PERISTIWA kebangkitan diwartakan dalam Injil Yohanes sebagai penjelasan mengapa Yesus yang baru saja dimakamkan itu tidak lagi diketemukan lagi di situ, dan mengapa para murid tidak lagi merasa kehilangan dia. Bahkan kini mereka semakin merasakan kehadirannya. Agak ada miripnya dengan ingatan mengenai akan orang-orang yang sudah mendahului tetapi tetap menjadi bagian hidup kita. Tetapi besar pula bedanya. Bagi para murid, menimang-nimang ingatan akan dia yang pernah berada bersama mereka di dunia bukan lagi hal yang penting. Dia bukan lagi sekadar kenangan. Para murid kini malah merasa lebih menjadi bagian Yesus yang bangkit itu. Itulah persepsi mereka akan kebangkitan Yesus. Dan pengalaman ini mengubah kehidupan mereka dari yang dirundung ketakutan menjadi penuh kedamaian. Ini disampaikan dalam Yoh 20:19-31 yang dibacakan pada hari Minggu Paskah II tahun ini.
SALAM DAMAI
Diceritakan bagaimana Yesus menampakkan diri kepada murid-muridnya ketika mereka mengunci diri ketakutan akan para penguasa Yahudi. Yesus mengucapkan salam damai sejahtera dan kemudian menghembusi mereka dengan Roh (Yoh 20:21-22; lihat juga ay. 26). Saat itu juga ketakutan mereka lenyap dan mereka mulai merasakan kedamaian. Memang pengalaman ini belum terjadi pada banyak orang lain. Barulah kelompok kecil ini yang melihat Yesus yang telah bangkit. Juga bekas luka paku dan tusukan tombak mereka saksikan.
Pembicaraan mengenai bekas luka di situ dimaksud untuk menegaskan bahwa yang kini menampakkan diri itu sama dengan dia yang tadi meninggal di salib. Yang kini datang di tengah-tengah mereka itu bukan sekedar ingatan belaka. Orang-orang lain yang tidak hadir dalam peristiwa itu hanya dapat mendengar kesaksian mereka. Dan ini memang bukan perkara yang mudah.
Cerita penampakan Yesus kepada Tomas dalam Yoh 20:24-29 mengolah kesulitan ini. Yesus menampakkan diri kepada Tomas dan memintanya meraba bekas luka itu sendiri bila tindakan ini bakal membuatnya percaya. Tomas diminta memutuskan sendiri apa dia yang kini datang itu sama dengan yang dulu diikutinya. Kepercayaan yang sedemikian besar dari pihak yang bangkit itu membuat Tomas mengenalinya. Ia berseru, “Tuhanku dan Allahku!” Saat itulah mata batin Tomas terbuka. Melihat Yesus berarti melihat Allah Yang Maha Tinggi yang mengutus Yesus ke dunia ini. Itulah sebabnya Tomas menyerukan dua sebutan itu. Yesus sendiri dulu mengatakan, siapa mengenalnya akan mengenali Bapanya pula (Yoh 8:19; 14:7.9-11). Dan Bapanya itu Allah. Bagi murid-murid dari zaman kemudian, amat besarlah daya kata-kata Yesus kepada Tomas pada akhir peristiwa itu (Yoh 20:29), “Karena engkau melihat aku maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya.” Walaupun kata-kata itu ditujukan kepada Tomas, isinya diperdengarkan kepada siapa saja, baik yang ada di situ waktu itu maupun kepada pembaca kisah tadi sepanjang masa. Dia yang bangkit itu mempercayakan diri kepada manusia agar dikenali dalam hidup mereka, seperti yang terjadi pada Tomas.
“MELIHAT” MENURUT INJIL YOHANES
Dalam kisah kebangkitan ini penulis Injil memerankan diri sebagai “murid yang dikasihi” yang ikut mendengar dari Maria Magdalena bahwa Yesus tak ditemukan di makam. Bersama Petrus ia lari ke makam dan mendahuluinya. Ia menjenguk ke dalam dan tampaklah kain kafan di tanah. Petrus masuk dan mendapati kafan terletak di tanah, kain peluh yang tadinya di kepala Yesus didapatinya terlipat tidak di tanah, tapi di tempat lain. Murid yang tadi ikut masuk dan melihat yang dilihat Petrus. Saat itulah “ia percaya” (Yoh 20:8), maksudnya percaya bahwa Yesus sudah bangkit. Dapat dibayangkan betapa murid yang tak disebut namanya ini kemudian merasa dikuatkan ketika mendengar kata-kata Yesus kepada Tomas tadi.
Tetapi memang “melihat” itu memiliki makna khusus. Yohanes menggarap hubungan antara melihat dan percaya dalam kisah pengalaman orang buta sejak lahir yang disembuhkan Yesus (Yoh 9) dengan cara yang khas. Ketika orang-orang sibuk menanyai siapa yang membuatnya melek, jawabnya (ay. 11), “Orang yang bernama Yesus itu” mengutuhkan penglihatannya dengan lumpur dan menyuruhnya mandi di kolam Siloam. Beberapa waktu kemudian ketika beberapa orang Farisi menanyainya, jawabnya makin tegas (ay. 18), “Ia itu nabi!” Tetapi orang-orang Farisi itu malah berusaha mengintimidasi orang tadi. Ketika bertemu Yesus lagi dan Yesus bertanya apa ia percaya kepadanya – Yesus menyebut diri “Anak Manusia” – orang itu balik bertanya, mana orangnya supaya ia bisa menyatakan diri percaya. Yesus mengatakan bukan saja ia melihat tapi sedang berbicara dengannya. Dan saat itu orang yang tadinya buta itu berseru (ay. 38), “Aku percaya, Tuhan!”
Pada awalnya orang itu hanya mengenal Yesus sebagai orang yang menyembuhkannya, kemudian menegaskannya sebagai nabi, tapi akhirnya bersujud dan percaya kepadanya, maksudnya mengakui keilahian yang ada pada dirinya. Kisah penampakan Yesus kepada para murid dan kepada Tomas menunjukkan proses yang amat mirip. Melihat membuat orang berkembang dan mengenali kebenaran. Tapi bila melihat tidak berkembang, bisa jadi orang malah tidak dapat mempercayai apapun. Orang Farisi dalam kisah penyembuhan orang buta itu melihat tapi tak percaya. Mengapa? Karena mereka tidak terbuka untuk mengakuinya, apalagi mempercayainya. Mereka sebenarnya bukan menolak untuk percaya, bukan itu yang diminta. Mereka tidak bisa menerima diri dipercaya agar dapat mengenali apa yang sedang terjadi. Tragis.
Bagaimanapun juga, dalam pertumbuhan iman masih perlu bantuan dari yang dipercaya atau dari orang yang bisa membantu mempersaksikan kebenaran iman. Hal ini dapat disimak lewat kisah penampakan Yesus kepada Maria Magdalena (Yoh 20:11-18). Dikatakan dalam ay. 16 bahwa perempuan itu melihat Yesus tapi tidak segera mengenalinya. Baru setelah mendengar sapaan “Maria!”, ia bisa mengenali Yesus. Maria Magdalena seperti domba yang mengenal suara gembalanya (Yoh 10:4). Tapi seandainya Maria Magdalena tidak melihat orang yang disangkanya sebagai tukang kebun tadi, boleh jadi panggilan “Maria!” tadi tak segera berarti. Kita ingat dahulu kala Samuel muda berulang kali mendengar dirinya disapa oleh Tuhan, tapi hanya mengira sedang dibangunkan oleh Eli. Baru setelah Eli menjelaskan apa yang terjadi, maka Samuel pun mulai mengerti dan mendengar betul.
NAFAS KEHIDUPAN
Seperti dalam penciptaan manusia dulu (Kej 2:7), kini para murid menerima nafas kehidupan dari Yesus yang telah bangkit (Yoh 20:22). Yesus kini berbagi kehidupan dengan para murid. Dalam perjamuan terakhir disebutkan bahwa ia sadar betul bahwa dirinya berasal dari Bapa dan akan kembali kepada-Nya. Semuanya sudah terjadi. Dan kini, dia yang telah kembali bersatu dengan Bapa itu berbagi nafas dengan para murid. Artinya, kini mereka sungguh dapat menjadi anak-anak Bapa.
Dalam bagian pembukaan Injil Yohanes disebutkan bahwa sang Sabda datang kepada miliknya tetapi orang-orang miliknya itu tidak menerimanya (Yoh 1:11) Dalam ayat berikutnya dikatakan, semua orang yang menerimanya diberinya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu orang-orang yang percaya dalam namanya (ay. 12). Mereka ini orang-orang yang menerima Yesus, menerima sang Sabda dan mereka telah sering mendengar bahwa Yang Maha Kuasa itu boleh dan ingin dipanggil Bapa. Mereka ini kumpulan kecil yang bisa menerima kekuatan menjadi anak-anak Allah. Dan apa kekuatan yang sesungguhnya itu? Kekuatan itu ialah nafas yang dihembuskan Yesus ketika ia menampakkan diri kepada mereka di situ. Apa itu anak-anak Allah? Yohanes sendiri memberi penjelasan dalam Yoh 1:13, yaitu orang-orang yang dilahirkan bukan dari darah atau dari keinginan jasmani…melainkan dari Allah. Inilah yang berpadanan dengan hembusan nafas kehidupan dalam Kej 2:7. Dalam peristiwa penampakan kepada para murid itulah lahirlah kemanusiaan baru.
MAKNA KEBANGKITAN
Apa makna kebangkitan bagi orang zaman sekarang? Pada dasarnya, percaya bahwa Yesus telah bangkit itu sama bagi murid-murid yang pertama dan bagi orang sekarang. Setelah mendapat kekuatan Rohnya, para murid diajaknya ikut serta menjalankan perutusan dari Bapanya. Dalam bahasa yang mudah dipahami orang waktu itu, mengampuni dosa atau menyatakan dosa tetap ada (Yoh 20:23). Yang dimaksud dengan dosa ialah sikap menjauhi dan menolak dia yang membawakan kehidupan dari sumber kehidupan itu sendiri. Murid-murid dulu ditugasi untuk hidup sesuai dengan semangat kebangkitan, yakni hidup merdeka sebagai anak-anak Allah sendiri. Iman akan kebangkitan membangun ruang seluas-luasnya bagi manusia agar semakin menjadi makhluk yang mampu mengalami Yang Maha Kuasa sebagai yang penuh kerahiman dan berbagi pengalaman ini dengan sesama.
Salam hangat,
A. Gianto