Wajib Secara Moral, Lembaga Katolik Bergaya Hidup Sehat, Sederhana, dan Ramah Lingkungan

0
282 views
Ilustrasi: Suster OSA misionaris dari Belanda tidak hanya tetap aktif menjalin relasi emosional dengan "keluarga induk" di Nederland, tetapi juga dengan anggota masyarakat di Ketapang dan Tumbang Titi. (Dok OSA/Repro MH)

SAYA pernah mendengar bahwa ada seorang uskup yang kurang antusias mendukung event-event besar nasional gerejani. Dengan alasan ongkos biaya penyelenggaraannya terlalu mahal. Juga pasti akan lebih baik, bila expenses yang terlalu besar dan mahal itu kemudian bisa dialihkan untuk hal-hal lain yang lebih berguna.

Namun kalau sudah program event itu sudah menjadi keputusan bersama, uskup tersebut termasuk yang pihak pertama yang tanpa ba-bi-bu lagi langsung ikut memberi kontribusi dana.

Untuk event nasional memang diperlukan dana yang sangat besar, karena sebagian peserta harus naik pesawat yang tiketnya semakin mahal.

ILustrasi: Terjebak dan arus lalu lintas tak bisa bergerak berjam-jam berjam-jam di rute perjalanan Ketapang-Tanjung akhir Agustus 2022. (Romo A. Joko Purwanto Pr)

Mungkinkah Gereja bisa bergaya hidup sehat dan sederhana?

Apakah kita bisa mengadakan acara gereja yang hemat, sederhana, dan ramah lingkungan?

Itu tergantung kemauan kita, karena -kalau sungguh mau dan serius melaksanakannya- maka kita sebenarnya pasti bisa.

Dengan diterbitkannya Ensiklik Laudato Si’ oleh Paus Fransiskus tahun 2015, maka barangkali secara moral sebagai orang Katolik kita harus berusaha ke arah itu.

Karena gaya hidup hemat, sederhana, dan ramah lingkungan adalah gaya hidup yang cocok untuk dunia yang saat ini semakin rusak.

Terjadi demikian antara lain, karena sampah dan gaya hidup boros, pamer, dan semanta tidak peduli.

Ilustrasi: Giat Penghijauan Malaka ini digerakkan oleh motivasi luhur yakni membumikan semangat “Laudato Si”. Caranya dengan mengajak berbagai kalangan untuk mencintai dan merawat bumi. (Kelompok Millenials Pecinta Malaka)

Laudato Si Action Platform

Tahun 2021 Paus Fransiskus bahkan meminta agar kita semua yang mengaku Katolik melaksanakan Laudato Si Action Platform selama tujuh tahun ke depan untuk tujuh sektor dengan tujuh goals.

Sayangnya banyak lembaga dan orang yang masih mengaku Katolik kurang memperhatikan apa yang diminta Paus Fransiskus. Apalagi juga mau berjuang dan melaksanakannya imbauan pastoral dan bernuansa sangat moralistik ini. Menjaga dan merawat Ibu Bumi.

Dalam berbagai kesempatan, saya bertanya kepada umat. Apakah pernah mempelajari dokumen-dokumen gerejani seperti Evangelii Gaudium, Amoris Laetitia, Laudato Si’, Gaudette et Exsultate, Christus Vivit, Fratelli Tutti, dan dokumen Paus Fransiskus lainnya?

Umumnya mengatakan, bahkan belum pernah mendengar. Kalau pernah mendengar, sudah pasti juga belum membacanya.

Kalau sudah membaca pun, juga belum tentu akan paham isinya. Kalau sudah paham isinya belum tentu sudah melaksanaknnya. Tapi, kadang kala, semuanya sudah dan masih merasa Katolik militan.

Paus Fransiskus lewat berbagai dokumen-dokumen tersebut ingin mengajak kita umat Katolikmembuka pintu Gereja. Lalu berani melangkah keluar ke jalan yang becek berlumpur dan kotor.

Jangan jadi Gereja yang bersih dan merasa aman dan nyaman; tapi dengan tidak berbuat apa-apa.

Ilustrasi: Sr. Theresina CB dari RS Panti Nugraha Pakem DIY sangat peduli dengan semangat Ensiklik Laudato Si’. (Titch TV/Mathias Hariyadi)

Butuh terobosan baru: Gereja yang sederhana

Menurut Paus Fransiskus, dunia saat ini sedang  dan sudah sakit dan rusak. Diperlukan perubahan besar dalam gaya hidup. Juga perubahan radikal dalam proses produksi dan konsumsi. Bahkan dalam tata kelola masyarakat dan sistem pemerintahan.

Maka Paus Fransiskus mengajak kita bertobat dan berubah. Yakni, berubah antara lain dengan menjadi Gereja yang lebih sederhana, hemat, dan sederhana.

Merawat bumi -rumah kita bersama- adalah kewajiban moral umat dan lembaga Katolik. Ini sungguh tidak bisa ditawar-tawar lagi; apalagi malah diabaikan. Kalau kita masih merasa Katolik, pesannya singkat dan jelas: jangan abaikan ajaran moralitas Paus Fransiskus.

Tetap bisa dipraktikkan

Saya pernah menghadiri acara Gereja yang sederhana, hemat, dan ramah lingkungan. Dilaksanakan demikian, karena semua umat setempat membawa makanan dan minuman sendiri dari rumah. Sehingga tidak ada sampah makanan dan minuman sama sekali.

Biaya konsumsi bisa dihemat, karena hanya untuk tamu dari luar dalam jumlah terbatas.

Buku acara tidak dicetak, karena teks liturgi bisa diikuti lewat layar tivi.

Dekorasi bunga sekitar altar semuanya asli alias bukan bunga potong yang akan jadi sampah.

Saya pernah melihat gedung gereja yang dibangun sangat sederhana. Karena ingin memberi kesaksian akan gaya hidup sederhana di tengah mayoritas umat dan masyarakat yang masih miskin.

Ilustrasi: Mgr AM Sutrisnaatmaka MSF dalam sebuah acara pemberkatan gereja di pedalaman Keuskupan Palangka Raya, Kalteng. (Ist)

Bangunan gereja besar dan terlalu megah mahal

Mungkin sudah waktunya berhenti membangun gedung yang terlalu besar dan mahal. Desain gedung seharusnya sederhana dan tidak nampak mewah dan mencolok. Sambil memperhatikan kondisi daerah di sekitarnya.

Saya pernah melihat desain Gereja Katedral Keuskupan Agats yang sederhana dan sesuai dengan situasi lingkungan di Agats.

Belum lama ini para Suster OP mengadakan acara malam dana yang diselenggarakan di suatu panti asuhan. Jumlah tamu juga dibatasi tidak begitu banyak. Acara hiburan diisi oleh anak-anak panti asuhan.

Saya juga memperhatikan ada komunitas suster yang berjuang untuk hidup sederhana, hemat dan ramah lingkungan.

Para suster SPM memilih kapitel di pelosok tempat pengutusan yang terjauh.

Ada juga komunitas suster yang merayakan momen penting Kongregasi dengan cara hemat dan sederhana.

Ada rapat para uskup atau antar komisi keuskupan bahkan acara nasional yang cukup menggunakan tempat rumah retret sederhana atau bahkan menginap di rumah umat sekalian live in.

Ilustrasi: Misa di pinggir Sungai Tigal di wilayah pastoral Paroki Nanga Tayap, Keuskupan Ketapang. (Dok. Romo A. Joko Purwanto)

Di sisi lain ada beberapa komunitas suster bahkan yang mengaku menghayati spiritualitas dan kaul kemiskinan mengadakan acara di hotel mewah dengan cara yang sangat gebyar dan spektakuler.

Ada juga komisi keuskupan yang dirilis besar-besaran, namun sesudahnya juga tidak jelas kiprahnya.

Ada rapat antar komisi atau peresmian kelompok doa di hotel mewah dengan resepsi dan pertunjukan yang gebyar.

Di saat Indonesia “juara dunia” membuang sampah dan sampah makanan, tentu kita sedih melihat kalau di suatu event gereja sampah plastik bertebaran di mana-mana dan makanan dibuang karena terlalu banyak.

Saya pernah hadir di suatu acara tahbisan uskup di mana ada pasukan khusus dengan kantong sampah yang menjaga agar tidak ada sampah tercecer. Sampah bahkan dipilah dan didaur ukang oleh tim khusus tersebut.

Ketua Komisi Kepemudaan KWI Mgr. Pius Riana Prabdi mengimbau agar di IYD 2023 Palembang sampah-sampah sudah mulai dipilah-pilah dan tidak dibiarkan tercecer di mana mana.

Saya melihat sendiri ketika sehabis misa pembukaan banyak petugas langsung bergerak mengumpulkan sampah yang tercecer.

Romo F. Kristi Adi dan Romo AM Kristiadji MSC -dua imam bersaudara kandung- yang menjadi komandan acara IYD membekali para peserta IYD dengan piring makan dan tumbler air minum.

Ilustrasi: Retret Ekologis Hari Pertama di Pusat Ziarah Keluarga Kudus Nazaret di Sangalla Tana Toraja. (Romo Ferry Sutrisna Widjaja Pr)

Di mana mana disediakan galon untuk isi ulang air minum. Di semua ruangan tidak ada yang merokok.

Panitia IYD juga berusaha paperless dengan tidak mencetak buku acara, mengusahakan sistem kerja berbasis aplikasi IT agar tidak banyak yang harus dicetak, ada website dan berbagai info yang dikirim langsung ke nomor WA para peserta.

Makan disediakan prasmanan agar tidak banyak kemasan yang akan terbuang jadi sampah.

Dengan prasmanan tidak ada makanan terbuang. Begitu ada kelebihan makanan langsung dikirim panitia seksi konsumsi yang dari WKRI ke panti asuhan, panti jompo atau seminari dan biara.

Jadi kalau mau dan sungguh berusaha -meski sulit kalau jumlah peserta ribuan- sebenarnya kita masih bisa menggelar acara gereja yang lebih hemat, sederhana, dan ramah lingkungan.

Bumi makin panas

Marilah kita sungguh sadar bahwa bumi saat ini semakin rusak karena pemanasan global yang sudah beralih dari perubahan iklim ke krisis iklim bahkan darurat iklim.

Bumi semakin panas.

Tahun 2022 di Indonesia ada lebih dari 3.000 bencana yang sebagian besar terjadi karena ulah manusia. Hanya gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus yang merupakan kejadian alam.

Sedangkan banjir dan longsor adalah bencana yang disebabkan oleh (ulah ceroboh) manusia  dengan tidak menjaga kelestarian hutan; aksi menebang pohon sembarangan di kawasan hulu sungai sehingga di wilayah hilir mudah terjadi banjir ketika hujan.

Sungai semakin dangkal, karena erosi dan sampah sehingga cepat meluap jadi banjir sesudah hujan sebentar saja.

Ilustrasi: Wilayah NTT mengalami kekeringan. (Dok. Sesawi.Net)

Bunuh diri massal

Mas Lilik Krismantoro yang menjadi ketua Laudato Si Movement Indonesia pernah dalam suatu acara tak bisa membendung kesedihan dan tangis. Terjadi ketika ia mengungkapkan syering  bahwa kita semua sedang bunuh diri massal. Dengan cara intens merusak bumi. Lantaran kita punya gaya hidup kita yang tidak hemat, tidak sederhana dan tidak ramah lingkungan.

Saya juga hanya bisa menghampiri dan memeluk Mas Lilik dan ikut menangis.

Greta Thunberg dan banyak aktivis lingkungan hidup hanya bisa sangat sedih -bahkan marah- karena merasa semua upaya menyelamatkan kehidupan di bumi seperti percuma saja.

Mengutip laporan IPCC yaitu panel ahli sedunia tentang situasi bumi, Greta Thunberg dalam buku terbarunya The Climate Book setebal lebih dari 400 halaman dengan 102 artikel mengingatkan akan hal ini. Yakni, bahwa waktu kita menyelamatkan kehidupan di bumi hanya sampai tahun 2030. Mengapa? Karena carbon budget 420 gigaton pada awal tahun 2018 akan segera habis dalam kurun waktu tujuh tahun ke depan.

Gagal mengendalikan panas bumi

Buku Hothouse Earth An Inhabitan’s Guide yang ditulis Prof Bill McGuire adalah salah satu buku pertama yang menyatakan bahwa upaya membatasi kenaikan suhu global 1,5 Celsius dibandingkan suhu awal Revolusi Industri 250 tahun yang lampau sudah pasti akan menjadi target yang gagal dicapai.

Kita harus sudah bersiap tinggal di bumi yang semakin panas.

Generasi yang lahir tahun 2020 dibandingkan dengan generasi yang lahir tahun 1960 akan mengalami gelombang panas tujuh kali lipat, dua kali lebih banyak bencana kekeringan ekstrim dan tiga kali lebih sering banjir dan gagal panen.

Siapap un yang berusia di bawah 40 tahun akan mengalami jauh lebih banyak bencana dibandingkan generasi yang lebih tua.

Kompas menulis bahwa bumi sudah terlalu panas sehingga petani di Berau Kaltara tidak sanggup lagi bekerja di siang hari.

  • Kebun sayur harus disiram lima kali sehari. Biaya bertani semakin mahal.
  • Hidup petani semakin menderita.
  • Di Larantuka, Flores Timur, suhu bisa mencapai 40 Celsius.
  • Di Pakistan bisa 51 Celsius.
  • Di Death Valley di Texas AS mencapai 54 Celsius.

Panas di Palembang yang hanya 32 Celsius tentu saja “bukan apa apa” dibandingkan dengan data di atas.

Gerakan OMK Semarang dan sekitarnya melakukan sosialisasi semangat mencintai lingkungan hijau dan alami. (Vincent)

Moralitas umum

Maka sekali lagi -di saat bumi semakin rusak karena berbagai kebiasaan dan ulah manusia yang tidak ramah lingkungan- maka gaya hidup sederhana, hemat, dan ramah lingkungan adalah kewajiban moral kita semua.

Ini berlaku untuk semua umat dan lembaga Katolik, kalau masih ingin menjadi Katolik militan.

Ketua Komisi Kepemudaan KWI Mgr. Pius Riana Prabdi mengingatkan tema IYD 2023 Palembang yang berbunyi “Bangkit dan Bersaksilah” adalah panggilan kita semua.

Mari bangkit dan memberi kesaksian. Bukan hanya dengan lebih sering mengikuti kegiatan di lingkungan Gereja. Melainkan harus lebih dari itu, Yakni, mulai ikut peduli dan terlibat dalam menangani berbagai masalah dalam masyarakat.

Mari kita bersaksi mulai sekarang juga. Jangan ditunda tunda lagi.

Menjawab “Amin”

Uskup Keuskupan Agung Palembang selaku tuan rumah IYD 2023 Mgr Yohanes Harun Yuwono bertanya dalam akhir homili saat misa pembukaan IYD 2023 di Palembang. Ia mengajak OMK menjawab “Amin” dengan beberapa pernyataan reflektif.

  • Apakah OMK bangga dan setia pada iman Katolik  dan ajaran Gereja?
  • Apakah OMK bangga dan setia dengan hidup benar, jujur, setia dan anti korupsi?
  • OMK bangga anti narkoba dan anti pergaulan bebas?
  • OMK bangga menjaga lingkungan alam dan pembela kehidupan?
  • OMK bangga sebagai generasi yang santun di jalan raya?
  • OMK bangga dengan semangat kerukunan dan hidup persaudaran sejati dengan semangat pluralitas?
  • OMK bangga sebagai warga masyarakat dan warga Indonesia?
  • OMK bangga dan menyongsong pemilu yang bermartabat dengan akan memilih orang yang jujur, yang nasionalis, moderat, pelayan rakyat, pencinta Pancasila dan UUD 1945 apapun latar belakangnya?

Semua OMK dan yang hadir menjawab amin dengan suara yang mantap dan menggelegar.

IYD 2023 di Palembang. (Mathias Hariyadi)

Luar biasa.

Mohon izin kembali mempertegas dan sedikit menambahi.

Semoga OMK Indonesia dan kita semua juga bangga dan setia ikut membangun Gereja dan bangsa yang lebih sederhana, hemat, dan ramah lingkungan.

Karena  hal itu sungguh merupakan kewajiban moral kita sebagai umat Katolik. Apalagi ketika bumi sudah semakin rusak karena ulah dan kebiasaan kita yang tidak bertanggungjawab.

Semoga imbauan moral Paus Fransiskus untuk merawat rumah kita bersama kita jawab dengan “amin” yang mantap dan menggelegar. (Berlanjut)

Baca juga: Para Romo Jangan Promosi Rokok Dong

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here