TANGGAL 30 Desember 2018, usai Misa Krisma di Paroki Salib Suci Menyumbung, rombongan turne Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi lalu bergegas mempersiapkan diri untuk perjalanan selanjutnya ke Stasi Kenyabur.
Terisolir
Satu-satunya cara untuk mencapai Desa Kenyabur adalah lewat sungai. Perjalanan dilakukan menuju kawasan hulu di Sungai Pawan dan kemudian membelok ke Sungai Krio,
Perjalanan melalui aliran sungai dari “pusat kota” Menyumbung menuju Stasi Kenyabur ini membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Ini karena speedboat harus melawan arus sungai dan melewati beberapa riam yang cukup “menggetarkan hati” alias ngeri-ngeri sedap.
Desa Kenyabur dan beberapa desa lainnya termasuk desa terisolir di Kecamatan Hulu Sungai.
Kemajuan pembangunan belum sampai di Kenyabur. Menuju ke sana tidak ada fasilitas transportasi, selain hanya aliran sungai.
Tidak ada atau belum tersedia jalan darat. Di sana juga tidak ada listrik pasokan PLN. Jangan harap HP bisa “nyala”, karena sinyal juga tidak ada.
Hidup sangat tergantung pada genset. Sebagai pembangkit tenaga listrik, pengoperasian genset ini membutuhkan biaya solar yang sangat mahal. Karena itu, penggunaannya harus betul-betul dicermati.
Perjalanan turne Keuskupan Ketapang menuju titik-titik pedalaman sungguh membutuhkan biaya sangat mahal, penuh risiko menantang jiwa. Tapi toh terhadap semua tantangan alam itu, Mgr. Pius Riana Prapdi tetap setia bersedia melakukan kunjungan pastoral ini.
Pancung buluh bambu
Rombongan sampai Kenyabur menjelang sore hari. Sambutan umat stasi ternyata sangat meriah. Untuk masuk desa harus diawali dengan acara adat Pancung Buluh Bambu guna menyambut kedatangan Bapa Uskup dan rombongan.
Acara diawali dengan bertukar syair dan pantun. Selesai berbalas pantun, disuguhkan tuak dan dilanjutkan dengan kegiatan Pancung Buluh Bambu.
Sebatang bambu muda telah dipalang di gerbang masuk desa. Menurut adat, jika bambu belum terpatahkan, rombongan tidak boleh masuk desa. Mgr Pius ternyata berhasil memotong palang bambu dengan sekali tebas, dan seluruh rombongan diizinkan masuk desa.
Ternyata masih ada acara lanjutan. Segenap rombongan dipersilakan untuk mencicip tuak dan makanan yang sudah disiapkan panitia digerbang desa. Konon, hal ini agar para tamu tidak terkena tuah buruk.
Malam itu rombongan turne menginap di wisma desa setempat. Setelah makan malam bersama dan berbincang-bincang dengan para ibu-ibu.
Misa Krisma Stasi Kenyabur
Misa syukur di pagi tanggal 31 Desember 2018 ini sungguh memperlihatkan keterlibatan umat. Tempat duduk di dalam gereja dipenuhi umat dan sebagian umat ada yang harus tinggal di luar gereja. Banyak keluarga muda bersama anak-anak mereka yang ikut dalam misa.
Antusiasme umat sangat tinggi. Mungkin karena kehadiran Bapa Uskup dan saat itu sedang libur Natal dan Tahun Baru.
Informasi yang kami peroleh sebagai berikut.
Stasi Kenyabur baru bisa merayakan Perayaan Ekaristi kurun waktu 2-3 bulan sekali. Mahal dan jauhnya transportasi air serta terbatasnya jumlah gembala umat barangkali menjadi penyebabnya.
Apalagi saat musim berladang tiba hampir seluruh warga meninggalkan desa menuju hutan untuk berladang berpindah.
Lebih dari 50-an umat menerima Sakramen Krisma yang diterimakan oleh Bapa Uskup.
Di akhir misa anak-anak mendapatkan berkat dari Monsinyur dan bingkisan ungkapan syukur dari keluarga Bapak Hengky peserta rombongan dari Ketapang.
Akhirnya kunjungan Bapa Uskup di Stasi Kenyabur diakhiri dengan makan siang bersama.
Rombongan turne bapa uskup tidak kembali ke Menyumbung tetapi melanjutkan perjalanan ke Stasi Kenabung. (Bersambung).
Turne ke Pedalaman Menyumbung, Keuskupan Ketapang: Stasi Sepanggang tanpa Gereja Memadai (4)