USKUP Keuskupan Agung Samarinda di Provinsi Kaltim Mgr. Yustinus Harjasusanto MSF mengungkapkan setidaknya ada tiga sangat penting telah bergulir di dalam Gereja Katolik Semesta.
Terjadi demikian, tentu saja karena berkat sejarah bernama Konsili Vatikan II (1962-1965).
Ketiga perubahan penting dan besar itu adalah berikut ini.
- Gereja Katolik memperoleh kesadaran dan pemahanan baru atas jatidirinya. Yakni sebagai paguyuban umat beriman kepada Allah.
- Sabda Allah yang tersaji di dalam Kitab Suci dipahami sebagai sumber dan landasan hidup bagi praktik hidup menggereja dan bermisi.
- Pengungkapan iman secara baru, kesadaran bahwa Gereja itu berada di tengah masyarakat dan di tengah dunia, serta keterbukaan relasi dengan umat dan kelompok beragama lain.
Implementasi dan dampaknya
A. Paham Gereja yang kini memahami dirinya sebagai paguyuban iman beriman kepada Allah telah membawa perubahan amat besar di dalam Gereja itu sendiri untuk menghidupi dan mempraktikkan hidup beriman itu sesuai dengan jatidirinya.
- Perubahan persepsi akan jatidiri baru ini telah membawa implikasi sangat besar dan luas. Terhadap para klerus (imam), kaum religius (bruder, suster, frater), dan umat Allah secara umum yang dalam ini adalah kaum awam.
- Kaum religius dan rohaniwan-rohaniwati yang dulu hanya “tinggal diam” di dalam “menara gading” berupa biara kini terjun dan bergaul dengan masyarakat.
- Kaum awam semakin mendapat ruang dan kesempatan seluas-luasnya untuk berkreasi dan berpartisipasi dalam mengelola Gereja. Termasuk dalam mengemban tugas kerasulan khusus seperti pengutusan profesional.
B. Sabda Allah atau Kitab Suci kini dipahami sebagai sumber dan landasan hidup kaum beriman.
- Karenanya, Kitab Suci lalu dipresentasikan menjadi semakin lebih publik daripada masa-masa sebelumnya yang dulu hanya (boleh) diketahui dan dibaca oleh kaum klerus dan kaum religius di biara-biara.
- Karena itu, Kitab Suci lalu diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa “modern” sesuai dengan lokasi dan tempat masing-masing umat beriman itu berada sehingga kini kita bisa membaca KS sesuai dengan “bahasa kita” masing-masing.
C. Iman akan Allah yang diungkapkan di dalam dan melalui Perayaan Ekaristi juga mulai dilakukan sesuai dengan konteks bahasa dan budaya di mana umat beriman kepada Allah itu berada.
- Kalau dulu misa itu dipraktikkan oleh imam dengan posisi badannya harus menghadap ke altar dan membelakangi umat, kini imam berdoa sembari mengambil posisi badan berhadapan dengan umat.
- Imam dan umat berdoa dengan menggunakan “bahasa kita” dan ungkapan-ungkapan iman itu secara liturgis di dalam Perayaan Ekaristi bisa diwujudkan melalui simbol-simbol budaya lokal.
- Padahal, masa pra Konsili Vatikan II, semua praktik peribadatan dan liturgi misa harus diungkapkan dalam bahasa Latin.
D. Gereja menyadari diri berada di tengah dunia, karenanya harus juga mau terlibat dan berpartisipasi dalam “urusan orang banyak” untuk memperjuangkan kepentingan umum dan memajukan “kebaikan bersama” (bonum commune).
- Ini wujud upaya Gereja Katolik untuk mengupayakan keselamatan bagi umat manusia.
- Gereja Katolik mulai bersedia mengakui kebenaran agama-agama lain sehingga kemudian juga bersedia membuka komunikasi dan berdialog dengan agama-agama lain sehingga menjadikan Gereja semakin terbuka dan bersikap akrab dengan komunitas-komunitas agama lain.
- Ini dipraktikkan secara nyata dan jelas oleh Paus Johannes Paulus II dan Paus Fransiskus.
Acara Peringatan 60 tahun Konsili Vatikan yang digagas dan dipraktikkan oleh IKAFITE (Ikatan Alumni Fakultas Filsafat dan Teologi Universitas Sanata Dharma) kiranya bisa menjadi momentum tepat bagi segenap umat beriman di Indonesia. Untuk secara bersama-sama kita kembali menyadari betapa Konsili Vatikan II telah mengubah wajah Gereja Katolik secara ekstensif dan massif.
Kredit: Mgr. Yustinus Harjasusanto MSF, Uskup Keuskupan Samarinda di Kaltim.