Vigili Paskah 2022, Bestik Iga Sapi untuk Alm. Albertus Trias Dwi Nugroho (2)

0
804 views
RIP Trias Dwi Nugroho saat pertemuan terakhir di Seminari Tinggi OMI Condongcatur, Yogyakarta, bersama isteri Ny. Sri Briharti, dan anak mereka Ovy. (Mathias Hariyadi)

JUMAT Agung tanggal 15 April 2022 lalu, Kota Yogyakarta diguyur hujan deras. Juga angin sangat kencang bertiup mengisi ruang udara Kota Gudeg. Jarak pandang mata di sepanjang Jalan Ring Road Utara sangat terbatas. Hanya 5-6 meter saja.

Maka, saya urung belok kiri menuju Pasar Condong Catur, karena badan jalan arteri ini sudah banjir. Genangan air sudah sampai ½ roda mobil.

Batal sudah saya datang mau mengunjungi Albertus Trias “Dinuk” Dwi Nugroho di Seminari Tinggi OMI di Concat, lantaran hujan dan angin ribut tersebut.

Ada semacam guilt feeling mengisi ruang hati saya, karena batalnya niat itu. Karena tujuan saya mudik dan Paskahan di Jateng antara lain ingin menjenguk Trias ini.

Ia merupakan teman angkatan di Seminari Menengah Mertoyudan, sejak kami masuk tahun 1978 hingga lulus tahun 1982. Saat mana kami masing-masing lalu berpisah, karena melanjutkan “jurusan” ke tarekat religius beda.

Vigili Paskah

Niat mengunjungi Trias itu pun akhirnya kesampaian hari Sabtu siang tanggal 16 April 2022. Persis jelang misa Vigili Paskah.

Sabtu siang yang sangat panas, saya datang mengunjungi Seminari Tinggi Concat. Di sana sudah lebih dahulu ada Enang Raharjanto, juga alumnus Seminari Mertoyudan tahun 1980 asal Temanggung.

Enang adalah mantan frater OMI. Ia datang disertai isterinya. Saya datang ditemani kakak kandung.

Kami pun lalu asyik ngobrol di halaman depan kamar tamu Seminari Tinggi OMI. Ngalor-ngidul ora karuan.

Termasuk membahas “keluhan” Trias saat itu. Karena ia menjadi susah ngomong, lantaran lidah dan mulutnya kena sariawan.

Untung saja, saya bawa obat semprot anti sariawan sehingga siang yang amat panas itu, obat itu langsung bisa meringankan derita almarhum yang tidak bisa bicara banyak.

Enang pulang duluan. Lalu, saya pun melanjutkan obrolan. Sana-sini. Tidak fokus.

Sudah mulai lesu nglentruk

Perhatian saya tertuju pada almarhum Trias yang saat itu secara visual sudah terkesan mau jatuh nglentruk –seperti mulai kehilangan semangat.

Untuk seorang Trias Dinuk yang sewaktu di Mertoyudan dikenal sebagai pemain bola sangat andal –malah sering jadi kapten IFO sepak bola dengan predikat gelandang—pemandangan jatuh nglentruk itu benar-benar menyesakkan hati.

Akankah waktunya sudah akan segera “tiba”? Begitulah saya mulai “menebak-nebak”.

Awal bulan November 2021 lalu, Trias masih tampak sangat gesit mendampingi perjalanan saya di Cilacap selama sepekan lamanya di Pastoran Gereja St. Stefanus Cilacap.

Sejak pertemuan terakhir itu, ada gagasan spontan untuk membantu dia. Entah dalam hal apa. Gagasan ini saya syeringkan kepada teman-teman alumni Mertoyudan Angkatan KPP 78 dan KPA 81.

Intinya, kami ingin “menyenangkan” almarhum. Dalam hal makan-minum. Karena, meski sakit, Trias Dinuk tidak ada pantangan makan-minum apa pun.

“Bapak senang bestik iga sapi,” kata Ovy kepada penulis.

Karena informasi ini, saya pun lalu bersemangat menghubungi Dian yang punya kantin di bilangan Tugu, Yogyakarta. Kalau-kalau sesekali dia bisa kirim ater-ater bestik iga sapi -lauk karemane Trias- agar bisa makan enak untuk tambahan gizi.

Kepada teman-teman alumni, saya syeringkan kegiatan amal kasih ini untuk program peningkatan asupan gizi. Senang bahwa banyak teman merespon ajakan berbuat mulia ini.

Sayang sekali bahwa kiriman bestik iga sapi ini jadi tertunda, karena akhir April 2022 pekan lalu, Trias harus masuk RS dr. Sardjito lagi untuk proses kemoterapi tahap 5.

Itu pun masih harus ditambahi transfusi darah sebelum kemoterapi. Karena kondisi kesehatan almarhum kurang membaik sebelum proses kemo ini.

Hari Rabu siang tanggal 5 Mei 2022 ini, tiba-tiba Primar -Pak Lurah Angkatan 78/81- kasih info ringkas. “Trias kondisinya ngedrop,” tulisnya singkat di WA.

Waduh. Itu reaksi spontanku. Segera saya telepon untuk tahu di angka berapa tingkat saturasinya. Ternyata hanya bertengger di angka “60”.

Ungkapan waduh saya itu kemudian berlanjut.

Saya lalu mengontak Susi, adik kandung Trias, dan suaminya Cosmas Pak Guru di Jasa, Kec. Jogonalan, Klaten. Kata mereka, kondisi kakaknya memang hari-hari terakhir ini mengkhawatirkan.

Benar saja. Beberapa menit kemudian, baik Primar dan Ovy -anak semata mayang Trias dan Sri Brihanti- memberi tahu bahwa Trias Dwi Nugroho akhirnya pulang ke rumah Bapa.

Saya terpana. Sedikit berlinang.

Albertus Trias “Dinuk” Dwi Nugroho sudah RIP sekarang. Tanpa sempat ngicipi pasokan ater-ater bestik iga sapi yang sudah mau saya pesankan di Kantin Dian di bilangan Tugu, Pasar Kranggan, Yogyakarta.

Requiescat in pace et vivat ad vitam aeternam. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here