MENGAWALI ceramahnya tentang ‘jiwa’ Ensiklik Laudato Si, Kardinal Tagle menjelaskan mengenai empat tahapan penting dalam sistematika refleksi Bapa Suci Paus Fransiskus dalam ensiklik yang kental dengan nuansa memelihara lingkungan hidup ini.
Keempat tahapan langkah itu adalah seeing, judging, act, dan terakhir adalah celebration.
Kemudian, Sang Kardinal dengan singkat mengurai isi masing-masing tahapan refleksi tersebut.
- Seeing
Mari kita lihat secara seksama apa yang tengah terjadi di sekitar kita. Sudah begitu jamak terjadi apa yang sering disebut scientific research. Namun, bumi yang kita injak dan dimana kita hidup ini tetap saja menyaksikan apa itu polusi, sampah berserakan dimana-mana, kematian bayi, perubahan iklim, semangat gonta-ganti barang demi penampilan (the culture of throwing), makin sedikit tersedianya air bersih, makin berkurangnya keaneka ragaman hayati.
“Jadi, meski riset ilmiah tetap banyak dilakukan, namun sejatinya quality of life umat manusia makin cenderung merosot,” kata Kardinal Tagle.
Pada konteks itulah, Gereja Katolik (baca; Paus Fransiskus) bertanya kepada para pemimpin dunia, tokoh masyarakat, politisi, anggota parlemen, dan juga para pemimpin agama itu sendiri: apa yang sebenarnya telah kalian perbuat terhadap Bumi kita?
Paus melihat bahwa telah terjadi kelambanan respon yang ditunjukkan oleh para tokoh kunci pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan ini. Padahal, kualitas hidup manusia semakin menurun.
- Judging the situation
Merefleksikan semua hal di atas dan berangkat dari perspektif catholic wisdom dan interdisciplinary sciences, Gereja Katolik melalui Paus Fransiskus mengajak umat manusia untuk melakukan –katakanlah– semacam ‘penelitian batin’.
Berpijak dari Kitab Kejadian. Kardinal Tagle menegaskan bahwa Bumi adalah ciptaan Tuhan (Sang Kreator Ilahi). Tuhan memberi kuasa pada manusia untuk mengolah Bumi dan bukan menguasai dan memanipulasinya secara massif dan habis-habisan. “Melainkan memotivasi kita untuk menjadi liberator, pembebas,” ujarnya.
Itu berarti, Gereja Katolik mengajak kita semua untuk berlaku layaknya seorang liberator yang membebaskan Bumi dari perilaku egois manusia yang maunya hanya eksploitasi. Kita harus membebaskan Bumi dari perilaku yang merusak lingkungan, mendorong orang untuk bersikap ramah terhadap Bumi demi masa depan generasi setelah kita-kita ini.
Bumi bukan hanya untuk generasi sekarang. Melainkan Bumi untuk generasi anak-cucu kita. Apa yang kita lakukan atau putuskan sekarang, punya dampak luar biasa untuk generasi mendatang.
“Yang perlu kita canangkan bersama adalah semangat stewardship dalam merawat Bumi,” tegasnya.
Kenapa manusia sampai berlaku eksploitatif?
Di sinilah Sang Kardinal mulai membicarakan tentang causes, consequences and effects. Menurut dia, salah satu pemicu perilaku manusia yang ekspolitatif adalah derasnya pemakaian teknologi tapi tanpa batas (technology without limit).
“Harus ada yang namanya self-restraint. Semacam spirituality of limit,” kata Sang Kardinal.
Kita tidak mungkin membiarkan orang berbuat seenak udelnya sendiri tanpa intervensi orang lain. Hukum itu dibuat oleh manusia untuk membatasi kebebasan manusia jangan sampai tidak batas.
“Mari tunjukkan respect to the nature sekaligus membangkitkan kembali rasa tanggung jawab masyarakat terhadap kelangsung bumi,” tandasnya.
Mengapa ini perlu?
Sang Kardinal lalu memberi contoh bagaimana kita sekarang ini sampai tidak tahu lagi apa yang kita minum dan makan ini masih mengandung elemen-elemen yang alami dan sehat. “Jangan-jangan sudah ada bahan-bahan kimia yang masuk dalam makan-minum kita sehingga bukannya sehat tapi malah sakit,” gugatnya.
- Act
Pada bagian ini disinggung beberapa pokok pikiran. Antara lain apa yang disebutnya;
- Integral ecology yang harus melihat semua aspek (ekonomi, sosial, manusiawi, lingkungan) dalam sebuah bingkai bersama.
- Cultural ecology dimana perhatian pada para penduduk indigenious tribal perlu mendapat porsinya.
- Ecology of daily life dengan memperhatikan tersedianya open public space tempat anak-anak bisa bermain, transportasi yang aman dan layak, cara penanaman apakah memakai pestisida atau tidak.
Sederet langkah bisa ditempuh dalam skala lokal, nasional dan internasional. “Barangkal sudah menjadi kepentingan kita bersama untuk meninjau kembali semua langkah dan kebijakan yang dulu pernah diambil oleh para pemangku pengambil keputusan,” kata Kardinal Tagle.
Jadi, mari kita tantang semua pihak yang mengambil posisi pengambil keputusan itu untuk berlaku:
- Tell the truth.
- Be honest to us.
- Jangan biarkan mekanisme kekuatan pasar berjalan tanpa kendali.
- Bisnis bukan hanya mencari profit, tapi juga human development. “Sudahkah misalnya Gereja Katolik Indonesia mengajak para pengusaha katolik untuk tidak hanya memikirkan untung tapi pembangunan manusia?,” gugat Sang Kardinal.
Berkaitan dengan itu, menjadi penting untuk mempraktikkan pendidikan ekologi kepada semua orang, terutama mulai dari anak-anak untuk belajar mematikan listrik bila tidak digunakan, hemat pemakaian air, memakai bahan yang bisa didaur ulang, hidup hemat dan sederhana, berlaku ramah terhadap semua orang.
http://www.sesawi.net/uskup-agung-manila-kardinal-tagle-rawatlah-bumi-demi-generasi-masa-depan-1/
http://www.sesawi.net/uskup-agung-manila-kardinal-tagle-waktunya-beristirahat-3/
Kredit foto: Dr. Maria Ratnaningsih, Kardinal Tagle (Sesawi.Net/Royani Lim)