LAMA berkecimpung di dunia bisnis, pendidikan, kegiatan sosial, dan aktif membangun jaringan komunikasi lintas iman akhirnya membawa Yahya Winarno Junardy sampai ke Rio de Janeiro, awal September 2016 ini. Perjalanan ke Ibukota Brasil ini tentu saja bukanlah yang pertama kali bagi YW Junardy. Dalam kapasitasnya sebagai President of Indonesia Global Compact Network (IGCN), Rio de Janeiro bukanlah kota asing yang tak jarang dia kunjungi .
Namun, perjalanan kali ini menjadi istimewa bagi Presiden Komisaris PT Rajawali Corpora ini, karena di Rio Janeiro inilah YW Yunardy akhirnya menyabet penghargaan bergengsi bernama Global Business & Interfaith Peace Awards untuk kategori emas. Penghargaan ini diberikan oleh The Religious Freedom & Business Foundation yang menggandeng The United Nations Global Compact’s Business for Peace Initiative dan the United Nations Alliance of Civilizations sebagai mitranya dalam ajang penghargaan kelas internasional ini.
The Religious Freedom & Business Foundation –lembaga nirlaba berbasis di AS—banyak berkecimpung dalam gerakan mengedukasi masyarakat bisnis skala global tentang pentingnya memandang agama sebagai faktor penting dalam menjalankan roda bisnis. Lembaga sama ini juga peduli akan pentingnya gerakan mengedukasi masyarakat mengkampanyekan kebebasan mempraktikkan nilai-nilai agama dan ajarannya.
Yang menarik, kali ini untuk pertama kalinya, The Religious Freedom & Business Foundation bersama kedua mitranya yakni The United Nations Global Compact’s Business for Peace Initiative dan the United Nations Alliance of Civilizations menyerahkan penghargaan bergengsi kategori emas itu kepada putera anak bangsa Indonesia: YW Junardy. Putera daerah asal Jatim ini dianggap berjasa karena telah menjembatani PT Rajawali Corpora milik pengusaha nasional Peter Sondakh, Yayasan Pondok Kasih, dan berbagai lembaga sosial lainnya. Antara lain dalam kegiatannya menyelenggarakan beberapa kali events besar menikahkan secara massal ribuan pasangan calon pengantin dari keluarga-keluarga tak mampu.
Mengapa pernikahan massal ini dianggap penting? Itu karena di Indonesia, hanya melalui pernikahan di hadapan pemimpin agama dari pasangan calon suami-istri itulah, status hukum hubungan suami-istri dalam ikatan pernikahan itu mendapatkan akses legalitasnya melalui pengesahkan di Kantor Catatan Sipil. Dengan menyelenggarakan pernikahan massal atas biaya para sponsor PT Rajawali Corpora, YW Junardy dianggap berjasa mengantar pasangan suami-istri dari keluarga-keluarga sederhana ini bisa memperoleh legalitas status ikatan mereka sebagai pasutri. Akte nikah tersebut penting, karena tidak hanya soal pernikahan tetapi menyangkut identitas anak-anak dalam keluarga tersebut, kartu identitas diri, pendidikan anak-anak, hak-hak sebagai warga negara, dan berjibun hal lain yang terkait.
“Para pemimpin bisnis ini dianggap telah menunjukkan kontribusinya dalam mengedepankan nilai kebebasan beragama yang kemudian menginspirasi banyak orang melakukan hal-hal baik sebagaimana telah dimotivasi oleh gagasan-gagasan para pemimpin bisnis yang sedemikian tulus dan inovatif ini,” kata Brian Grim, President of Religious Freedom and Business Foundation dalam sambutannya mengantar pemberian anugerah bergengsi tersebut.
Penghargaan itu diberikan kepada YW Yunardy di Rio Janeiro pada tanggal 6 September 2016, sehari sebelum berlangsung acara pembukaan event internasional bertajuk Paralympic Games di Ibukota Brasil. Selain YW Junardy, tujuh pemenang lainnya dari berbagai belahan wilayah dunia juga memperoleh penghargaaan yang sama, namun dengan kategori berbeda yakni kelas silver dan bronze.
Mereka ini dianggap berjasa karena telah memanfaatkan dunia bisnis menjadi wahana untuk menjembatani berbagai perbedaan yang terjadi di panggung budaya dan agama.
Bersama finalis lain lintas negara
YW Yunardy yang kini menjadi anggota pengurus Yayasan Bhumiksara ini memenangkan penghargaan tersebut bersama sejumlah pemimpin bisnis dari berbagai latar belakang budaya dan agama dari Amerika Serikat, Mozambique, Uganda, Brasil, Libanon dan Irak. “Aneka perbedaan berlatarbelakang agama, wilayah geografis, dan jenis bisnis yang dimiliki oleh para pemenang penghargaan ini secara jelas menunjukkan bahwa nilai saling menghormati antar lintas pemeluk agama berbeda, kebebasan beragama dan perdamaian itu punya gaung universal,” lanjut Grim.
Menurut dia, para finalis calon penerima penghargaan ini datang dari berbagai latar belakang etnis, agama dan latar belakang budaya yang beragam. Mereka datang dari komunitas Kristen, Katolik, Yahudi, dan Muslim.
Penghargaan kategori perak jatuh ke tangan Don Larson, pendiri dan CEO Sunshine Nut Company di Mozambique. Ia dianggap berjasa karena berhasil menghidupkan bisnis besar kacang mete yang melibatkan banyak orang dengan latar belakang etnis, budaya, agama yang berbeda-beda. Sementara medali perak diberikan kepada Britanny Underwood –pendiri dan CEO AKOLA yang berbasis di Texas dan Uganda—atas jasanya mempromosikan kesetaraan jender dalam bisnis perhiasan fesyen. Ia juga dianggap berprestasi karena perusahaannya di Kansas berani memperjakan para perempuan mantan korban perdagangan manusia.
Sementara, empat medali perunggu jatuh ke tangan Jonathan Berezovsky, CEO Migraflix berbasis di Brazil, atas jasanya mengantar para imigran berhasil menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal di Brasil. Fouad Makhzoumi, CEO dari Future Pipe Industries Group Ltd., di United Arab Emirates dan Libanon, juga diganjar medali perunggu atas jasanya mempromosikan kebebasan beragama melalui gerakan credit union dan pendidikan keterampilan yang telah mengangkat derajad hidup 10 ribuan orang Libanon.
Bruce McEver, co-founder dan chairman Berkshire Capital Securities LLC di New York dan London, juga diganjar dengan penghargaan sama. Berikutnya adalah Emma Nicholson, Baroness of Winterbourne, Predir Iraq Britain Business Council sekaligus pendiri dan CEO AMAR Foundation yang berbasis di UK dan Irak yang bergerak melalui kegiatan antara lain melibatkan etnis minoritas di Irak yakni kelompok Yazidi.
Para finalis lain namun tidak membawa pulang medali adalah Jonathan Shen Jian (CEO Shinework Media di Tiongkok yang mempromosikan kebebasan beragama melalui film); Tayyibah Taylor (CEO dan pendiri Majalah Azizah dan WOW Publishing, Inc., berbasis di Georgia, AS); Joaquim Augusto Sanches Pereira (Pemimpin bisnis regional Dresser-Rand, jaringan bisnis Siemens, yang berjasa bersama Vaga Lume initiative mempromosikan perdamaian dan pendidikan multicultural di kawasan Amazon, Brasil).
Sementara, para juri terdiri dari HE Mr. Nassir Abdulaziz Al-Nasser (UN High Representative for the Alliance of Civilizations mewakili kelompok pemerhati kebebasan beragama); Dr. Katrina Lantos Swett (President of the Lantos Foundation for Human Rights & Justice dan mantan pemimpin US Commission on International Religious Freedom mewakili kelompok bisnis dan pemerhati perdamaian); ; Per L. Saxegaard (CEO, pendiri dan Executive Chairman of the Business for Peace Foundation, Oslo, Norwegia).