GENAP sudah hampir sebulan yang lalu, saya telah menikmati gaya liburan ‘istimewa’ di Pulau Borneo; tepatnya di permukiman pedalaman dan kawasan hulu Sungai Laur, Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat. Kini, saya bukan lagi pelancong, melainkan telah menekuni kembali rutinitas sehari-hari di Manado, Sulawesi Utara: sebagai pelajar SMA Negeri 1 Manado, anak kembar di keluarga pasutri Lomboan-Mangente, dan penggiat OMK Paroki St. Joseph Rayon Sario 2.
Sangat berbeda rasanya, ketika saya tengah berada di pedalaman dan kawasan hulu sungai yang sangat terpencil dan kini sudah kembali lagi hidup di Manado.
Di pedalaman kawasan hulu Sungai Laur –yang letaknya sekitar 350 km dari ‘pusat kota’ Ketapang dengan perjalanan darat selama tiga jam plus tiga jam lagi lewat Sungai Laur— saya menjalani kehidupan yang serba indah dan ‘istimewa’. Itu karena di sana saya boleh menikmati indahnya suasana kehidupan sosial yang tidak mungkin terjadi di kota Manado.
Selagi masih melancong, saya bisa dikatakan bebas; tidak terikat tanggungjawab yang harus saya emban di Manado: sebagai anak di keluarga, murid, plus pengurus OSIS. Ketika menatap kembali pengalaman melancong di pedalaman Ketapang itu, maka saya mantap mengatakan bahwa semua itu saya telah alami dengan perasaan sukacita.
Banyak sekali pengalaman serta pembelajaran hidup yang telah saya dapatkan selama menjadi pelancong masuk pedalaman Ketapang, Kalbar. Awalnya susah dicerna bahwa akhirnya saya mampu tinggal hampir sepekan lamanya di kawasan permukiman terpencil di tepi hutan atau hulu sungai –jauh dari kota, tidak ada listrik PLN, tidak ada sinyal HP, terbatasnya MCK, dan miskin air bersih.
Namun, toh semua itu telah terjadi dan saya bisa menikmati hari-hari itu dengan sangat menyenangkan. Lalu, gejolak hati macam apa yang terjadi di dalam diri saya? Tiada lain adalah rasa bersyukur atas kebaikan Tuhan yang telah Dia berikan kepada saya melalui banyak tangan.
Menjelang Natal di pedalaman
Sudah menjadi semacam ‘tradisi’ di Paroki Keluarga Kudus Sepotong, khususnya di Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka, hari-hari menjelang Natal selalu diisi dengan berbagai kegiatan untuk ‘mempercantik’ diri menyambut Hari Kelahiran Yesus. Bersama Kak Rosa –tokoh OMK lokal yang saya kenal saat berlangsung Indonesian Youth Day ke-2 di Manado bulan Oktober 2016 lalu—saya ikut berpartisipasi mendekor Gereja Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka.
Selama tiga hari, saya melibatkan diri dalam kegiatan ‘mempercantik’ Gereja Stasi Sungai Daka ini. Awalnya saya dihantui rasa canggung saat harus bergaul dengan kawan-kawan asing yang baru saya kenal di kawasan pedalaman ini: OMK Dayak dari Sungai Daka. Rasa malu dan canggung itu seketika lenyap berkat keramahtamahan mereka.
Meski saya ‘orang asing’ dari Manado dan ini merupakan kunjungan pertama kali ke Kalimantan dan Ketapang, namun OMK Stasi St. Petrus dan Paulus Sungai Daka sungguh menerima saya dengan sangat hangat. Ketua umat menyambut saya dengan hati gembira dan tangan terbuka. Semua kebaikan itu menjadikan kecanggungan saya hilang.
Berkat kekompakan antar OMK setempat, juga semua pihak –mulai dari anak, remaja, sampai orang dewasa pun juga ikut melibatkan diri– akhirnya kegiatan mendekor untuk mempercantik ‘wajah’ gereja stasi pun rampung tepat pada waktunya. Saya bereaksi gembira hati dan sedikit haru melihat semua proses kerjasama ini. Di kawasan pedalaman Ketapang ini, citarasa gotong royong dan kebersamaan masih terasa sangat kental.
Di kota –utamanya di Manado— semangat kebersamaan dan gotong royong di antara masyarakat sudah semakin menipis; untuk tidak mau mengatakannya: malah sudah tidak ada sama sekali.
Masuk pedalaman bersama Bapak Uskup
Mungkin saja ada yang sudah membaca kisah tulisan saya sebelumnya tentang pengalaman mengikuti turne masuk pedalaman Ketapang bersama Bapak Uskup Keuskupan Ketapang: Mgr. Pius Riana Prapdi. Kisah pertama itu kini ingin saya lanjutkan lagi di sini.
- Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi (1)
- Cerita Bergambar Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Mgr. Pius Riana Prapdi
Mengapa saya berminat melanjutkan kisah mengikuti turne masuk pedalaman Ketapang?
Jujur saja, pengalaman turne usai Natal 2016 dengan mendatangi beberapa wilayah pedalaman atau kawasan hulu Sungai Laur itu hingga kini masih saja terngiang-ngiang atau masih terbayang-bayang di benak saya. Tidak tahu. Entah kenapa, sampai sekarang ini pun, rasanya saya masih sulit move on dari pengalaman luar biasa tersebut.
Bisa mengikuti turne masuk pedalaman Ketapang dan bersama Bapak Uskup itu sungguh merupakan pengalaman sangat menyenangkan dan signifikan bagi saya. Karenanya, saya merasa sangat susah mengungkapkannya secara lengkap ‘isi hati’ saya dengan rumusan kata-kata.
Naik speed dari Sepotong ke Tanjung Beringin
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Stasi Tanjung Beringin, setelah sebelumnya sempat mampir sebentar di Desa Sepotong. Tepatnya mampir di Pastoran Gereja Keluarga Kudus Sepotong, setelah sebelumnya saya dan Kak Rosa ‘mencegat’ di Bengaras rombongan turne Bapak Uskup Mgr. Pius Riana Prabdi bersama Fr. Benedictus Pr,Pak Harun (semua dari Kota Ketapang), Bu Ping Royani, dan Pak Mathias Hariyadi (dari Jakarta).
Perasaan takut langsung menghantui seluruh kedirian saya. Inilah pertama kalinya dalam hidup saya naik moda transportasi sungai untuk mencapai kawasan hulu sungai. Dari Sepotong, rombongan naik sampan motor yang biasa disebut speed menuju Tanjung Beringin. Jumlah speed-nya sebanyak lima, karena anggota rombongan turne bertambah: Pastor Silvanus Ilwan CP, empat misdinar, Kak Bobby, dan beberapa peralatan misa.
Rasa takut itu semakin menguasai diri, ketika lima speed berkuatan 15 PK itu meninggalkan Sepotong menuju Tanjung Beringin, ketika hari mulai sedikit gelap. Rasa suka hati menikmati perjalanan speed dari dermaga Bengaras menuju Sepotong sungguh bisa saya nikmati. Sepanjang perjalanan menyusuri aliran Sungai Laur dari Bengaras menuju Sepotong, saya bisa menikmati indahnya pemandangan alam di tepi sungai: hutan lebat, tidak ada manusia di sana-sini karena yang ada hanyalah pepohonan dan sesekali perkampungan permukiman.
Ketakutan sangat beralasan
Hari sudah mulai gelap, ketika kami memulai perjalanan naik speed dari Sepotong menuju Tanjung Beringi. Rasa suka hati itu langsung hilang, berganti dengan rasa takut sungguhan. Perjalanan menyusuri Sungai Laur ini berlangsung selama 1,5 jam tanpa penerangan memadai: hanya sebuah senter saja di tangan motoris. Selebihnya gelap gulita.
Tuhan berpihak pada rombongan: memberi kami keselamatan. Rombongan lima speed akhirnya berhasil sampai di Tanjung Beringin ketika hari sudah sangat gelap. Hari-hari berikutnya kami melakukan perjalanan lanjutan menuju Stasi Randau Limat, Stasi Merabu, Stasi Selangkut Raya.
Meski dibebat rasa capai, mengantuk dan juga lapar, kehangatan masyarakat Dayak di Stasi Tanjung Beringin telah ‘membangunkan’ saya dari keletihan fisik ini. Tarian adat berikut upacara Pancung Buluh Muda membuat mata hati saya kembali bersinar terang. Belum lagi, ketika kepada setiap tamu disuguhkan secangkir minum khas tradisional yakni tuak yang berbahan baku air hasil fermentasi beras ketan.
Tidak pernah saya lihat sebelumnya indahnya acara adat penerimaan tamu oleh masyarakat Dayak di Stasi Tanjung Beringin ini. Kalau di Manado, acara sambut tamu paling-paling hanya dengan potong pita. Namun di Tanjung Beringin, sang tamu agung ‘dipersenjatai’ parang mandau untuk kemudian menebas potong habis sebuah buluh (bambu) muda.
Ketika buluh muda itu terpotong dengan sekali tebas, maka sah sudah sang tamu agung itu boleh melangkah masuk ke permukiman yang baru pertama kali dia datangi. Yang menarik, acara Pancung Buluh Muda ini disertai dengan tarian khas Dayak untuk menyambut tamu.
Berikutnya adalah acara minum tuak.
Awalnya, saya dilanda perasaan ragu ketika di depan mulut saya disodori cangkir kecil berisi tuak. Seumur-umur, saya belum pernah minum tuak. Aroma baunya saja telah membuat perut saya neg bukan main. Lalu, bayang-bayang bahwa saya akan mabuk oleh minuman tradisional ini membuat saya makin keki dengan hal ini.
Padahal, minum tuak seperti acara adat seperti ini bukan untuk mabuk, melainkan bentuk penghormatan warga setempat kepada para tamu yang telah sudi datang mengunjungi kampung permukiman mereka. Maka, rasa takut dan gelisah saya kalahkan demi satu hal ini: menjaga kehormatan dan menerima uluran kehangatan masyarakat Dayak.
Saya dibisiki: tuak tidak perlu diminum. Cukup bibir kita ditempelkan di cangkir berisi tuak, maka sudah sah pula kita merespon kehormatan dan kehangatan mereka.
Tuak sudah menyatu padu dengan hidup masyarakat Dayak. Minuman adat untuk kepentingan upacara ini dibuat dengan bahan baku beras ketan. Cara pengolahannya sebagai berikut: beras ketan itu dimasak dan kemudian ditaburi ragi. Proses fermentasi terjadi di tempayan berukuran besar.
Ada dua cara meminumnya: boleh langsung dengan minum dari tempayan atau meminumnya dari beras ketan hasil fermentasi yang telah diperas hingga menghasilkan rampang. Jika diminum langsung dari tempayan, maka harus diberi air dan baru kemudian bisa dihisap dengan menggunakan bambu yang sudah dipasang saringan agar ampas atau rampang tidak terhisap pula.
Malam penyambutan yang sangat meriah di Tanjung Beringin itu diwarnai hujan sangat deras yang datang tiba-tiba. Lampu-lampu sejak lama menyala di beranda rumah, ketika generator dipasang. Namun, gelap gulita mewarnai jalan, ketika rombongan meninggalkan kawasan dekat dermaga menuju rumah penginapan.
Baju dan tas kami telah basah kuyup. Dingin dan basah menempel di kulit berkat hujan deras yang tiba-tiba menerpa kami. Kehangatan datang menyapa tubuh kami, ketika kami bisa minum teh hangat atau kopi dan kemudian makan malam ketika hari itu sudah berjalan sangat larut.
Pada malam hari ketika waktu sudah menunjukkan pukul 22.00, acara sambutan masyarakat dimulai di aula desa. Ngantuk menguasai kami, namun kami dibuat semangat oleh acara bagamal yakni musik pengiring tarian tradisional Dayak.
Acara berlanjut dengan menari-nari dan lagi-lagi harus kembali minum tuak. (Bersambung)
Ceritanya mengesankan dan menarik