PAUS Fransiskus dalam homili misa di Domus Sanctae Marthae, Selasa 10 September 2013, menengarai adanya sebagian umat Katolik mengidap gejala “triumphalisme”.
Umat Katolik yg mengidap wabah ini sebetulnya gak yaki-yakin amat dengan kebangkitan Yesus; sehingga berinisiatif membikin kebangkitan lain yang lebih dahsyat daripada kebangkitan Yesus. Demikian Paus menengarai.
Menurut Paus, umat Katolik yang mengidap wabah “triumphalisme” ini pada dasarnya menderita sindrom “Inferiority Complex”. Kemudian untuk menyembunyikannya, mereka lalu menggunakan “triumphalisme” sebagai sarana untuk melambungkan harkat dirinya lebih tinggi.
Lebih jauh, Paus mengatakan gejala “triumphalisme” itu terselip dalam khotbah homili, karya karya pastoral dan juga praktik-praktik liturgi.
Apakah “triumphalisme”?
Tiada sebutan khusus dalam khazanah Bahasa Indonesia. Namun bila dikupas dari etimologinya (triumph: unggul, menang), maka “triumphalisme” itu dapat diartikan sebagai “merasa lebih unggul oleh karena kemenangan/keberhasilan yang dicapai”.
Kaum triumphalist biasanya melambungkan harkat dirinya daripada menyadari bahwa ketercapaian itu semata-mata pertolongan Tuhan. Ada muatan aroganisme di dalamnya. Sehingga semboyannya: “Ad Maiorem Meam Gloriam“.
Romo James Martin SJ, Jesuit yang juga editor senior Majalah Katolik America dalam laman Facebooknya menyebut kaum triumphalist itu berasumsi bahwa pencapaian duniawinya itu merupakan hasil jerih payahnya. Di sini, orang triumphalist lupa (atau sengaja abai) akan campur tangan Tuhan dalam pencapaiannya itu. Maklum saja, orang triumphalist rata-rata haus dengan validasi duniawi daripada belas kasih Tuhan penciptanya.
“Jumlah saya lebih banyak. Saya lebih besar dan ada di mana-mana. Oleh karena itu, saya selalu punya jawaban atas setiap pertanyaan dan jawabannya pasti benar. Selain saya yang jawab, sudah pasti salah dan sesat, sebab cuma saya yang memegang kuasa mengajar”.
Demikian Romo James Martin SJ menggambarkan tingkah laku kaum triumphalist.
Jumlahnya lebih banyak, sudah otomatis lebih besar dan paling benar. Maka di sana ada gejala “mob mentality” dalam hal ini.
Triumphalisme pasangan harmonisnya klerikalisme.
Dan ketika pasangan harmonis itu “kawin”, maka perpaduan itu akhirnya hanya akan melahirkan “kanker ganas yang menggerogoti tubuh Gereja.”
Demikian Paus Fransiskus memberi istilah.