Puncta 08.01.22
Sabtu Sesudah Penampakan Tuhan
Yohanes 3: 22-30
RESI Wiyasa mempunyai tiga anak: Destarastra, Pandu Dewanata, dan Yamawidura. Tahta Hastina mestinya jatuh di tangan Destarastra, puetra sulung.
Namun karena dia buta sejak lahir, maka dengan rela hati ia menyerahkan Kerajaan Hastina pada Pandu, adiknya.
Destarastra sebenarnya berhati baik. Ia sadar akan kelemahan fisiknya yang tidak memungkinkan memerintah Hastina. Ia merelakan tahtanya kepada Pandu.
Yang tidak rela adalah Gendari, isteri Destarastra. Juga Sengkuni, adik Gendari, dan Joko Pitono, putera sulungnya.
Mereka bertiga, lebih-lebih Sengkuni tidak merelakan tahta Hastina jatuh ke putera-putera Pandu. Mereka bersekongkol membuat tipu daya agar para Pandawa musnah.
Dalam segala hal Kurawa, keturunan Destrarastra bersaing dengan Pandawa, keturunan Pandu.
Sengkuni menjadi provokatornya. Ia selalu menebarkan rasa iri dan benci di dalam diri Joko Pitono.
Mereka tidak suka melihat keberhasilan pada Pandawa. Persaingan dan permusuhan selalu tertanam dalam diri para Kurawa.
Dalam Injil ada juga persaingan antara murid-murid Yohanes dengan Yesus.
Yang perlu dicatat, Yohanes Pembaptis sendiri tidak ada rasa persaingan dengan Yesus. Murid-murid Yohaneslah yang tidak suka, karena Yesus membaptis banyak orang di seberang Sungai Yordan.
Murid-Murid Yohanes yang berselisih berkata pada Yohanes, ”Rabi, orang yang bersama dengan engkau di seberang Sungai Yordan, dan yang tentang Dia engkau telah memberi kesaksian, Dia membaptis juga, dan semua orang pergi kepada-Nya.”
Para muridnya heboh, tetapi Yohanes sendiri malah bersukacita. Ia menjawab kepada murid-muridnya, ”Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.”
Sulit rasanya menemukan pribadi seperti Yohanes Pembaptis ini. Kebanyakan dari kita ingin mengejar menjadi yang pertama, nomor satu, paling top.
Semua ingin menjadi yang terbaik, terdepan, terbesar. Tidak ada orang yang mau menjadi nomor dua.
Sikap Yohanes Pembaptis ini sangat melawan arus. “Ia harus makin besar, aku harus makin kecil.”
Apa yang membuatnya bersikap demikian? Jawabannya adalah visi hidup.
Visi hidup Yohanes jelas yakni menyiapkan jalan bagi Tuhan. “Aku bukan Mesias, aku diutus untuk mendahului-Nya.”
Yohanes memberi contoh tentang kerendahan hati dan jiwa pengurbanan yang tinggi. Yohanes sadar bahwa dia diutus untuk menjadi jalan bagi Sang Mesias.
Ia senang jika murid-muridnya bisa menemukan Mesias yang sejati. Ia senang jika orang lain makin besar, sukses, berhasil. Inilah kerendahan hati yang luar biasa.
Yang sering terjadi, orang akan iri dan benci jika ada orang lain berhasil, lalu berusaha dengan licik dan keji bagaimana menjatuhkannya.
Ada banyak Sengkuni-Sengkuni di sekitar kita. Bahkan mungkin kita juga menjadi Sengkuni itu sendiri.
Suka iri hati dan mengadu domba agar orang lain gagal dan jatuh dalam kesengsaraan. Tidak suka melihat orang lain bahagia dan berhasil.
Marilah kita belajar dari Yohanes Pembaptis yang rendah hati. Memberi jalan agar orang lain bahagia dan bersukacita melihat orang lain berhasil hidupnya.
Biarlah aku menjadi makin kecil,
Dan temanku menjadi makin besar.
Aku bahagia lihat temanku berhasil,
Dan hatiku menjadi makin sabar.
Cawas, semoga engkau sukses selalu…