You are What You’re Flexing

0
0 views
Pamer by Faultable

FLEXING menjadi istilah yang lagi viral. Zaman dulu, orang menyebutnya “pamer”. Konotasinya negatif, padahal konon, pamer merupakan sifat yang melekat pada manusia; termasuk tentunya juga saya.

Simak saja kisah sekira 60 tahun lampau, saat saya masih duduk di kelas 4 atau 5 SD.

Tak tahu mimpi apa, ibu tiba-tiba menghadiahi saya sepeda baru. Selain cekli, model seperti itu belum jamak lalu-lalang di jalanan.

Orang menyebutnya sepeda “Ceko”, mungkin karena buatan Czechoslovakia.

Perasaan menjadi tak karuan. Bangga, seneng, jumawa dan yang pasti tambah kemlinti, campur-baur menjadi satu.

Setiap hari saya bawa si Ceko ke sekolah.

Saya dirubung teman-teman yang mengagumi cantiknya sepeda itu. Beberapa ingin mencobanya, tapi tak semua saya izinkan. Hanya mereka yang beruntung bisa menjajalnya, itu pun cuman sebentar.

Singkat kata, sulit menggambarkan bagaimana hati ini berbunga-bunga. Naik sepeda baru diiringi decak kagum teman-teman.

“Anda adalah pamer yang anda lakukan.”

Itu contoh pamer waktu kecil yang saya ingat sampai sekarang.

Ketika kini flexing menjadi populer, baru sadar ternyata hidup ini penuh dengan sifat pamer.

Sekian puluh tahun kemudian. Sesaat setelah menerima gaji pertama, tak mau terlewat untuk membeli sepatu merek Adidas. Warnanya biru laut, ada tiga strip putih menghias kedua sisinya. Saat itu belum banyak sepatu bermerek yang dipakai orang.

Ketika jalan, kaki sengaja dimiringkan, dengan harapan tiga strip terlihat oleh lebih banyak orang. Dengan maksud yang sama, ketika naik motor, kaki kanan atau kiri sedikit dikeluarkan. Suka-ria hati ini seolah semua orang menengok ke bagian bawah kaki.

Meski sudah jauh mereda, pamer kadang masih juga tak sengaja muncul. Nampaknya, itu inheren dan sulit dibuang. Berlaku bagi siapa saja, tak kenal usia, jender, profesi, tingkat sosial atau pendidikan.

Bahkan meluas tak hanya barang, tapi juga pamer pencapaian, keterampilan, bakat, predikat bahkan juga saat beribadah.

To showcase or boast about one’s achievements, possessions, skills, talent or attributes. It’s a way of demonstrating confidence, success or superiority in a particular area”. (https://later.com/social-media-glossary/flex/#:~:text=On%20social%20media%2C%20the%20term,superiority%20in%20a%20particular%20area)

Gara-gara pingin pamer, orang berlomba mendapatkan gelar doktor bahkan profesor untuk ditempel di depan namanya. Ijazah sarjana yang dikeluarkan PT abal-abal semakin laris-manis diborong orang. Tak juga aneh kalau banyak orang yang tak pernah menjadi “guru” tiba-tiba menjadi “guru besar”.

Ada pamer timbul tak pada tempatnya, yaitu saat memberi ucapan selamat untuk kawan yang hajatan melalui kiriman bunga papan. Nama pengirim ditulis mencolok dengan huruf besar plus gelar, pangkat bahkan institusinya. Padahal itu undangan privat dan informal.

Plat nomer mobil khusus menjadi incaran orang karena bisa dipamerkan di kalangan teman, keluarga dan khalayak. Maklum plat jenis ini banyak mendapat prioritas saat terjebak dalam kemacetan di jalan raya.

Masih banyak contoh praktek pamer, lebih-lebih pada era media sosial.

Begitu mudah orang pamer “kehebatannya” melalui layar ponsel. Sekali klik bisa dilihat oleh jutaan pasang mata dan berlangsung dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Pamer adalah perilaku instingtif untuk menarik relasi, baik dari mereka yang mengenalnya mau pun tidak. Mirip kelakuan burung merak yang mempertunjukkan bulunya yang megah dan indah untuk menarik perhatian lawan jenisnya. (https://www.um-surabaya.ac.id/en/article/dosen-psikologi-paparkan-alasan-seseorang-lakukan-flexing)

Sekali lagi, nampaknya kebiasaan pamer sulit dihapus. Dunia yang penuh paham materialisme plus fasilitas komunikasi yang bertambah canggih, menghasilkan kebiasaan pamer semakin menjadi-jadi. Padahal, pamer bisa menjadi bumerang bagi mereka yang sedang disorot masyarakat.

Para ahli psikologi berpendapat bahwa flexing disebabkan karena kebutuhan untuk menarik perhatian liyan, merasa tak aman (insecure), terlalu obsesif, kurang PD dan, yang terakhir, ingin menunjukkan eksistensinya secara berlebihan.

Ada cerita tentang seorang selebriti yang pamer ketika bepergian ke luar negeri untuk piknik dan belanja. Masih dalam perjalanan, dia sudah menyebar foto jendela pesawat yang ada di sampingnya. Tak sadar bahwa ini membuat kehebohan tak berkesudahan yang berujung kontra-produktif.

Flexing adalah naluri. Tapi pamer yang berlebihan, tanpa menenggang perasaan sekeliling dan masyarakat, menjadi seakan “menepuk air di dulang”.

Kelolalah pamer selayaknya.

@pmsusbandono
19 September 2024

Baca juga: Setan selalu ada di saku kita

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here