Puncta 27.03.22
Minggu Prapaskah IV
Lukas 15: 1-3.11-32
SEORANG ayah yang cacat kakinya berkelana berbulan-bulan mencari anaknya yang hilang. Chen Shengkuan, dengan tertatih-tatih merangkak berkeliling dari desa ke desa. Ia menembus kota-kota yang hiruk pikuk.
Sejak anaknya hilang ia telah merangkak sejauh 111 km. Anaknya hilang sejak usianya 20 bulan. Kemungkinan besar anaknya diculik dan dijual kepada orang.
Ia terus mencari dan mencari. Ia telah menembus Kota Zhanjiang yang berpenduduk 7 juta jiwa. Kini ia mencari di Kota Guangzhou, salah satu kota terbesar di China dengan penduduk yang padat.
Dengan berjalan “ngesot” dia terus mencari anaknya yang hilang.
Waktu itu, Chen Zhouyuan bermain dengan tiga sepupunya yang masih kecil. Mereka ditunggui kakeknya, sambil bermain kartu dengan tetangga.
Kakeknya baru tersadar ketika Zhouyuan tidak ada bersama mereka. Ia melaporkan ke polisi, namun belum ditemukan. Sampai sekarang anak itu belum bisa dilacak keberadaannya.
Dengan kondisi miskin, cacat, Shengkuan tidak pernah lelah terus mencari anaknya. Ia berharap bisa menemukan buah hatinya. Ia sangat merindukannya.
Yesus menceritakan perumpamaan tentang anak yang hilang. Kisah itu juga bisa diberi judul Bapa yang Penuh Kasih.
Yesus mau menggambarkan bahwa Allah itu selalu setia dan penuh belas kasihan. Ia mengasihi tanpa syarat.
Si bungsu meminta hak warisan bapanya. Ia mengejar kenikmatan duniawi dengan pergi ke kota untuk foya-foya. Ia pergi meninggalkan bapanya.
Ketika jatuh melarat, ia terpuruk sedalam-dalamnya. Bahkan ia harus makan ampas makanan babi, sesuatu yang sangat hina, rendah, jorok dan menjijikan. Lebih rendah daripada pegawai di rumah ayahnya.
Dalam situasi itu dia menyadari kesalahannya. Ia ingin bertobat dan kembali kepada ayahnya.
Dari kejauhan ayah sudah melihatnya. Ia lari meninggalkan tempat duduknya dan menjemput anaknya. Ia merangkul dan menciumnya.
Kata-kata penyesalan anaknya tidak dihiraukannya. Ia langsung ambil inisiatif untuk ambil jubah terbaik, cincin emas dan sepatu. Semua diajak pesta dengan menyembelih lembu-lembu tambun.
Anak sulung pulang ke rumah, mendengar ada nyanyian dan tari-tarian orang berpesta pora. Ia tidak mau masuk ke rumah, ketika diberitahu bahwa ayahnya membuat pesta untuk adiknya yang pulang.
Ia irihati dan cemburu kepada adiknya. Ia merasa telah berjasa, melayani dengan baik tetapi tidak diperhatikan ayahnya.
Ayahnya dianggapnya pilih kasih. Ia “ngambeg” atau merajuk.
Anak sulung ini bekerja demi upah, penghargaan. Ia bertindak seolah-olah seperti orang upahan. Ia tidak merasa di rumah bapanya, tetapi seperti pegawai kontrakan.
Ia lupa bahwa milik ayahnya sebenarnya juga miliknya. Ia bebas menggunakannya.
Sekali lagi ayahnyalah yang keluar menemuinya. Ia menjelaskan kepada si sulung. Ia mengasihi dengan memberi kebebasan; segala milik adalah miliknya juga.
Dengan perumpamaan itu Yesus mau menegaskan bahwa Allah mengasihi manusia tanpa batas. Kasih Allah yang tak terhingga, tidak membeda-bedakan.
Ia mengasihi si bungsu yang menyalahgunakan kemurahan hati-Nya dan si sulung yang tidak merasa dicintai-Nya.
Kasih Allah tidak tergantung pada perbuatan kita; dosa-dosa kita tidak mengurangi kasih-Nya dan perbuatan-perbuatan baik kita tidak mempengaruhi kasih-Nya untuk kita.
Allah juga tidak memaksa kita untuk mencintai-Nya. Siapa saja diundang tinggal di rumah-Nya. jika kita mau bersatu dan tinggal dalam kasih-Nya, maka kita akan bahagia.
Dalam pentas panggung kehidupan ini, peran manakah yang sedang kita jalani; sebagai anak bungsu atau anak sulung?
Pulau Bali ya Pulau Dewata,
Pantainya indah mempesona.
Cinta Tuhan selalu terbuka,
Kasih-Nya tidak ada batasnya.
Cawas, kasih-Mu luar biasa….