Ziarah Sejarah: Menelusuri Jejak Pentahbisan Ignatius Loyola di Venesia

0
50 views
Fondamenta S. Sebastian di Venesia, diperkirakan sebagai lokasi St. Ignatius Loyola dan rekan-rekan ditahbiskan menjadi imam. (Dok. Romo Bei Witono SJ)

PADA tanggal 31 Juli 1987, almarhum Superior General Ordo Jesuit Pater Peter Hans Kolvenbach SJ (alm) dalam sebuah suratnya mengatakan demikian ini.

Tahun 1987, ketika merayakan Ekaristi dalam rangka menghormati Santo Ignatius, kita diingatkan untuk tidak hanya melihat peristiwa-peristiwa besar dalam hidupnya. Tetapi, kata mendiang Pater Kolvenbach, penting juga melihat momen-momen kecil yang penuh kasih dan pengurbanan.

Pada tanggal 24 Juni 1537, hari peringatan kelahiran Santo Yohanes Pembaptis, Maestro Ignazio dan rekan-rekan menerima pentahbisan imamat mereka di Venesia, Italia Utara. Peristiwa tersebut adalah peristiwa penuh makna yang menunjukkan bagaimana Ignatius -dengan segala kerendahan hati- melanjutkan perjalanan membawa terang Tuhan kepada dunia.

Tiba di Venesia, Italia. (Dok. Romo Bei Witono SJ)

Saya sendiri jadi ikut penasaran di mana persisnya lokasi tempat St. Ignatius dulu ditahbiskan menjadi imam. Oleh karena itu, beberapa tahun silam, saya mendapat kesempatan istimewa bersama tiga Jesuit lain mengunjungi Venesia, kota banyak aliran sungaui di Italia. Perjalanan ini kami lakukan dengan sebuah tujuan yang sangat khusus.

Saya berdebar, karena ini bukan sekadar perjalanan biasa, melainkan pencarian tempat bersejarah di mana Ignatius Loyola dan rekan-rekan dulu menerima Sakramen Imamat dan ditahbiskan menjadi imam.

Kami berangkat dari Roma dengan kereta cepat; membawa harapan untuk menemukan jejak momen penting dalam sejarah Gereja dan Ordo Serikat Yesus.

Setibanya di Venesia, kami mulai berjalan menyusuri jalan-jalan kuno, mengikuti arah yang mungkin pernah dilalui Ignatius dan rekan-rekan. Data sejarah menuntun kami menuju sebuah istana di Fondamenta di S. Sebastian, tempat yang diyakini sebagai lokasi pentahbisan imam Ignatius, Francesco Saverio, dan lima rekan lainnya pada tahun 1537.

Pentahbisan ini bukanlah peristiwa besar yang dirayakan dengan megah. tetapi sebuah momen yang sangat sederhana dan sakral. Kapel pribadi kecil di istana tersebut menjadi saksi bagaimana pentahbisan imam itu diresapi dengan Roh yang menghidupkan kerasulan Ignatius.

Bukan hanya sebagai peziarah awam, tetapi kini sebagai imam yang dipersembahkan sepenuhnya kepada Tuhan dalam pelayanan kasih dan kemurahan hati.

Perjalanan kami ke Venesia terasa seperti sebuah ziarah, bukan sekadar perjalanan sejarah. Kami melangkah ke alun-alun bagian dalam Rumah Sakit Yang Tidak Dapat Disembuhkan (Ospedale degli incurabili). Bangunan ini sekarang menjadi rumah bagi Akademi Seni Rupa tempat di mana dulu Ignatius dan teman-temannya tinggal dan merawat yang sakit.

Tahapan perjalanan ini, dari istana uskup hingga kapel kecil biarawan Tritunggal, mengungkapkan kisah hidup yang penuh pengabdian.

Venesia bagi kami bukan sekadar kota turis yang indah, melainkan tempat di mana langkah-langkah rohani Ignatius bisa dilihat dan dirasakan dengan jelas.

Setiap sudut kota ini membawa kami lebih dekat pada pemahaman tentang pengabdian hidup Ignatius dan bagaimana panggilan hidup kami sendiri bisa terinspirasi oleh teladannya. Dalam keheningan dan keindahan Venesia, kami merenungkan panggilan hidup kami masing-masing, berusaha meneladani semangat pelayanan yang tulus seperti yang dijalani oleh Santo Ignatius.

Fondamenta S. Sebastian di Venesia, diperkirakan sebagai lokasi St. Ignatius Loyola dan rekan-rekan ditahbiskan menjadi imam. (Dok. Romo Bei Witono SJ)

Setelah seharian berjalan dalam penziarahan di Venesia, kami akhirnya kembali ke Roma. Dalam perjalanan ini, satu hal yang menonjol bagi saya adalah hal berikut ini. Meskipun tempat tahbisan itu penting, namun pada kenyataannya, tempat itu hanyalah sebuah sarana; bukan tujuan utama.

Lokasi fisik bisa berubah, namun esensi dari sebuah panggilan tetaplah sama – misi untuk melayani dan menolong jiwa-jiwa. Tempat mungkin memegang makna tertentu, tetapi tidak pernah menjadi pusat dari misi itu sendiri.

St. Ignatius Loyola dengan jelas menunjukkan bahwa panggilan untuk melaksanakan misi adalah inti dari perjalanannya. Dan tahbisan suci hanyalah sarana yang mendukung pelaksanaan misi tersebut.

Dengan tahbisan imamat itu sebagai sarana, pengutusan para imam akan berlipat ganda dalam pelayanan mereka kepada orang lain. Hal tersebut menegaskan bahwa yang paling penting bukanlah di mana misi itu dimulai, tetapi bagaimana misi itu dijalankan dengan penuh komitmen dan ketulusan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here