Dear sahabat-sahabat Muslim,
Dalam Tahun Kerahiman yang dicanangkan oleh Gereja Katolik untuk merenungkan dan memaknai arti kerahiman Allah bagi kita umat manusia, ucapan selamat Gereja Katolik kepada saudara-saudari Muslim di seluruh dunia di akhir bulan suci Ramadan dan Pesta Idul Fitri tahun 2016 ini pula mengambil tema “Kerahiman” dan mengajak saudara-saudari Muslim untuk memaknainya dalam terang Ramadan dan Idul Fitri.
Latar belakang mengapa dirasa penting untuk mengangkat tema Kerahiman sebagai pokok permenungan kita bersama adalah kesadaran bahwa kerahiman adalah sebuah aspek iman yang penting dan berkekuatan transformatip luar biasa terhadap perilaku moral individual dan komunal, baik di dalam agama Katolik maupun agama Islam.
Tekanan terkuat di dalam refleksi tentang kerahiman ini ada dua:
Pertama, menyadari betapa agung kasih dan kerahiman Allah di dalam hidup kita umat manusia yang diciptakan oleh dan dalam kasihNya, dan dipelihara olehNya di dalam kerahimanNya melalui berbagai berkat dan rahmat yang kita terima setiap hari;
Kedua, mengajak umat Kristiani dan umat Islam seluruhnya untuk mencontohi kerahiman Allah terutama dalam hal pengampunan. Allah adalah Dia yang memiliki sifat mengampuni, dan akan tetap selalu mengampuni tanpa syarat. Kalau kita mengimani Allah yang demikian maharahim dalam hal pengampunan, mengapa kita manusia berani mengklaim diri serba sempurna dan memiliki segala hak untuk membenci dan tidak pernah bisa mau mengampuni orang lain? Padahal mengampuni adalah jalan Tuhan yang ingin Dia ajarkan kepada kita supaya kita melakukan yang sama terhadap sesama manusia, kalau kita ingin hidup dalam damai dan keharmonisan.
Dalam konteks dialog antar umat beragama untuk kehidupan bersama yang damai dan harmonis, Gereja Katolik melalui Dokumen Konsili Vatikan II, Nostra Aetate, (Deklarasi tentang Sikap Gereja terhadap para pemeluk berbagai agama lain), khususnya di alinea ke-3 yang mengatur cara Gereja Katolik berdialog dengan umat agama Islam, menawarkan keterbukaannya untuk bertemu, berdialog, bekerjasama dalam iklim persaudaraan dan persahabatan, sambil memohon untuk bersedia melupakan segala pengalaman dan peristiwa buruk di masa lalu yang telah merusak atau mengganggu hubungan baik antar kedua agama tersebut. Di sini Konsili menggunakan kata “melupakan” (to forget, zu vergessen, dimenticare..) yang berarti tidak lain adalah kemampuan untuk mengampuni dan be-rekonsiliasi dengan sejarah, dengan diri sendiri dan dengan orang lain, apapun kesalahan yang pernah terjadi. Mengampuni bukanlah ungkapan sebuah kelemahan dan kekalahan. Malah sebaliknya, keagungan dan harga diri seseorang lahir dari perbuatan baik yang dilakukannya termasuk kemampuan untuk mengampuni kesalaahan orang lain, dan bukan lahir dari kebejadan, kebencian dan kejahatan yang dilakukannya.
Kenyataan ada di depan mata kita dan kita saksikan saban hari, bahwa kekerasan yang dibalas dengan kekerasan akan terus melahirkan jaring dan rantai kekerasan baru dan tidak akan pernah berakhir. Penderitaan semakin bertambah. Kebahagiaan tak kunjung datang. Sebaliknya manusia terus diborgol rasa takut dan kecemasan sepanjang masa. Hidup seperti terus menerus berada di dalam situasi pengungsian.
Akan tetapi kasih yang dinyatakan dalam saling mengampuni dan memaafkan, apapun kesalahan yang terjadi, dan berdoa bagi mereka yang telah melukai dan menyakiti kita, seperti yang diajarkan oleh Yesus Kristus (Matius 5:44), menjadi kunci perdamaian, keharmonian dan kebahagiaan bersama, bukan saja di dalam sebuah masyarakat homogen, akan tetapi juga di dalam habitat yang heterogen.
Teriring Ucapan Selamat Idul Fitri – minal ‘aidin wal faidzin…
Romo Markus Solo SVD
Pontifical Council for Interreligious Dialogue (PCID)
(Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama)
Vatican City