan” bernama Jalan Bauksit itu punya tekstur tanah yang sangat keras.
Harap mahfum, karena di lintasan jalan khusus ini melaju tiap hari truk-truk kategori long vehicle dengan bobot tonase yang jauh melebihi bobot truk-truk konvensional.
Lihat saja, jumlah ban yang menjadi tumpuan utama truk-truk kelas jumbo ini. Saking banyaknya ban yang harus menyangga beban muatan di kabin belakang, orang-orang di situ suka menyebutnya sesuka hati dengan nama “truk lipas”. Itu karena ‘kaki-kakinya” mirip lipas, binatang yang sering disebut “kaki seribu”.
Selepas meninggalkan kawasan areal perkebunan sawit yang sempat membuat kami sedikit stres lantara badan jalan telah ‘hanyut’ ditelan arus banjir sehingga harus mencari tempat lainnya, perjalanan kami sampai ke Jalan Bauksit.
Truk lipas
Benar adanya. Tekstur tanah ini sedemikan keras, sehingga laju minivan kami menjadi lebih cepat dan stabil. Debu tidak terlalu ada, karena badan jalan ini baru saja diguyur hujan deras.
Di sepanjang jalan yang seakan tidak pernah putus saking panjangnya ini, kami selalu berpapasan dengan truk-truk super jumbo yang tadi disebut “truk lipas”. Sesekali kami berjumpa dengan truk-truk pengangkut sawit yang bodinya jauh lebih mungil dibanding truk-truk berisi material bauksit ini.
Karena malam hari, praktis kami tak bisa melihat dengan jelas seperti apa ‘wajah’ truk lipas tersebut.
Barulah ketika menjelang sore hari dalam perjalanan pulang kembali ke Kota Ketapang dari Air Upas, kami bisa menyaksikan beneran ‘wajah asli’ truk-truk super jumbo dengan ‘kaki seribu’ itu.
Berbeda dibanding truk-truk konvensional yang biasa membuang beban muatannya ke belakang, truk-truk lipas berisi material bauksit ini membuangnya ke arah samping. Mekanismenya seperti truk pengangkut sampah di mana sistem hidrolik menjadi penopang kekuatan mesin untuk ‘menjungkir-balikkan’ muatan ke arah bawah di sisi samping.
Melihat truk-truk jumbo di jalanan bebas hambatan bernama Jalan Bauksit ini sungguh menyenangkan hati. Apalagi di tengah jalanan yang berdebu itu, kami mendapat suguhan dadakan: durian hasil petik matang dari hutan. (Berlanjut)