Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi (1)

1
1,313 views
Meiva (kanan) bersama Pastor Silvanus Ilwan CP dari Paroki Keluarga Kudus di Sepotong dalam perjalanan bersama menyusuri arus deras Sungai Laur menuju kawasan hulu sungai. Tampak di baris belakang adalah Maria Rosa dari Sungai Daka dan Imel dari Pulau Batam. (Meiva F. Lomboan)

Pengantar Redaksi

Ini adalah sekilas pengalaman pribadi Meiva Fransiska Lomboan, siswi di kelas XII SMAN I Manado. Ia adalah anak kembar. Ia berasal dari Paroki St. Joseph di Manado dan tengah berlibur mandiri dan sendiri ke Ketapang. Ini merupakan perjalanan pertama kali bagi Meiva mengunjungi Kalimantan, khususnya Ketapang dan secara lebih spesifik lagi Sungai Daka dan Laur –kawasan terpencil jauh dari ‘pusat kota’ Ketapang.

Saudari kembarnya Meisy Bernadeth Lomboan tidak ikut dalam perjalanan ini.

Meiva adalah penggiat OMK di Paroki St. Joseph di Kota Manado. Sejatinya, ia tidak pernah ‘kepikiran’ merencanakan ikut perjalanan turne masuk pedalaman dan hutan Ketapang ini. Namun, berkat Maria Rosa –temen OMK dari Sungai Daka- dan Pastor Silvanus Ilwan CP dari Paroki Sepotong, maka program dadakan di tengah liburan sekolah ini bisa dia ikuti.

Inilah pernak-pernik pengalaman spiritual yang dialami Meiva Fransiska Lomboan dari Manado selama mengikuti perjalanan turne ke Stasi Randau Limat, Stasi Merabu, Stasi Selangkut Raya, dan Stasi Tanjung Beringin. Keempat stasi ini ada di kawasan hulu Sungai Laur dan masuk wilayah administratif Paroki Keluarga Kudus Sepotong –sekitar 350 km jauh dari ‘pusat kota’ Ketapang.

Naik di bak terbuka mobil spek off road bersama rombongan: Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi di bangku depan tak nampak dan para anggota rombongan turne beliau. Penulis ada di barisan tengah belakang dengan kaos hitam dan tangan mengacungkan tanda V. (Meiva)

Baca juga:


DARI foto-foto  ini tersimpan banyak sekali kenangan dalam hidupku. Tuhan, terima kasih banyak begitu besar cinta dan kasihMu dalam hidupku ini di akhir tahun 2016 yang baru saja berlalu. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, saya boleh menikmati liburan dengan suasana seperti ini yang sangat berbeda dari biasanya, walaupun selama di Ketapang saya tidak bersama dengan keluarga sendiri. Namun, dengan mereka ini saya sudah merasa seperti keluargaku sendiri.

Orang lain bisa menghabiskan waktu dengan jalan-jalan kemana pun mereka inginkan. Biasanya ke ‘kota’ atau tempat keramaian. Sementara,  saya malah menghabiskan waktu liburan sekolah ini dengan memanfaatkan kesempatan ‘luar biasa’ ini boleh mengikuti kunjungan turne dengan rombongan Bapak Uskup Keuskupan Ketapang: Mgr. Pius Riana Prapdi.

Tentu ini merupakan pengalaman yang sangat menyenangkan dalam hidupku. Turne bersama Bapak Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi masuk ke kawasan hutan dan pedalaman di Ketapang sungguh tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya diajak ‘menghabiskan’ waktu liburan sekolah pas Natal 2016 bukan masuk kota, tapi masuk pedalaman dalam kunjungan turne Bapak Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi mendatangi kawasan hulu Sungai Laur di Paroki Sepotong dalam rangka reksa pastoral dan pelayanan sakramental, serta pemberkatan kapel hasil renovasi.

Penulis berkaos merah mendapat kesempatan bertatap muka dengan umat katolik di Stasi Tanjung Beringin, Paroki Sepotong. (Mathias Hariyadi)

Pertama kali melihat Kalimantan

Ini merupakan  pertama kalinya saya berkunjung ke Pulau Kalimantan dan boleh merasakan bagaimana kehidupan di daerah hulu Sungai Laur yang jauh dari keramaian:  tidak ada signal dan  juga tidak ada listrik.

Sebagai orang yang lahir dan besar di kota (Manado, Sulawesi Utara), maka di sana saya bisa menikmati terangnya listrik PLN, sinyal HP yang stabil, pasokan air bersih berlimpah. Di kawasan hulu Sungai Laur, semua hal yang sangat biasa di Manado  itu tidak tersedia,  selain hanya limpahan air sungai yang tiada habisnya.

Awalnya, saya sungguh sulit harus beradaptasi dengan kondisi hidup masyarakat di kawasan hulu Sungai Laur ini: tidak ada listrik, tidak ada sinyal HP, tidak ada air lumayan bersih untuk kebutuhan MCK, tidak ada kamar mandi dan WC memadai selain hanya di beberapa tempat saja.

Namun dalam perjalanan waktu, akhirnya saya bisa menyesuaikan diri dengan kondiri riil yang ada di lapangan.  Akhirnya, saya merasa bahagia setelah bisa melewati semua tantangan tersebut.

Sesusah-susahnya hidup di daerah perkotaan, ternyata  masih ada saja orang yang keseharian hidupnya  jauh lebih susah. Mereka itu adalah saudara-saudari kita yang hidup  di pedalaman Keuskupan Ketapang.

Indonesia sudah sejak lama telah merdeka, namun hingga sekarang mereka masih hidup  tanpa listrik, sinyal HP tentu saja juga tidak ada. Air bersih untuk keperluan MCK (mandi, cuci, kakus) tidak ada, kecuali rela merogok kocek untuk membeli air galon.

Untuk kebutuhan MCK, mereka menggunakan air sungai atau air hasil tampungan kucuran hujan. Bila tidak, mereka harus pergi ke Sungai Laur dan memompa air sungai untuk mengisi bak mandi, bak penampungan air untuk kebutuhan sehari-hari.

Yang menarik, masyarakat Dayak umat katolik di keempat stasi terluar di Paroki Sepotong itu tetap bisa enjoy dan hepi saja  menjalankan hari-hari mereka dengan penuh kegembiraan. Pengalaman turne masuk pedalaman Ketapang ini memberi pelajaran sangat berarti bagi hidup saya.

Saya diajak agar selalu bisa bersyukur dalam keadaan apa pun hidup kita. Apa pun yang kita alami, yang menjadi pergumulan hidup kita janganlah kita ratapi;  akan tetapi harus kita lewati dengan penuh sukacita dan kesabaran.

Bahagia dan tertawa bersama menyusuri jalur off road menuju Stasi Merabu meski perjalanan darat ini menantang nyali pengemudi dan para penumpangnya yang harus rela duduk di bak belakang secara terbuka. Tertawa mungkin sekedar menyembunyikan rasa cemas ketika ban mobil kejeblos sungai berlumpur sehingga roda sampai terbenam nyaris seluruh badan ban. Ada penumpang anak sampai kejepit tangannya ketika mobil terguncang hebat saat menyisir jalanan berbatu dan berlumpur dalam. (Mathias Hariyadi)

Naik speed

Saya sangat senang bisa menikmati perjalanan dan mengurai pelajaran berharga dari  pengalaman berturne bersama Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi ini. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang saya alami itu sebagai hal yang menyenangkan, menantang nyali, namun juga  membuahkan kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Pengalaman menantang itu terjadi, ketika kita mulai menyusuri aliran deras Sungai Laur dengan sampan motor yang biasa disebut dengan speed berkekuatan 15 PK.  Yang paling menyenangkan tentu saja ketika perjalanan melalui sungai nan deras dengan speed ini akhirnya bisa sampai di dermaga tempat tujuan.

Senangnya bisa mandi di alam bebas seperti di sungai kecil yang merupakan ‘potongan’ arus Sungai Laur. Di aliran sungai kecil dengan arus yang lebih ‘bersahabat’ ini kami terjun mandi pagi bersama rombongan Jakarta, Pulau Batam, Jambi, Maluku, dan Pulau Bangka. Mereka adalah Bu Ping dari Yayasan Bhumiksara Jakarta dan para mahasiswa Unika Atma Jaya Yogyakarta yang tengah ber-KKN di beberapa stasi di jalur Sungai Laur, Paroki Sepotong. Foto ini diambil di Stasi Selangkut Raya usai mandi pagi di sungai. (Maria Rosa)

Lalu, acara berikutnya adalah bisa mandi di sungai. Berikutnya, mendengar cerita orang-orang lokal di situ dan temen-temen OMK serta para misdinar bahwa kalau air sungai lagi dangkal di musim kemarau, maka  naik speed menjadi sangat sulit. Karena itu, tidak pilihan lain selain naik motor dengan spek khusus: off road. Mereka bilang, jalur darat juga tidak kalah menantang dengan jalur sungai.

Semua penumpang harus turun dari mobil dan tak terkecuali Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi (kanan), saat kendaraan off roader 4×4 wheeled-drive harus merayap jalan turunan curam menjelang jembatan kayu di jalur menuju Stasi Merabu, Paroki Sepotong. Stasi Merabu ini secara geografis lebih dekat dengan Kota Sekadau yang sudah masu Keuskupan Sintang daripada Paroki Sepotong yang masuk Keuskupan Ketapang. Merabu merupakan titik akhir aliran Sungai Laur yang bisa dilalui dengan sampan motor. Perjalanan dengan speed berakhir di sini.  (Mathias Hariyadi)

Bahagia dan menantang

Tentu saja saya merasa  senang sekali telah bisa  berjumpa masyarakat di kawasan hulu Sungai Laur (pedalaman hutan) dan kemudian mendapat banyak teman baru dari lokasi-lokasi terpencil ini.

Satu peristiwa yang sangat mengesankan bagi saya adalah ketika rombongan turne Uskup ini harus menyusuri Sungai Laur pada malam hari dengan speed tanpa sebuah penerangan apa pun.

Perasaan yang saya alami pada saat itu  bercampur aduk; mulai dari perasaan senang, takut, gelisah, dan was-was. Senang karena boleh berjumpa dengan masyarakat yang ada di sana, takut karena sudah larut malam belum sampai tempat tujuan, serta gelisah dan was-was karena itu adalah untuk pertama kalinya saya naik speed dan menyusuri sungai pada malam hari yang hanya dibantu oleh lampu senter yang di pegang oleh Pastor  Ilwan CP, sementara ada speed lainnya malah tidak ada lampu senternya.

Saat itu, saya dan Kak Rosa ada dalam satu sampan motor bersama Pastor Silvanus Ilwan CP, Pastor Paroki Keluarga Kudus Sepotong, dan Kak Imel dari Pulau Batam. Imel adalah mahasiswi Unika Atma Jaya Yogyakarta yang tengah ber-KKN di Sungai Laur bersama Kak Keke, Kak Mike, Kak Paul.

Rombongan lain memakai empat motor sampan lainnya.

Sampan bermotor atau yang biasa disebut ‘speed’ inilah moda transportasi paling ngetop saat menyusuri arus sungai nan deras sepanjang aliran Sungai Laur di Sepotong. Sampan motor ini hanya berkekuatan 15 PK dan bisa melaju kencang di kala air sungai tengah pasang. Kalau kemarau, sampan motor sering terantuk batu dan pasir di dasar sungai sehingga semua penumpang harus rela menceburkan diri dan kemudian harus mendorongnya ke tempat yang lebih dalam lagi. Perjalanan bisa berjam-jam atau bahkan sehari penuh untuk menjangkau kawasan hulu yang bisa dicapai 2-3 jam perjalanan di kala air pasang. (Mathias Hariyadi)

Berdoa mohon selamat

Sepanjang jalan,  saya hanya bisa berdoa terus-menerus dalam hati dan tetap yakin dan percaya bahwa Tuhan selalu menolong dan beserta dengan umat yang percaya padaNya.

Dan akhirnya kami rombongan boleh sampai di tempat tujuan dengan selamat: Stasi Tanjung Beringin ketika jam sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Semua rombongan –lima sampan motor- akhirnya tiba dengan selamat di dermaga di tepi Sungai Laur dan boleh naik ke ‘daratan’ Stasi Tanjung Beringin.

Inilah stasi yang kami kunjungi pertama kali setelah sebelumnya kami sempat mampir sebentar di Paroki Sepotong.

Dari perjalanan panjang mengikuti turne masuk pedalaman Ketapang di Kalimantan Barat ini saya belajar banyak tentang apa arti kehidupan, pelayanan, dan reksa pastoral. Juga saya bisa belajar lebih banyak dan mengenal lebih dekat serta  mengetahui kebudayaan dan adat istiadat di kawasan pedalaman hutan Ketapang; utamanya di kawasan hulu Sungai Laur.

Mendapat sambutan hangat di Stasi Selangkut Raya dimana Bapak Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi diajak menari memeragakan burung terbang bersama para tetua ada setempat. Acara tarian ini terjadi setelah sebelumnya dilakukan acara minum tuak tanda persahabatan dan keakraban. Barulah kemudian dilakukan acara pancung buluh muda. Acara berlangsung menjelang berakhirnya petang hari di tepian Sungai Laur yang sepi dari kebisingan. (Mathias Hariyadi)

Keseharian  hidup di kawasan hulu Sungai Laur ini masih sangat kuat dengan tradisi budaya khas masyarakat Dayak: upacara pancung buluh muda untuk menyambut tamu-tamu agung yang pertama kali menginjak datang di permukiman mereka, acara minum tuak bersama sebagai tandai kebersamaan, dan lainnya.

Orang kota seperti di Manado sudah banyak kena pengaruh globalisasi.

Bertemu teman-teman hebat

Yang pasti, terima kasih kepada Tuhan yang telah memberi kesempatan sangat berharga dalam hidup saya ini, ketika tanpa pernah diduga bisa ikut dalam perjalanan turne masuk permukiman penduduk di pedalaman dan di kawasan hulu Sungai Laur, Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat.

Inilah teman-teman hebat dalam rombongan perjalanan turne memasuki kawasan pedalaman hutan dan hulu Sungai Laur di Paroki Keluarga Kudus di Sepotong. Mereka dari Yayasan Bhumiksara Jakarta, Sesawi.Net dan AsiaNews dari Jakarta, OMK Sungai Daka, para mahasiswa Unika Atma Jaya Yogyakarta yang tengah KKN di Sungai Laur, Fr. Dictus Pr, Pastor Ilwan CP, Bapak Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi. Tidak tampak di sini Bobby, OMK Paroki Sepotong dan Pak Harun. Di foto ini, semua sudah tampak bersih dan rapi, karena gambar ini  diambil di hari terakhir turne ketika rombongan sudah masuk ‘pusat kota’ Paroki Sepotong. (Mathias Hariyadi)

Sungguh ini sebuah pengalaman membahagiakan bisa bertemu teman-teman baru dalam perjalanan: Ibu Ping (Yayasan Bhumiksara, Jakarta), Pak Mathias Hariyadi (Sesawi.Net dan AsiaNews Jakarta), Fr. Dictus Pr (Keuskupan Agung Semarang), kakak-kakak mahasiswa Unika Atma Jaya Yogyakarta yang tengah ber-KKN, dan para OMK dan misdinar di semua stasi di Paroki Sepotong.

Kalian sungguh luar biasa dan menyenangkan.

Ini sungguh menjadi sebuah penyelenggaraan ilahi dalam hidup saya pribadi.

 

1 COMMENT

  1. sedikit info, di lingkungan kami tinggal banyak mahasiswa dari Sanggau Kalbar sedang kuliah di Malang diantara mereka ada yang aktif berlingkungan dengan ikut latihan koor, bergabung dalam Legio Maria, dan doa-doa di lingkungan. ada satu dua yang mengharapkan agar saya dan istri mau berkunjung ke daerah asal mereka Sanggau, tetapi belum ada ‘kerentek’ hati.
    Membaca tulisan Meiva seolah saya tahu bahwa Sanggau kondisinya tidak jauh dari itu, mereka bisa dan berani, kapan ya saya pergi ke Sanggau?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here