KEHILANGAN bayi (losing a baby) dalam kehamilan karena keguguran atau kelahiran mati, masih merupakan hal yang tabu di seluruh dunia, terkait dengan stigma dan rasa malu. Banyak ibu masih tidak menerima perawatan yang tepat dan penuh hormat, ketika bayi mereka meninggal selama kehamilan atau persalinan.
Apa yang harus disadari?
Keguguran adalah kejadian paling umum untuk kehilangan bayi selama kehamilan. March of Dimes, sebuah organisasi internasional yang bekerja untuk kesehatan ibu dan anak, memiliki data tingkat keguguran 10-15% pada ibu yang tahu bahwa mereka hamil.
Kehilangan bayi didefinisikan secara berbeda di seluruh dunia, tetapi secara umum bayi yang meninggal sebelum kehamilan berusia 28 minggu disebut keguguran (miscarriage) dan pada atau setelah 28 minggu kehamilan disebut bayi lahir mati (stillbirths).
Setiap tahun, terjadi 2,6 juta keguguran dan bayi lahir mati di seluruh dunia dan banyak dari kematian ini, sebenarnya dapat dicegah. Namun demikian, keguguran dan kelahiran mati tidak dicatat secara sistematis, bahkan di negara maju sekalipun, sehingga mungkin saja jumlahnya dapat lebih tinggi.
Bayi lahir mati (stillbirth) terjadi pada sekitar 2.000 keluarga Australia setiap tahun. Tingkat kelahiran mati belum berubah dalam 20 tahun terakhir dan bagi penduduk asli Australia, bahkan terjadi dua kali lebih tinggi. Namun demikian, sebelum hal itu terjadi pada satu dari enam ibu, banyak ibu hamil tidak pernah berpikir bahwa bayi dapat mati di dalam rahim.
Ada banyak alasan mengapa keguguran dapat terjadi, termasuk kelainan struktur tubuh janin, usia ibu, dan infeksi. Sebenarnya banyak di antaranya dapat dicegah, seperti infeksi malaria dan sifilis, meskipun memastikan penyebab yang tepat seringkali sulit.
Nasihat umum untuk mencegah keguguran berfokus pada makanan yang sehat, berolahraga, menghindari rokok, narkoba dan alkohol, membatasi kafein, mengendalikan stres, dan mengendalikan kenaikan berat badannya. Kesemuanya menempatkan penekanan pada perbaikan faktor gaya hidup, tetapi sebenarnya justru dapat menyebabkan ibu merasa bersalah, bahwa ibu telah menyebabkan keguguran.
Bayi lahir mati pada umumnya terjadi selama kehamilan. Namun demikian, 1 dari 2 bayi lahir mati terjadi selama proses persalinan, yang sebenarnya banyak di antaranya dapat dicegah. Sekitar 98% kelahiran mati terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Untuk itu, meningkatkan kualitas perawatan yang lebih baik selama kehamilan dan persalinan, dapat berperan dalam mencegah lebih dari setengah juta kelahiran mati di seluruh dunia. Bahkan di negara berpenghasilan tinggi, layanan kesehatan di bawah standar merupakan faktor penting dalam kelahiran mati.
Ada beberapa cara untuk mengurangi jumlah bayi yang meninggal dalam kehamilan, misalnya meningkatkan akses ke perawatan antenatal, menciptakan kesinambungan layanan melalui perawatan yang dipimpin oleh bidan sampai pada perawatan komunitas, jika memungkinkan.
Mengintegrasikan pengobatan infeksi selama kehamilan, pemantauan detak jantung janin, dan pengawasan proses persalinan sebagai bagian dari paket perawatan terpadu, dapat menyelamatkan 1,3 juta bayi dari kejadian lahir mati. Pada awal tahun 2019, sekitar 200 juta ibu yang ingin menghindari kehamilan, tidak memiliki akses ke layanan kontrasepsi modern.
Ketika ibu benar hamil, 30 juta ibu tidak melahirkan di fasilitas kesehatan dan 45 juta ibu menerima perawatan antenatal yang tidak memadai atau tidak ada, sehingga menempatkan ibu dan bayi pada risiko komplikasi dan kematian, yang jauh lebih besar.
Budaya tradisional seperti sunat perempuan dan pernikahan anak sangat merusak kesehatan reproduksi anak perempuan dan kesehatan bayi mereka. Ibu yang memiliki bayi pada usia yang terlalu muda, dapat berbahaya bagi ibu dan bayinya. Ibu remaja, usia 10-19 tahun, jauh lebih mungkin untuk mengalami eklampsia atau infeksi rahim dibandingkan ibu berusia 20-24 tahun, yang kedua kondisi tersebut dapat meningkatkan risiko bayi lahir mati.
Bayi yang lahir dari ibu yang berusia kurang dari 20 tahun, juga lebih cenderung memiliki berat badan lahir rendah, prematur, atau memiliki kondisi neonatal yang parah, yang semuanya dapat meningkatkan risiko bayi lahir mati. Sunat perempuan meningkatkan risiko ibu mengalami persalinan yang lama, terhambat, disertai perdarahan, dan robekan jalan lahir yang parah. Bayi yang dilahirkannya, jauh lebih mungkin membutuhkan resusitasi neonatal saat persalinan, dan menghadapi risiko kematian yang tinggi, selama persalinan atau setelah kelahiran.
Menempatkan ibu menjadi fokus perawatan sangatlah penting, agar ibu mendapatkan pengalaman kehamilan yang positif, baik dalam aspek biomedis dan fisiologis, juga untuk mendapatkan dukungan sosial, budaya, emosional dan psikologis. Namun demikian banyak ibu, bahkan di negara-negara maju dengan akses ke perawatan kesehatan terbaik, ternyata menerima perawatan yang tidak memadai setelah kehilangan bayi. Bahkan istilah yang digunakan oleh dokter untuk menjelaskan keguguran dan bayi lahir mati, dapat bersifat traumatis bagi ibu, misalnya “serviks yang tidak kompeten” atau “blighted ovum,” karena keduanya sangat menyedihkan bagi para ibu.
Ibu sering kali tidak menerima informasi apa pun tentang keguguran. Para dokter, bidan dan perawat sangat sering dingin dan tidak ramah, bahkan mereka bersikap seolah-olah itu hanya prosedur medis rutin.
Diperlukan petugas medis yang memiliki sedikit rasa kemanusiaan, yang kemudian meyakinkan ibu bahwa ibu dapat mencoba lagi untuk hamil. Bergantung pada kebijakan rumah sakit, tubuh bayi yang lahir mati dapat diperlakukan sebagai limbah RS dan dimusnahkan. Aturan lokal ada yang berlaku bagi seorang ibu yang bayinya telah meninggal, diharuskan untuk menggendong bayi lain selama beberapa hari, sampai dia bisa melahirkan bayinya yang telah meninggal tersebut.
Bahkan di negara maju, ibu dapat melahirkan bayi mereka yang telah meninggal di sebuah kamar bersalin, bersama dengan ibu lain yang bayinya sehat. Meskipun mungkin ada alasan medis untuk ketentuan itu, namun hal tersebut sebenarnya sangat menyusahkan bagi ibu dan pasangannya.
Mungkin sulit untuk merumuskan apa yang harus dikatakan, ketika ibu kehilangan bayi dalam kehamilan, tetapi kepekaan, dukungan, dan empati seharusnya diberikan bagi ibu, termasuk kesempatan untuk mengungkapkan perasaan mereka.
Daripada mengatakan “Segala sesuatu terjadi karena suatu alasan”, sebaiknya mengatakan yang lain seperti “Saya sangat menyesal. Saya dapat membayangkan ini sangat menyedihkan bagi Anda.” Selain itu, daripada mengatakan “Setidaknya ibu tahu bahwa ibu dapat hamil”, cobalah hanya mendengarkan dan mungkin bertanya “Apa kabar?”.
Juga daripada mengatakan “Setidaknya ibu sudah memiliki anak yang sehat”, mungkin lebih baik mengatakan “Saya sangat menyesal atas kehilangan bayi ini”.
Untuk menyelamatkan lebih banyak bayi yang meninggal dalam kehamilan, perlu tambahan tindakan untuk meningkatkan akses ibu hamil ke perawatan antenatal. Selain itu, juga membentuk kesinambungan perawatan dalam masalah emosi, psikologi, sosial, budaya dan medis, khususnya bagi ibu yang kehilangan bayinya.
Apakah kita sudah bijak?