INI bertepatan dengan Imlek beberapa hari lalu. Umat Katolik asal Manggarai, Flores, NTT yang tergabung dalam IKEMAS (Ikatan Keluarga Manggarai Surabaya) di Surabaya, Sidoarjo, Gresik. kumpul bersama di Surabaya. Mereka merayakan Hari Natal dan Tahun Baru bareng.
Selebrasi iman mereka itu ditandai dengan perayaan ekaristi di Gereja Katolik Roh Kudus Surabaya. Ekaristi syukur dipimpin oleh Uskup Keuskupan Surabaya Romo Agustinus Tri Budi Utomo didampingi beberapa imam Serikat Sabda Allah (SVD).
Umat yang hadir mengenakan busana dan kain khas Manggarai. Perarakan dengan tradisi Manggarai dimulai dari halaman menuju ke dalam gereja; menandai dimulainya rangkaian acara. Dari pintu utama gereja, para penari dengan busana tradisonal Manggarai menari dengan diiringi lagu-lagu berbahasa Manggarai;mengisi prosesi perarakan menuju altar.
Lagu-lagu ini berkumandang sepanjang selebrasi imam dalam ekaristi ini. Segenap umat mengikutinya. Ini menandakan kerinduan mereka menyanyikan lagu-lagu daerah tersebut.
Tahun ketiga berkarya di Keuskupan Ketapang, Kalbar
Dalam homilinya, Romo Uskup berkisah tentang peristiwa di tahun ketiganya menjalankan misi pastoral di Keuskupan Ketapang, Kalimantan Barat. Suatu ketika dalam perjalanan ke paroki -setelah menghadiri acara di keuskupan, ia mendapati hari sudah gelap. Lampu sepeda motor yang dikendarai juga tidak berfungsi dengan baik, sehingga tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan.
Situasi sepanjang pesisir barat laut Kalimantan Barat ini jarang sekali ada orang Katolik. Setelah beberapa waktu mengendarai sepeda motor, tanpa sengaja bertemu seorang bapak dari Flores yang kemudian memberikan tempat untuk bermalam.
Keluarga tersebut memberikan kamar satu-satunya di pondok tersebut untuk beristirahat. Karena terlalu capai, maka ia pun lalu tidur pulas, hingga terbangun pukul 03.00 dinihari. Terkejutlah, di sela bilik dinding kayu penyekat kamar dengan ruangan luar, tampak keluarga tersebut membaca Injil dan beribadat dari buku Madah Bhakti.
Romo Uskup merasa malu, lalu bangun dan ikut berdoa dari kamar.
Pagi hari, Romo Uskup bertanya berapa lama keluarga bapak ini -belakangandiketahui bernama Pak Frans- tinggal di kampung tersebut. Pak Frans bercerita bahwa di kampung tersebut baru merintis satu tahun. Sebelumnya tinggal di kampung pedalaman.
Dulu di sana belum ada orang Katolik, namun setelah lima tahun kampung tersebut sudah menjadi 100% Katolik. Dengan kepindahannya di tempat baru, Pak Frans memulai berkenalan dengan orang-orang di sekitar pondoknya. Harapannya masyarakat di kampung tersebut juga mulai mengenal Tuhan Yesus dan menjadi Katolik 100% seperti kampung tempat tinggal sebelumnya.
Ketika Romo Uskup memujinya sebagai misonaris hebat, Pak Frans menjawab, “Saya ini orang Flores. Tulang dan darah saya sudah dimeteraikan oleh Tuhan Yesus. Maka di mana pun saya pergi, saya ini anak Tuhan: harus mewartakan Injil ke mana pun,” ujar Romo uskup menirukan omongan Pak Frans.
“Betapa hebatnya bapak ini,” sambuing Romo Uskup. “Meskipun keterbatasan hidup dengan tidak punya penghasilan rutin dan hanya mengandalkan kebun dari sepetak tanah yang diberikan orang, ia masih punya daya untuk merasul,” ungkapnya.
Perjumpaan dengan Pak Frans kembali terjadi; dalam kunjungan ke paroki tempat Romo Uskup bertugus dulu pernah tugas berpastoral di wilayah Keuskupan Ketapang. Itu terjadi setelah ia menjalani retret, sebelum menjadi uskup. Pak Frans telah bekerja menjadi koster di paroki tersebut. Meskipun tidak menjadi pastor, Pak Frans tetap merasul di mana pun berada yaitu dekat gereja.
Imam almusenir
Dalam kisah yang lain, Romo Uskup bercerita tentang perjumpaannya dengan imamyang pernah menjadi penasehat rohani pasukan Cakrabirawa. Di pastoran imam tersebut, tinggal satu anak berasal dari Flores. Romo tersebut bercerita bahwa orang Flores itu adalah kakerlake die welt. Maksudnya, di mana ada ruang sempit, maka di situpula ada orang Flores dan di situ pula ada gereja.
Orang Flores datang bukan sebagai hal istimewa di suatu tempat yang mau di sela-sela yang paling sederhana dan di mana pun, tapi d isanalah dia menelurkan benih-benih ke-Katolik-an, di mana pun mereka itu berada.
Romo Uskup merasa bersyukur pengurus IKEMAS mengundang dia untuk perayaan ekaristi. Inilah momentum yang tepat, sejak tahun 2016:
- 64% umat Katolik Keuskupan Surabaya ada di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo.
- 36% tersebar di separuh Jawa Timur.
- 64% prosentase terbesar adalah orang Tionghoa; prosentase kedua adalah orang Flores. dan prosentase ketiga gabungan orang Jawa, Batak dan lain lainnya.
- Sedangkan jumlah orang Manggarai di Surabaya Raya sekitar 3.200 orang. Angka ini belum termasuk Flobamora.
Bukan hanya para imam dan orang-orang Manggarai, secara umum orang-orang Flores NTT adalah misionaris-misionaris yang sangat mewarnai Gereja Katolik Keuskupan Surabaya. Dan merupakan bagian penting ke-Katolik-an di Jawa Timur untuk menghadirkan misi Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya.
“Anda adalah benih yang ditaburkan. Anda adalah benih benih firman yang dibawa sang penabur dan ditaburkan di berbagai situasi sampai di sela sela kampung, gang, di sanalah anda ditempatkan untuk bertabur hidup, untuk bertumbuh, untuk mengakar, untuk berbuah dan buah itu menghasilkan benih-benih baru,” ungkap Romo Uskup.
Romo Uskup ingin melihat peran orang Manggarai dalam hidup menggereja dan bermasyarakat: sebagai ketua RT, ketua lingkungan dan seksi-seksi di gereja. Itulah yang akan menjadi suatu kesaksian yang sangat hidup di dalam Keuskupan Surabaya.
Sehingga dapat dilihat, inilah benih-benih Kerajaan Allah yang telah ditaburkan Tuhan di seluruh wilayah Keuskupan Surabaya. Mereka telah berfungsi dan berperan sebagai benih-benih yang terus memecah lalu bertunas. Diharapkan orang Manggarai di Keuskupan Surabaya tidak ada yang menutup diri, tidak muncul di gereja seperti benih yang terus di dalam cangkangnya yang tidak mau memecah, bertubuh, mengakar dan hadir di tengah masyarakat.
Romo Uskup menyakini, misi SVD di Manggarai telah menanamkan benih-benih ke-Katolik-an bukan sekedar ageman atau baju sehingga sampai hal-hal yang sederhana. Misalnya, secara berseloroh, mabuk pun bisa sampai meneriakkan “Tuhan Yesus”.Juga orangtua yang memarahi anaknya pun sampai berteriak: “Tuhan Yesus, ampuni anak ini”.
Semua hal ini menandakan bahwa Tuhan Yesus telah menjadi perjanjian yang dimeteraikan di dalam pikiran, hati, darah, tulang dan daging orang-orang Manggarai. Meskipun dalam keadaan apa pun, kebatinan mereka tidak bisa lepas dari Tuhan Yesus.
Dalam penutupan homili, Romo Uskup berpesan agar umat Manggarai tidak lupa budaya. Budaya adalah tanah dan sabda Allah adalah benih yang ditanam di tanah. Jangan sampai benih itu kalah, karena dihimpit oleh tanah. Tetapi tanah itu yang menyuburkan benih, lalu benih itu bertumbuh, bercabang, berbuah karena mengambil dari tanah budaya.
Maka budaya itu terus dijaga seperti lagu-lagu berbahasa Manggarai sungguh-sungguh berbicara dari dalam hati dan sangat menyentuh. Itulah hati kita yang disapa dengan budaya. Dari situlah hati kita akan bertumbuh sabda Tuhan dalam kehidupan sehari hari.
Dalam kesempatan ini, sejalan dengan semangat misioner St. Joseph Freinademetz, co-founder SVD yang bermisi di Tiongkok dan bersama keluarga besar Serikat Sabda Allah serta teman-teman keluarga besar Manggarai, maka dengan rendah hati Romo Uskup memohon demikian ini.
Agar orang Manggarai jangan pernah lupa, di mana pun di pojok selempitan apa pun di mana berada, “Anda adalah benih Kerajaan Allah yang ditabur. Jagalah hati kita menjadi tanah yang subur, jangan sampai kepahitan hidup, duri-duri, luka, kemarahan menghimpit anda.
Jangan sampai kita ini juga tanah berbatu batu, sehingga batu kekerasan hati mengalahkan tanah yang subur. Sehingga kita jangan lupa membawa benih yang harus ditumbuhkan.
Semoga keluarga besar Manggarai, sungguh menjadi pelopor karya misi ke-Katolik-an dan membawa misi di tengah masyarakat. Jaga dan selalu pelihara emangat dan firman Tuhan Yesus di mana pun anda berada. Amin.”
Baca juga: Tentang Romo Didik, Uskup Keuskupan Surabaya (2)