“Victor Frankenstein”, Kala Manusia Ingin Menjadi Seperti ‘Tuhan’

0
3,598 views

SEGENAP agama monoteistik sepakat bahwa kehidupan ini berasal dari Sang Pencipta yakni Tuhan. Namun, kemajuan teknologi dan kepintaran manusia yang berhasil menciptakan penemuan-penemuan baru rupanya mampu membawa orang pada nafsu untuk ‘berkuasa’.

Kali ini, seperti kata Friedrich Nietsche, nafsu untuk berkuasa itu membawa ambisi manusia untuk menerobos batas ‘wilayah kekuasaan’ Tuhan sebagai penghembus nafas kehidupan.

Gambaran manusia ambisius yang ingin mengkasting dirinya sebagai ‘pencipta kehidupan’ baru ini muncul pada diri sosok Victor Frankenstein (James McAvoy). Ia bekerja serius ‘merangkai’ bangkai binatang untuk kemudian menghembuskan kehidupan dalam raga seekor simpanse hasil ‘jahitan’ organ berbagai hewan yang telah mati.

Untuk sebuah karya besar ini, Victor mendapatkan sokongan hebat dari Igor, asistennya yang cakap besutan wajah klimis pemeran sosok Harry Potter si Daniel Radcliffe.

Hanya saja, projek pertama menciptakan simpanse dari rangkaian ‘jahitan’ bangkai binatang melebihi kapasitasnya sebagai hewan. Binatang ‘kreasi baru’ ini luar biasa ganas dan malah mencelakakannya.

Tapi dasar manusia tamak dan ambisius yang ingin menjadi seperti ‘Tuhan’ Sang Pencipta Kehidupan, Victor tak menyerah kalah. Apalagi, upayanya menciptakan monster didukung secara politik dan finansial oleh keluarga bangsawan kaya di London yang sampai rela ‘menyewakan’ kastilnya di Skotlandia untuk projek ‘penciptaan’ ini.

Dilema moralitas

Kali ini, pertimbangan moral menghantui Igor, Si Bongkok mantan badut di sebuah kelompok sirkus yang berhasil mendapatkan ‘wajah kehidupan baru’ berkat pertemuannya dengan Victor Frankenstein. Sebelumnya, Igor adalah manusia sampah; hanya menjadi badut figuran dan menjadi objek banyolan dan gojekan kasar oleh sesama pemain sirkus.

victor-frankenstein-movie-trailer-700x289
Menciptakan kehidupan baru dari bangkai binatang menjadi seekor simpanse.

Perkenalannya dengan Victor mengubah wajah kehidupan Manusia Bongkok ini pada derajad keilmuan yang lebih berwibawa. Semula hanya asisten, barulah kemudian menjadi mitra kerja Victor Frankenstein yang bermimpi ingin bisa ‘menjadi seperti” Tuhan, Sang Pencipta Kehidupan.

Pada kisah projek menciptakan kehidupan inilah, sekelumit mampir dalam kehidupan Si Bongkok adalah Lorelei (Jessica Brown Findlay), mantan pemain akrobatik yang jatuh dari ketinggian namun berhasil diselamatkan oleh duet Si Bungkuk dan calon ‘tuannya’ Frankenstein, keduanya ahli anatomi tubuh.

Si Bungkuk alias Igor dilanda dilema moral. Ia berhasil menemukan kehidupannya yang baru dan menemukan cinta Lorelei berkat kepiawaian Victor Frankenstein. Namun, projek gagal ketika menciptakan simpanse membuat dia berpikir bahwa ambisi ingin “menjadi seperti” Tuhan sebagai Pencipta Kehidupan perlu dihentikan.

Sosok manusia baru hasil rekayasa genetika yang diimpikan Victor sebagai Henry Frankenstein bukannya tampil sebagai saudara kandung, melainkan malah berubah menjadi monster penghancur kehidupan itu sendiri.

Bagaimana kita bisa menerangkan bahwa Igor Si Bongkok ini begitu sudi menolong mati-matian Frankenstein hanya karena mendapatkan wajah kehidupan baru? Lalu pertanyaan lebih dramatik lagi, bagaimana dia mesti menyikapi diri sebagai ‘mahkluk ciptaan’ kepada Tuhan Sang Pencipta Kehidupan itu sendiri, kalau dia nyatanya lebih ‘taat’ kepada sahabat dan gurunya Victor Frankenstein daripada Tuhan yang tidak kasat mata?

Kristiani puritan vs sekularisme

Untuk pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar inilah, film misteri Victor Frankenstein lalu menghadirkan sosok detektif Scotland Yard Roderick Turpin (Andrew Scott) yang sangat puritan menjaga wibawa iman kristianinya. Dialog-dialog yang menyayat kesadaran moral religius manusia terjadi antara Victor Frankenstein yang agnostik-ateis dengan Sang Detektif yang kristiani aliran kanan alias fundamentalis.

Inilah persoalan krusial masyarakat modern saat ini. Ketika akal budi dan teknologi telah merajai hidup sosial manusia, maka yang terjadi kemudian adalah penggalan-penggalan hidup yang bernuansa ‘misteri’ menjadi kehilangan giginya karena dipaksa ‘pisah’ dari otoritas ilahi yakni Tuhan Sang Pencipta. Kita jelas perlu memisahkan yang ilahi dari yang insani dan untuk itulah kita perlu sekularisasi. Namun, proses ‘memisahkan’ wilayah ilahi dan duniawi ini jangan sampai kebablasan menjadi sekularisme dimana keilahian lalu tidak mendapatkan tempat lagi di relung hati keimanan manusia.

Inilah ‘kecelakaan religius’ Victor Frankenstein yang ingin menjadi seperti Tuhan, Sang Pencipta Kehidupan. Ketika ambisi merengkuh sekularisme demi ilmu pengetahuan sudah sedemikan membuncah bungah, maka yang terjadi kemudian: nasehat dan teguran ayahnya pun tidak dia gubrik. Begitu pula ‘rengekan’ sahabat dan asistennya Igor juga dia cuekin, ketika sang monster ciptaannya itu dalam sekejap akan mereguk nafas kehidupan hasil ‘othak-athik gathuk’ antara ilmu anatomi dan energi listrik yang terpancar dari cahaya kilat pra hujan.

Victor Frankenstein pada hemat saya akan jauh lebih menarik dan membawa ‘sesuatu’ pada kehidupan kita manakala kisah film ini kita masukkan dalam bingkai perspektif filsafat ketuhanan dan memulainya dengan konsep will to power besutan filosof Nietsche.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here