HE who sings, prays twice. Cantarei ao Senhor
Bernyanyi bagi Tuhan. Ya, itulah semangat besar yang sedang hangat-hangatnya berkembang di dalam relung hati semua penggiat OMK Paroki St. Gabriel Sandai. Orang muda katolik di Paroki Sandai ini dengan gegap gempita mau datang dari berbagai kampung pedalaman, berkumpul dan menuntut ilmu di Sandai, kemudian bersedia mengorbankan waktu bermain mereka untuk melayani Tuhan dengan bernyanyi.
Seperti pepatah lama bahasa Latin yang berbunyi: Que Bene Cantat, Bis Orat. Siapa yang menyanyi dengan baik, itu sama artinya telah berdoa dua kali. Entah benar atau tidak, kami memilih untuk percaya pada ungkapan tersebut.
Baca juga:
- Lebih Jauh dengan Keuskupan Ketapang: Jungkir Balik di Jalanan Berlumpur dan Terjungkal di Miting
- Lebih Jauh dengan Keuskupan Ketapang: Uskup Uji Nyali dengan Motor Trail (3)
- Lebih Jauh dengan Keuskupan Ketapang: Baru Sekali Datang ke Ketapang, Ditunjuk Jadi Uskup (7)
- Cerita Bergambar Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Mgr. Pius Riana Prapdi
- Turne Masuk Pedalaman Ketapang bersama Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi (1)
Tanpa tahu notasi
Jangan bayangkan teman-teman OMK Paroki St. Gabriel di Sandai ini memiliki suara merdu, dengan kemampuan membaca notasi seperti teman-teman yang tergabung dalam sebuah Paduan Suara Mahasiswa di kampus-kampus ternama di Yogyakarta, Bandung, ataupun Jakarta. Jauh, sangat jauuuh sekali.
Pendidikan hanya selevel ‘seadanya’ di kampung-kampung pedalaman, utamanya di daerah-daerah hulu sungai yang sama sekali belum terjamah pembangunan, dan bahkan tersentuh jaringan aliran listrik pun juga tidak. Tidak ada akses jalan darat yang baik. Kalau pun ada, maka jalanan itu sekelas ‘setapak’ saja hanya cukup untuk satu motor saja dan menjadi sangat licin berlumpur di kalan hujan.
Jadi bisa dimaklumi, kalau terkadang untuk menyanyikan lagu Bapa Kami pada Puji Syukur nomor 404 saja, mereka masih salah. Jadi, apakah bisa dibayangkan proses latihan lagu dengan partitur lengkap SATB? Awesomemazing…. Ha… ha… ha…
Tapi tak apalah. Semangat melayani tak boleh terbentur keterbatasan yang kita miliki. Kegemaran bernyanyi teman-teman OMK Paroki St. Gabriel Sandai dalam sebuah kelompok paduan suara memang belum berlangsung lama. Selama ini, mereka hanya bernyanyi dengan suara sopran saja. Tetapi semua berubah, ketika beberapa OMK diajak mengisi tugas koor pada Pesta Perayaan 25 Tahun Karya Suster-suster Agustinian (OSA) di Paroki Sandai pada awal Februari 2016.
Proses latihan itu dimulai pada awal Januari 2016. Bapak-bapak yang terbiasa ikut paduan suara diajak dalam tim paduan suara ini demi menyukseskan tugas koor ini. Dengan kehadiran bapak-bapak ini, anggota kelompok tenor dan bass sangat terbantu dan merasa percaya diri dalam bernyanyi.
Setelah sukses tugas perayaan tersebut, teman-teman OMK ketagihan bernyanyi dalam paduan suara. Permintaan untuk tugas dari mereka meningkat drastis.
Ada rasa bangga dan keren ketika bisa bernyanyi dengan suara SATB. Beranjak dari antusiasme mereka dan ingin tetap menjaga api yang berkobar di jiwa mereka (dan mau ngeksis juga sih), kami meminta kepada Paroki Katedral St. Gemma Galgani di ‘pusat kota’ Keuskupan Ketapang agar kelompok koor Paroki St. Gabriel Sandai ini bisa diberi kesempatan mengisi tugas menyanyi pada Minggu Panggilan, 17 April 2016.
Semangat pun terlecut. Api di hati langsung berkobar-kobar. Kami, anak-anak pedalaman di Paroki Sandai, sebentar lagi akan bisa ngartis di Katedral Ketapang (sekalian jalan-jalan di kota). It actually is beyond our imagination.
The struggle is real
Proses latihan dimulai. Tugas-tugas koor di paroki diembat, ya hitung-hitung sekalian persiapan lagu-lagu yang akan dibawakan di Katedral Ketapang nantinya. Semangat membara meruntuhkan keterbatasan yang kami hadapi.
Latihannya bagaimana saudara-saudara? Gila. Ada yang membaca not langsung bersama frater, ada yang mendengarkan rekaman per suara dari rekaman yang di-download dari internet, ada yang mendengarkan rekaman resmi (kami sampai bela-belain beli album lagu-lagu Pak Putut Pudyantoro beserta buku partitur SATB-nya), dan ada pula yang duduk di depan keyboard sambil menekan tuts-tuts hitam putih sepanjang latihan.
Intinya, apa pun akan kami lakukan demi bernyanyi dengan baik. Proses yang cukup panjang memberikan ruang untuk bertambah dekat antara satu sama lain. Suka duka yang dialami bersama menciptakan ikatan tak terbantahkan di antara kami semua.
Waktu semakin dekat. Pada minggu kedua di bulan April 2016, semua jatuh sakit. I mean, semua! Cuaca yang super duper panas dan tiba-tiba diguyur hujan telah menghadiahkan radang tenggorokan kepada kami semua. Waktu tersisa tinggal sepekan lagi, radang tenggorokan, batuk, dan pilek malah semakin akrab dengan kami. Apa yang dapat kami lakukan? Kunyah kencur dan minum air jahe dicampur madu setiap hari. Selebihnya? Que sera, sera. Whatever will be, will be.
Naik motor ke pusat kota sejauh 180 km
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Pada tanggal 16 April 2016, 40 OMK dengan semangat menggebu-gebu berkumpul di Pastoran Paroki St. Gabriel Sandai untuk mohon berkat dari pastor sebelum memulai perjalanan. Sebanyak 22 sepeda motor yang 90% nya mungkin tidak memiliki dokumen lengkap dan tak bayar pajak ha…ha… siap siaga menemani perjalanan kami menempuh 186 km perjalanan.
Apakah teman-teman punya bayangan bagaimana perjalanan kami?
Perjalanan sepanjang 80 km pertama kami tempuh di atas aspal mulus. Lalu, sisanya yang masih sejauh 100 km seperti apa? Aspal berlubang, lembah berbatu terjal, dan tanah merah berkubang lumpur. Semua ditempuh dengan semangat yang membuncah.
Setelah selama tiga jam perjalanan, perut pun mulai keroncongan. Berjalan di bawah terik matahari dengan kondisi jalan yang rusak parah membuat lapar lebih cepat datang daripada biasanya. Sesampainya di Sungai Melayu Rayak, kami berhenti di tepi jalan di perkebunan sawit untuk makan siang. Kami mencari posisi uenak masing-masing di bawah pepohonan sawit dan mulai makan bekal yang kami bawa masing-masing dari rumah.
Jika dilihat lebih dekat, kami ini lebih mirip orang-orang habis demo, kelaparan, dan makan tanpa peduli pada apa pun dan siapa pun. Hahahaha… Pengalaman yang hanya bisa dirasakan anak muda pedalaman, karena tidak ada tim catering yang menyediakan makanan dan tidak ada tempat persinggahan yang layak sepanjang jalan. Well, ada si warung tempat singgah, tapi mahalnya kebangetan bagi kantong kami yang sebagian besar adalah pelajar.
Setelah urusan ‘kampung tengah’ selesai, kami pun lalu melanjutkan perjalanan. Semakin mendekati Ketapang, semakin parah jalan yang harus dilalui. Jalan tanah merah bergelombang, jalan rawa-rawa berkubang lumpur, dan jalan aspal yang lubangnya sebanyak bintang di langit. Selama tiga jam perjalanan selanjutnya, badan kami dikocok di jalanan yang tak terdeskripsikan dengan kata-kata. I don’t know what moved us; the only thing I know is that we are so determined to sing for the greater glory of the Lord.
Hard work will never betray you
Kondisi badan kurang fit, ditambah dengan perjalanan yang melelahkan melengkapi cerita kami. Sesampainya di Ketapang, semua tepar, tapi tetap bersemangat besar. Ini karena sebentar lagi bisa jalan-jalan masuk ‘pusat kota’ Ketapang. Beberapa dari kami malahan mengaku baru pertama kali ‘masuk kota’ dan melihat bagaimana itu Kota Ketapang.
Badan pegal, lemah tak berdaya. Tapi semangat tak mampu dibendung. Sore itu, sebagian besar teman-teman langsung istirahat dan sebagian lagi jalan-jalan santai di sekitar daerah penginapan. Rasa capai ditaklukkan oleh excitement yang luar biasa.
Setelah makan malam, kami diharuskan untuk gladi bersih di Gereja Katedral. Rasa tak terdeskripsikan menyeruak di hati ketika sampai di Gereja Katedral St. Gemma Ketapang. If only you could see the smiles on their faces when entering the Cathedral, you would have goose bumps.
Wajah letih lesu tiba-tiba langsung berubah menjadi sangat sumringah dihiasi senyum tiga jari karena melihat betapa cantiknya Gereja Katedral. Ukiran-ukiran di atas altar, kaca-kaca di langit-langit gereja, luasnya gereja yang akan jadi tempat kami aka ngartis. Semua terpana.
Seketika, semua bisa merasa kembali segar bugar dan wajahnya cerah ceria. Sesi latihan pun dimulai. Suara serak, sakit tenggorokan, badan pegal, dan hidung mampet tak berkutik melawan kobaran api semangat di hati teman-teman OMK ini. Mereka mulai mendapatlan feel-nya.
Teman-temen OMK merasa harus segera bisa mengenal ‘medan tempur’ Gereja Katedral dan harus bisa cepat beradaptasi dengan situasi sekitar. Tetapi ada satu hal yang tetap mengganjal batin mereka. Teman-teman muda ini mulai minder. Mereka menjadi ragu akan kemampuan mereka. “Kite ini anak-anak kampung, bise bagus dak ye nyanyinye? Pasti orang-orang di sini nyanyinye lebih bagus dari kite,” begitulah isi hati mereka kalau dibahasakan selera anak muda Ibukota.
Itulah kekhawatiran mereka. Mereka merasa inferior terhadap orang-orang kota. Mereka perlu suntikan semangat di waktu krusial seperti ini. “Bagus atau endak, yang penting kite nyanyi dengan tulus dan pake hati. Bernyanyi bagi Tuhan. Masalah bagus atau endak, biarlah itu jadi urusan Tuhan. Yang penting kite udah memberikan yang terbaik,” begitulah petuah yang kami terima dari frater yang mendampingi kami.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan gladi bersih berjalan lancar walaupun ada beberapa kendala dalam hal teknis. Setelah gladi bersih tersebut, kami semua pulang ke penginapan, dan dijadwalkan untuk langsung istirahat.
Bangun subuh mau ngartis
Tanggal 17 April 2016, semua sudah bangun pada pukul 03.00 subuh, karena setiap orang harus antri mandi. Hanya tersedia sebanyak enam kamar mandi untuk 40 orang. Lumayan laaah.
Tugas koor pertama terjadi pada misa jam 06.00 pagi, lalu dilanjutkan misa pukul 08.00 pagi, dan kemudian pukul 17.00 sore. Total, kami ngartis bernyanyi di tiga kali misa mingguan.
Seluruh mata tertuju pada kami pada saat bernyanyi. Ada jeda hening yang sangat kentara di setiap ujung lagu, karena umat terbuai dengan nyanyian kami. Tepuk tangan bergema keras di setiap akhir lagu penutup. Beberapa umat datang dan menyampaikan rasa bangga dan syukur mereka kepada kami, karena kami anak-anak udik ini telah bersedia datang jauh-jauh dan memberikan warna baru dalam Misa Minggu Panggilan tahun 2016 lalu.
Kami merasa bangga luar biasa dengan semua pencapaian ini. Hard work will never betray you. Tugas koor di Gereja Katedral St. Gemma Galgani Ketapang sukses. Big time. Sisa hari itu kami habiskan dengan acara bebas. Tugas koor sudah selesai, waktunya untuk bersenang-senang. Ada yang mengunjungi saudara, ada yang jalan-jalan keliling kota, dan ada yang beramai-ramai pergi ke rental musik untuk nge-band bersama.
Ya ceritanya happily ever after gitu laaah. Mumpung masih di kota, jadi semua mencari kegiatan yang tak bisa dilakukan di sandai.
In everything, love and serve the Lord
Hari Senin, kami akan melakukan perjalanan pulang ke Sandai dengan rute, medan, dan jarak tempuh yang sama. Setelah sarapan, semua diberi kesempatan untuk packing dan free time untuk jalan-jalan lagi di kota sebelum pulang ke kampung.
Semua sepakat kumpul kembali pada pukul 11.00 siang dan segera berangkat. Kami berangkat sebelum makan siang karena memang sudah sepakat bahwa nanti akan makan siang di tempat singgah saja, dengan uang masing-masing. Kebetulan OMK juga sudah tidak memiliki dana untuk menanggung makan 40 orang.
Berangkat pada tengah hari dengan teriknya matahari yang membakar raga, ditambah dengan jalanan rusak parah, serta kehujanan di beberapa daerah, kami akhirnya singgah di warung untuk makan siang pada pukul 15.00 sore. Sesampainya di warung yang masih ditemani gerimis mengundang, kami berkumpul sebentar.
“Kawan-kawan, kite makannye bayar masing-masing ye. Kite udah sepakat kemaren dan OMK pun udah dak punye duit lagi untuk menanggung konsumsi kite kali ini,” kata coordinator ‘turne’ masuk kota untuk ngartis.
Tidak punya duit untuk makan
Beberapa orang mengiyakan dengan tidak sabar karena memang sudah sangat lapar. Beberapa hanya diam sambil menunduk. Perasaan tak enak langsung menyusupi. There must be something wrong.
Dan ternyata benar. “Bang, kami dak ade duit lagi,” kata salah satu anak dengan menahan malu.
“Iye, seribu pun kami dak ade, Bang,” timpal kawan yang lainnya.
Dan seketika itu juga, hati ini serasa tertusuk belati, terhunus pedang es yang mematikan. Mereka menahan malu dan mengutarakan apa yang mereka alami.
Bisa dibayangkan teman-teman?
Anak muda dengan gengsi yang tinggi ini harus mengakui mereka tidak punya uang dan tak bisa makan di depan teman-teman sebaya mereka? It hurts them (and me) on so many levels.
Tapi mereka tak punya pilihan lain selain jujur. Mereka harus menelan pil pahit yang bernama gengsi atau mereka tidak makan. My goodness.
Setelah apa yang mereka lakukan untuk OMK dan Gereja, setelah pengorbanan yang mereka berikan, untuk sekali makan pun mereka tak punya uang. I went to the corner and cried under the rain.
Sesusah inikah jalan yang harus dilalui untuk memuji Tuhan? Apa ketulusan hati dan semangat yang berkobar tak cukup untuk memuliakan namaNya? Apa kami harus punya uang yang banyak dulu baru bisa berkarya dan melayani dengan layak?
Seketika, lagu Cantarei ao Senhor mengalun di kepala. Bernyanyi bagi Tuhan. Ya, Bernyanyi bagi Tuhan. Apa pun keadaannya, apapun situasi yang dihadapi, bernyanyilah bagi Tuhan.
It sounds cliché, I know. Tapi itulah yang akan tetap kami lalukan.
Kami menghadapi keterbatasan yang sangat beragam. Kami tidak memiliki penyanyi bersuara merdu. Kami tidak memiliki classically trained soprano untuk dijadikan solis andalan. Kami tidak memiliki pelatih yang mumpuni. Kami tidak memiliki pemusik yang andal. Dan kami tidak memiliki dana yang cukup untuk berkarya.
But you know what? We are Happy! Isn’t it what we pursue? Happiness. We serve, we sacrifice happily. Kami memiliki berjuta alasan untuk mengeluh dan berhenti, tetapi kami memilih untuk terus berjuang. Semangat kami boleh diadu.
Dan malaikat pun juga tahu, kami yang jadi juara.
It was amazing!!! I love the story. Really really wonderful experienced. Topan…you are the best. Always the best. You always do the best thing. So, keep going. Let continue to fill your life by the best thing.
If you remember me, reply my comments.
Aven