HARI masih pagi, ketika kami tiba di kompleks Gereja Kelahiran Bayi Yesus (Nativity Church) di Kota Betlehem. Bulan Maret 2017 masih terhitung musim dingin di Israel. Di pagi yang cerah ini, hawa super dingin begitu terasa sangat menerpa kulit; barangkali karena suhunya bertengger pada kisaran 9-13 C. Ditambah hembusan angin kencang menyambar permukaan tanah, maka lengkap sudah hawa super dingin menembus lapisan pakaian khas musim dingin dan kemudian ‘menggigit’ kulit sehingga kami memaksa diri harus cepat-cepat memakai seluruh pakaian musim dingin secara lengkap dan sempurna.
Baca juga: Ziarah ke Tanah Suci: Jejak Keluarga Kudus di Abu Serga Church, Cairo (6)
Hawa super dingin juga sangat terasa di Kompleks Gereja Nativity di Betlekem, tempat dimana bayi Yesus lahir dari rahim Maria. Kami tiba pagi hari, ketika kompleks ini masih relatif sepi dari kunjungan para peziarah. Di situ tampak sudah ada rombongan dari Jerman dan beberapa kelompok lainnya dari Eropa Timur dan Rusia.
Pada pagi menjelang siang di hari yang super dingin ini, tiga imam asal Indonesia memimpin misa sederhana untuk rombongan para peziarah gabungan dari beberapa keuskupan di Indonesia: KAJ, Surabaya, Malang, Banjarmasin, Bandung, dan KAS. Bersama tour leader Fransiscus Asmi Arijanto –mantan frater Jesuit alumnus Novisiat SJ Girisonta tahun 1985—kami datang ke Gereja Nativity ini dan kemudian menuju salah satu ruangan di bawah gereja yang difungsikan layaknya sebuah kapel sederhana.
Pra Konsili Vatikan II
Di situ sudah ada beberapa kursi untuk umat. Jumlahnya mungkin sekitar 40-an kursi, jumlah yang mencukupi untuk rombongan kami berjumlah 36 orang. Yang menarik, posisi altar membelakangi umat lazimnya perayaan ekaristi pra Konsili Vatikan II dimana para imam memimpin misa seolah-olah tidak ada umat yang mengikutinya.
Zaman dahulu ketika belum terjadi Konsili Vatikan II, imam yang mempersembahkan misa selalu mengambil posisi membelakangi umat. Pastor berdoa ndremimil sendiri dan membiarkan umatnya bisa berpartisipasi dalam perayaan ekaristi; membiarkan mereka seakan-akan menjadi ‘penonton’ di liturgi ekaristi ini.
Di kapel di bawah Gereja Nativity ini, ketiga pastor peserta rombongan ziarah ke Tanah Suci ini juga terpaksa ‘mengambil posisi’ seperti liturgi pra Konsili Vatikan II. Bertindak sebagai selebran dalam misa istimewa di Nativity Church ini adalah Pastor Justinus Danang Sigit Koesworo, diosesan dari Keuskupan Banjarmasin yang pernah mengalami pendidikan Jesuit di Novisiat SJ Girisonta tahun 1981-1982.
Ikut mendamping Romo Danang Sigit adalah Romo Stefanus Fadjarianto MSF dari Paroki Keluarga Kudus Banteng Yogyakarta dan Romo Matheus Wahyudi MSF yang kini bertugas sebagai ekonom di Seminari MSF Berthinianum di Salatiga, Jateng.
Menjadi haru
Perayaan ekaristi di Gereja Nativity itu sendiri sudah merupakan sebuah peritiwa langka dan istimewa karena boleh mengadakan perayaan ekaristi dengan bahasa Indonesia dengan umat katolik Indonesia di kapel di bawah Gereja Nativity. Di sebelah ruangan lain –juga di bawah gedung gereja yang sama—berlangsung pula ibadat berbahasa Jerman dimana umat katolik dari Bavaria – Jerman merayakan imannya bersama tiga orang pastor Jerman yang ikut dalam rombongan mereka.
Kami –umat katolik Indonesia dari beberapa paroki di sejumlah keuskupan di Indonesia—juga merayakan ekaristi istimewa bersama tiga pastor lintas ‘ordo’ (karena satunya diosesan mantan Jesuit dan dua lainnya MSF) dan memakai bahasa Indonesia. Lebih istimewa lagi, ketika ketiga pastor itu melakukan ‘manuver liturgi’ guna menyesuaikan diri dengan kebutuhan liturgi yang sekarang berlaku di seluruh gereja dan komunitas katolik seluruh dunia: liturgi perayaan ekaristi ala Konsili Vatikan II. Dengan sendirinya, para imam ‘harus’ balik arah; mulanya membelakangi umat dan kemudian balik badan untuk bisa berhadap-hadapan dengan umat.
Itu belum seberapa.
Menjadi lebih istimewa lagi, ketika di awal pengantar misa tiba-tiba saja Pastor Danang Sigit mulai hanyut dalam perasaan. Suaranya menjadi tidak gagah lagi seperti biasanya, melainkan menjadi serak basah, tanda-tanda bahwa ia mulai hanyut dalam emosi yang amat intens.
Benar saja. Baru beberapa kalimat pengantar, pastor yang berasal dari Semarang dan berasal dari keluarga tentara ini tiba-tiba tersedu-sedu. Ia menangis sesenggukan di sini. Kata dia, ia ingin sharing pengalaman pribadinya sebagai manusia dan imam.
Tentu saja, kami semua terkejut. Akan ada apa ini, kok tiba-tiba pastor yang saya kenal di Seminari Mertoyudan sejak tahun 1980-an ini menjadi sangat sentimental –hal yang sangat tidak biasa bagi dia. Seperti yang dia akhirnya bicara sendiri bahwa inilah momen sangat spesial bagi dia sebagai imam yakni bisa merayakan ekaristi di tempat kelahiran bayi Yesus di Betlehem.
Sesenggukan
Rupanya nangis sesenggukan-nya (tersedu-sedu) Pastor Danang itu beralasan. Pertama-tama, inilah pertama kalinya sebagai orang katolik dan juga sebagai seorang imam ia bisa datang melihat Israel –Tanah Suci—dan kemudian merayakan perayaan ekaristi di Gereja Kelahiran Yesus di Betlekem.
Mengapa menjadi istimewa bagi pastor ini? Itu karena sejak lama sebenarnya dia sudah berkali-kali ditawari umat untuk bisa pergi ke Tanah Suci, namun dia sendiri merasa belum pas waktunya seiring dengan pengalaman personalnya.
“Tahun-tahun lalu yang belum lama juga,” kata dia, “saya sudah genap berumur 55 tahun. Pada umur itulah, saya merasa layak untuk datang ke Tanah Suci untuk melakukan peziarahan rohani atau olah batin.”
Jadi, bagi Pastor Danang ini pun, perjalanan jauh dari Indonesia menuju Timur Tengah (Mesir, Israel, dan Jordania) itu ibarat perjalanan batin, olah spiritual yang diharapkan bisa mengubah ‘wajah manusia’ di hadapan Tuhan dan bersama sesama manusia. Rupanya, kesadaran akan ‘hal-hal yang dalam’ inilah yang membuat tangis sang pastor ini menjadi mengharukan.
Terasa bukan dibuat-buat, tapi berjalan sangat personal dan alami. Apalagi, ketika pastor ini juga mengatakan niatnya bahwa hendaknya sampai mati pun dia tetap sebagai imam.
“Bukankah begitu ya Romo?,” sapanya mengajak kedua kolega pastor lainnya yakni Romo Wahyudi MSF dan Romo Fadjarianto MSF untuk mengiyakan semangat dan niat sama tersebut.
Rupanya, gayung pun bersambut.
Sharing pribadi akan pengalaman sang pastor ini membawa suasana menjadi lebih khusuk. Beberapa peserta ziarah –masing-masing dengan bekal pengalamannya sendiri—merasakan getaran itu dan kemudian mengungkapkannya dalam doa umat. Isinya sangat personal, mengharukan, namun sangat orisinal intensinya.
Di sini tidak ada yang artifisial. Semua berjalan apa adanya dan semua merasakan getaran emosional yang sama: Tuhan berkarya di setiap hati orang melalui pengalamannya masing-masing.
Di Gereja Nativity di Betlekem di hari Sabtu tanggal 4 Maret ini, sang pastor telah menangis tersedu-sedu karena merasa ‘disentuh’ oleh kasih Tuhan sehingga melahirkan semangat dan niat mulia. Di ruang yang sama juga di Betlehem, setiap peserta ziarah bersama tour leader Fransiscus Asmi Arijanto juga merasakan kasih Tuhan melalui perjumpaan dan pertemanan antar peserta. Ujung-ujungnya, masing-masing peserta merasa bukan lagi ‘berbeda’ karena berasal dari lain keuskupan dan paroki, melainkan ‘satu’ sebagai komunitas peziarah yang mencoba melihat ‘jalan Tuhan’ di setiap kilas balik sejarah hidup mereka masing-masing.