[media-credit name=”squirrel” align=”alignright” width=”400″][/media-credit]APA yang membuat kita tidak mensyukuri hidup ini? Jika kita duduk tenang, menempel pada tanah dan membiarkan diri dipeluk oleh langit, kita akan merasakan dunia ini sedang merayakan kehidupan.
Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, adalah perayaan akan kehidupan. Hidup yang ada dalam hidup kita, yang ada dalam sebutir telur dan seekor elang, dalam bebijian dan pepohonan, dalam selembar daun dan akar-akar, dalam kepompong dan kupu-kupu, dalam seekor penyu yang menyembunyikan telurnya di bawah pasir, dalam sebatang rumput yang menjalar di bebatuan.
Kehidupan yang sudah kita lalui, tidak akan pernah bisa kita kembalikan. Kita tidak bisa menjadi lebih muda dari usia kita saat ini. Tetapi jatah waktu yang telah kita lewatkan, telah mengembalikan sesuatu yang berharga kepada kita, yakni pengalaman bergaul dengan hidup dalam kehidupan ini.
Ibarat sepotong cerutu yang dibakar nyala api, cerutunya semakin pendek, tetapi debu yang ditinggalkan api itu semakin panjang. Begitulah kita memandang umur, ada yang habis, ada yang tersisa. Semakin banyak yang habis, semakin banyak yang tersisa.
Kita seringkali tergoda hanya melihat apa yang habis, tanpa melihat apa yang sudah tersisa. Kalau kita hanya melihat apa yang sudah habis, maka kecemasan menjadi rumah kita. Kalau kita juga melihat apa yang sudah tersisa, maka kita menjadi bijaksana.
Kita lebih cepat
Rotasi bumi berjalan dengan kecepatan yang hampir sama sejak bumi ini ada. Matahari juga terbit dan tenggelam dengan kecepatan yang hampir sama sejak awal mula. Sayang, kita yang berubah. Kita sekarang menjadi lebih cepat, lebih cepat, dan lebih cepat, ketika kecepatan matahari dan rotasi berjalan sama.
Akibatnya kita melalaikan pergerakan di setiap denyut kehidupan yang sedang berlangsung. Kita kehilangan momen “hidup” dan jarang bersentuhan dengan “hidup”.
Seorang artis, di sebuah tayangan infotainment menangis ketika mengadakan kegiatan sosial mengunjungi perkampungan pemulung, bertemu dengan seorang anak kecil yang tak memiliki sebelah kakinya karena kekerasan yang dilakukan ayahnya. Meski tak punya sebelah kaki, anak itu tetap ceria, bercanda, tertawa dan lari kesana-kemari.
Artis muda ini baru menyadari, “hidup”-nya begitu berharga, bahkan jauh lebih beruntung dari anak malang ini, sebab dia punya dua kaki utuh.
“Meski begitu, saya menyadari, mengapa saya sering menggerutu, marah dan kecewa dengan hal-hal yang sepele? Saya malu dengan anak ini yang tetap gembira dengan keterbatasannya.” Kata si artis yang sedang naik daun ini.
Seorang sahabat lain, tiba-tiba terbakar semangat “hidup”-nya, ketika melihat seekor kupu-kupu yang bersayap indah warna-warni, berayun-ayun di sebuah kuntum bunga, persis di depannya. Bagaimana “hidup” berada di dalam makluk sekecil dan selemah ini? Bagaimana “hidup” menggerakkan belalainya untuk menghisap madu dan menggerakkan sayap-sayapnya yang elok? (besambung)